Mohon tunggu...
Andi Alfitra Putra Fadila
Andi Alfitra Putra Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Plat Merah

Statistisi yang bingung membedakan peran sebagai penulis, pembaca, dan analis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merayakan Hari Statistik Nasional: 26 Tahun Berlakunya UU Statistik di Indonesia

29 September 2023   15:10 Diperbarui: 29 September 2023   15:30 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak banyak yang mengetahui bahwa setiap tanggal 26 September, insan statistik di seluruh Indonesia merayakan Hari Statistik Nasional (HSN).  Penetapan HSN berawal dari ditetapkannya UU Nomor 7 Tahun 1960 pada tanggal 26 September tahun 1960 tentang statistik sebagai pengganti Statistiek Ordonnanntie 1934.  Pemerintah RI berpendapat bahwa lahirnya UU statistik menjadi momen kemerdekaan sistem perstatistikan Indonesia dari sistem perstatistikan kolonial, sehingga hari lahirnya UU statistik pertama inilah yang dijadikan tanggal acuan peringatan Hari Statistik Nasional. Undang-undang ini kemudian digantikan dengan UU Nomor 16 tahun 1997 tentang statistik yang sampai sekarang dipegang menjadi landasan pelaksanaan sistem perstatistikan di Indonesia.

Dalam rangka menyambut Hari Statistik Nasional dan sejarahnya yang dekat dengan Undang-Undang Statistik ini pulalah saya menuliskan suara kepala saya ini. Saya ingin merayakan Hari Statistik Nasional dengan menuliskan harapan-harapan saya soal dunia perstatistikan terkhusus official statistics, bagaimana sistem birokrasi di dalamnya, dan bagaimana harapan saya BPS berkembang menghadapi tantangan zaman. Tulisan kali ini tentang harapan saya mengenai instansi yang saya cintai.

Pada tahun 2023 ini kembali dicanangkan perubahan terkait UU Statistik. RUU tentang perubahan UU Statistik ditetapkan sebagai prioritas dalam program legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI pada tahun 2023, dan kemudian kembali masuk sebagai prioritas dalam Prolegnas tahun 2024. Saya rasa sangatlah wajar dengan ekosistem data yang berkembang pesat, peran BPS sebagai penyedia statistik di Indonesia kembali dikuatkan dasar hukumnya, mengingat UU statistik yang saat ini berlaku sudah berusia 26 tahun lamanya.

 Penyusunan RUU perubahan Undang-Undang Statistik adalah hal yang tidak terhindarkan. Namun di sisi lain, perubahan Undang-Undang Statistik juga menjadi tantangan tersendiri karena hal ini akan sangat menentukan bagaimana peran BPS dalam pembangunan bangsa ke depannya berjalan. Selama ini, ada beberapa miskonsepsi terkait dengan posisi pendataan dan BPS dalam pembangunan sistem perstatistikan di Indonesia. Maka dari itu, biarkanlah saya memaparkan beberapa poin yang terputar dalam kepala saya. Saya harap, miskonsepsi ini diluruskan dalam UU statistik yang baru dan menjadi solusi yang memperkuat peran BPS.

Data tidak sama dengan statistik.

Data adalah makanan sehari-hari dalam bidang statistik, tapi tidak semua data merupakan statistik. Kata data tidak sama dengan statistik. Selama ini, BPS terlalu identik dengan istilah "tukang sensus" atau "tukang data", seolah-olah tugas BPS hanya terbatas pada petugas pendataan keliling door to door. Padahal tugas BPS tidak hanya sekedar pendataan door to door, namun juga bagaimana data itu diolah dan disajikan hingga dapat memberikan informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan.

