Mohon tunggu...
Andi Alfitra Putra Fadila
Andi Alfitra Putra Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Plat Merah

Statistisi yang bingung membedakan peran sebagai penulis, pembaca, dan analis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendataan, Pembangunan, dan Penduduk: Sudut Pandang Baru Insan Statistik di Papua Barat

30 Juni 2023   20:08 Diperbarui: 1 Juli 2023   06:24 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak ditugaskan untuk menjadi statistisi di pulau Papua, saya selalu tergelitik dengan 3 hal di judul tulisan ini: Pendataan, Pembangunan, dan Penduduk. Dulu, ketiga kata itu terasa jelas sekali hubungannnya. Pendataan akan mendatangkan pembangunan yang tepat sasaran, sedangkan pembangunan selanjutnya akan menghasilkan kualitas kehidupan penduduk yang lebih baik. Namun, setelah ditugaskan di pulau paling timur di Indonesia ini, ketiga hal itu terasa berbanding terbalik, dan sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, terasa "menggelitik". Saya jadi mempertanyakan kembali semua kerangka pikir perstatistikan yang selama ini kami pegang, terutama terkait dengan pembangunan. Saya mempertanyakan kembali apakah memang data ini sebegitu pentingnya untuk menunjang pembangunan.

Sebelum pembaca sekalian mulai berspekulasi, mari terlebih dahulu dengarkan bagaimana pembelaan saya.

Bisa dibilang saya adalah salah satu insan statistik yang memang dipupuk untuk berkecimpung di dunia perstatistikan Indonesia ini, setidaknya sejak garis tangan memaksa saya untuk "terjebak" di Politeknik Statistika STIS, kampus kedinasan yang sekaligus mewajibkan saya untuk mengabdi sebagai statistisi abdi negara di Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan latar belakang demikian, asas-asas perstatistikan sangat rajin terputar di kepala saya. Kata-kata seperti "Data Mencerdaskan Bangsa" dan "Data sebagai komoditas 'minyak' terbaru" sudah biasa saya dengarkan. Dengan begitu, pola pikir yang ada di kepala saya adalah "tidak ada pembangunan yang tepat sasaran tanpa adanya data yang akurat". Selama ini, pola pikir ini juga yang saya pegang selama bertugas di lapangan.

Sudut pandang baru saya dapatkan ketika saya mulai sering turun ke lapangan dan bertemu langsung dengan masyarakat-masyarakat di Papua. Di lapangan, saya seringkali menemukan masyarakat yang mengeluhkan pendataan yang terus menerus dilakukan, sedangkan pembangunan terasa begitu lamban. Masyarakat mengeluhkan bahwa mereka sudah berulangkali memberikan data/informasi pada petugas pendataan, tetapi mereka tidak pernah merasakan manfaat dari pendataan ini. Masyarakat suka sekali menanyakan bantuan apa yang akan diberikan dengan adanya pendataan ini. Ketika ditanyai seperti itu, saya biasanya memberikan penjelasan mengenai alur pengambilan kebijakan, dan mengapa pendataan ini dilakukan. Terkhusus, saya menekankan bahwa pendataan ini bukan dilakukan untuk memberikan bantuan tertentu, tapi bentuk kebijakan yang nantinya akan ditentukan dari pusat, yang tidak semuanya berbentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dengan jawaban seperti itu, biasanya masyarakat sudah menerima dan mulai memberikan jawaban meskipun sedikit ogah-ogahan.

Pada masa awal saya melakukan pendataan di lapangan, kepala saya selalu menarik kesimpulan sederhana, "masyarakat hanya berpikir kebijakan selalu berupa BLT dan mereka tidak paham bahwa proses pengolahan data hingga menjadi output kebijakan tidak sesingkat itu". Sederhananya, saya secara sepihak menyalahkan masyarakat yang terlalu bodoh untuk paham bagaimana proses pengambilan keputusan berjalan. Namun, akhir-akhir ini, saya mulai berpikir sebaliknya. Saya mulai memutar pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu doktrin perstatistikan yang selama ini saya pegang.