Dalam ilmu statistik, kata statistik mengacu pada nilai yang menggambarkan kondisi sampel yang kemudian digunakan untuk "menebak" nilai sesungguhnya (parameter). Jika dikaitkan dengan proses bisnis BPS, kata statistik dalam konteks ini mengacu pada angka estimasi yang didapatkan dari hasil kegiatan survei. Misalnya, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dan persentase penduduk miskin sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan survei BPS. Angka-angka itulah yang menjadi statistiknya. Dengan kerangka pikir ini, pertanyaan-pertanyaan seperti, "siapa saja pengangguran-pengangguran di suatu wilayah?" bukanlah sebuah pertanyaan statistik, tapi jawaban dari pertanyaan itu jelas merupakan sebuah data. Daftar nama pengangguran bukanlah statistik, tapi jelas merupakan data. Dengan miskonsepsi BPS sebagai tukang data, seolah-olah daftar nama pengangguran juga menjadi sebuah output yang harus dikerjakan oleh BPS meskipun sebenarnya tidak demikian.

Mirisnya, saya menangkap bahwa miskonsepsi ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, namun juga pada pihak-pihak stakeholder yang berkepentingan. Karena miskonsepsi ini pula saya merasa akhir-akhir ini BPS semakin jauh dari kata statistik itu sendiri.

Definisi lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan kata statistik adalah konteksnya sebagai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini statistik dipandang sebagai sebuah pengetahuan yang mencakup seluruh proses bisnis pelaksanaan perstatistikan, yakni pengumpulan data, pengolahan data, analisis dan penarikan kesimpulannya, bahkan hingga data tersebut didiseminasikan (dipublikasikan) kepada khalayak ataupun stakeholder terkait. Statistik adalah sebuah ilmu yang membahas kesatuan utuh dari proses penarikan contoh (sampling) hingga kemudian dapat dipaparkan dalam bentuk informasi. Dalam bahasa inggris sendiri, kata statistic dalam kamus Oxford dideskripsikan sebagai "sebuah fakta atau cuplikan data dari suatu studi, yang mempelajari sejumlah besar data numerik" (a fact or piece of data from a study of a large quantitiy of numerical data). Meskipun ilmu statistik membahas kaidah pengumpulan data, namun kaidah pengumpulan data yang dibahas dalam ilmu statistik lebih banyak berfokus pada bagaimana data tersebut digunakan sebagai informasi dalam bentuk angka, bukan sebuah daftar.

Oleh karena itu pendataan lengkap yang ditujukan menjadi basis data by name by address seharusnya bukanlah sebuah tugas statistik. Tugas seperti ini seharusnya menjadi tugas dari setiap pemangku kepentingan yang menjadi pengguna data. Pun jika memang BPS diperlukan perannya karena hanya BPS yang terbiasa melakukan pendataan door to door, sebaiknya peran tersebut dibatasi pada pendampingan kegiatan pendataan. Sejak pelaksanaan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) kemudian dilanjutkan dengan pendataan lengkap Koperasi dan UMKM (PL-KUMKM), BPS sudah melaksanakan dua kali pendataan yang hasil akhirnya bukanlah diseminasi statistik, melainkan diseminasi registrasi. Padahal, di luar kedua pendataan lengkap tersebut, dalam 3 tahun terakhir BPS juga sudah memiliki tanggung jawab pendataan Sensus Penduduk pada tahun 2020 dan Sensus Pertanian pada tahun 2023 yang semuanya menuntut pendataan lengkap di seluruh wilayah Indonesia.

Bagi insan statistik sendiri, pendataan lengkap tidak pernah dilakukan untuk menjadi kerangka kebijakan by name by address, melainkan hanya sebagai kerangka dalam penarikan sampel di berbagai surveinya. Tentu saja setiap kali selesai kegiatan sensus, diseminasi data berupa total populasi menjadi sebuah diseminasi yang penting, bahkan dalam kasus sensus penduduk menjadi identitas utama dari jumlah sumber daya manusia Indonesia. Namun sekali lagi, sensus-sensus yang selama ini dilaksanakan oleh BPS tidak pernah mempublikasikan hasil sensusnya dalam bentuk by name by address. Oleh karena itu, harapan saya terhadap RUU perubahan UU statistik yang sedang disusun dapat menjelaskan perbedaan data dan statistik ini, sehingga dapat membendung miskonsepsi yang sudah terlanjur tersebar di masyarakat.