  "Mengapa kebijakan harus menunggu data diolah?"

  "apakah memang pendataan itu sebegitu penting sehingga pembangunan tidak bisa dilakukan tanpa adanya proses pendataan, yang seringkali memakan waktu bertahun-tahun hingga akhirnya menjadi sebatang grafik?"

Kata "Data Mencerdaskan Bangsa" sebagai doktrin utama insan statistik di Indonesia digaungkan di BPS menjadi tidak semenjanjikan itu lagi. Saya mulai berpikir bahwa jangan-jangan selama ini pendataan yang kami lakukan tidaklah terlalu penting, dan kami hanya mengikuti arus media yang mulai mengangkat derajat pentingnya pendataan. Lalu, setelah berdiskusi dengan kepala saya sendiri, saya mulai mengajukan sebuah pertanyaan yang membantu saya menemukan jawaban dari masalah ini, "mengapa masyarakat merasa jenuh di data?"

***

Satu hal yang mengganggu pikiran saya sejak ditempatkan di Papua Barat adalah mengapa masyarakat disini sangat akrab dengan petugas statistik. Padahal, ketika saya masih magang di BPS provinsi saya berasal, masyarakat sulit membedakan BPJS dengan BPS. Di kampung halaman saya, untuk menjelaskan letak kantor statistik, kami harus menyebutkan sebuah konter pulsa yang terletak di depan kantor kami. Dengan kata lain, konter pulsa jauh lebih populer dibandingkan kantor statistik itu sendiri. Di Papua Barat, ketika ada petugas yang masuk kampung, mayoritas penduduk akan langsung mengidentifikasikan kami sebagai petugas statistik.

Secara statistik, semakin kecil ukuran sebuah populasi, maka rasio jumlah sampel yang ditarik terhadap jumlah total populasi yang ditarget akan semakin besar. Dengan demikian, daerah yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak akan cenderung lebih sulit mendapatkan pendataan, dan sebaliknya, daerah dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit akan lebih sering mendapatkan pendataan. Sederhananya, semakin jarang penduduk suatu daerah, maka semakin besar kemungkinan penduduk berulang kali terambil menjadi sampel pendataan. Hal inilah yang (saya duga) menyebabkan masyarakat di daerah sepi penduduk justru terlalu terbiasa dengan yang namanya petugas pendataaan lapangan, sampai-sampai merasa jenuh dengan pendataan yang dilakukan. Selain itu, karena banyak sekali daerah-daerah dengan akses yang tidak memungkinkan, instansi pemerintahan lainnya biasanya tidak terjun langsung ke lapangan, kecuali petugas-petugas pelayanan inti seperti jaringan listrik, internet, petugas kesehatan, hingga tenaga pengajar di sektor pendidikan. Sehingga, begitu ada petugas yang membawa dokumen-dokumen di tangannya, sudah bisa dipastikan orang itu adalah petugas statistik.

Oh iya, perlu dicatat juga bahwa pada saat saya ditempatkan di Papua Barat, BPS baru saja melaksanakan dua kegiatan Sensus. Dua pendataan yang bersifat sensus (kegiatan statistik yang bersifat menyeluruh) itu menyebabkan masyarakat harus "menghadapi" petugas statistik berulang kali dalam waktu yang relatif singkat. Akibatnya, masyarakat "mempertanyakan" urgensi pendataan. Kegiatan sensus yang padat, ditambah dengan kegiatan survei yang berulang kali, membuat masyarakat jenuh. Masyarakat bingung dengan mengapa mereka harus berulang kali menjamu petugas statistik di rumah mereka padahal tidak pernah ada yang tahu bagaimana data itu akan berdampak pada kehidupan mereka.

Tidak jarang petugas statistik menjadi pelampiasan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Kami sering mendapatkan marah karena bantuan tidak turun atau karena akses