Penguatan sistem perstatistikan dilakukan dengan memperkuat sistemnya, bukan memperbanyak kegiatan statistiknya.

Sejak bapak presiden Jokowi memaparkan bahwa "data adalah komoditas minyak baru", serta dengan dicanangkannya program portal Satu Data Indonesia, seluruh K/L di pemerintahan berlomba-lomba menyusun program berbasis data. Masalahnya, karena minimnya literasi statistik dan pemahaman terkait proses bisnis dalam dunia statistik, kegiatan pendataan menjadi terlalu repetitif, dan sangat bergantung pada metode pendataan door to door. Jika memang tujuan dari program Satu Data Indonesia (SDI) adalah menghasilkan satu sistem statistik yang dianut oleh seluruh K/L di pemerintahan Indonesia, maka seharusnya yang menjadi fokus adalah penyusunan sistemnya, bukannya memperbanyak kegiatan statistiknya.

Saya membayangkan kegiatan sensus seperti kegiatan sensus yang dilaksanakan lembaga statistik Republik Slovenia, yang tidak lagi bergantung pada metode door to door, melainkan dengan pendekatan registrasi. Artinya, sensus penduduk dilakukan dengan menghubungkan berbagai sumber data administratif dan statistik yang tersedia tanpa menggunakan pencacahan langsung di lapangan.

Saya tidak mengatakan bahwa door to door merupakan metode yang buruk, hanya saja metode ini jauh dari kata efisien. Metode pendataan door to door mengharuskan petugas lapangan datang langsung dari rumah ke rumah mendatangi setiap penduduk. Bahkan, penduduk tunawisma yang tidak memiliki kesadaran jiwa pun tetap harus dicatat sebagai seorang penduduk. Bayangkan betapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pendataan ini, padahal kita baru membahas proses pencacahan di lapangan, belum menyentuh hal lain seperti pelatihan petugas, manajemen lapangan yang ribet, pengolahan data yang memakan waktu lama, dan lain sebagainya. Pendataan door to door juga beresiko memasukkan faktor error dari petugas lapangan ke dalam daftar kemungkinan error yang bisa terjadi. Bahkan bagaimana wawancara berlangsung juga dapat mempengaruhi kualitas data, sehingga dapat dikatakan metode ini mengakibatkan faktor error yang mungkin muncul menjadi beragam, karena proses bisnis yang harus ditempuh cukup panjang.

Padahal ada banyak sekali sumber data. Bahkan akhir-akhir ini marak dibahas sumber data baru bernama "Big Data" yang dapat digunakan untuk dianalisis dalam pengambilan kebijakan. Masalahnya adalah, proses penarikan data dari big data hingga menjadi sebuah data yang siap saji tidaklah semudah itu, karena konsep data yang ada dalam big data sangatlah luas dan berbeda jauh dengan konsep data yang selama ini digunakan dalam menyusun statistik dasar. Mungkin tantangan statistik ke depannya adalah bagaimana merumuskan pemanfaatan big data dalam analisis statistik, terutama berbasis official statistic.

Jika pola pikir dari budaya data oriented kita masih berkutat pada memperbanyak kegiatan pendataan lapangan, saya rasa kita akan tertinggal jauh dengan negara-negara lain yang sibuk mempersingkat proses bisnis pendataannya. Negara-negara lain bahkan mulai mengarah ke penggunaan data secara real time dengan memanfaatkan arus data yang cepat. Oleh karena itu, akan jauh lebih baik bila pola pikir data oriented kita mulai mengarah ke bagaimana mendapatkan data dengan mudah, cepat, dan akurat, tidak lagi dengan mindset bahwa turun lapangan mencerminkan data yang terbaik. Tentu saja, jalan ke arah ini masih sangat panjang, namun berharap dan bercita-cita di hari statistik yang spesial ini tidak ada salahnya, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun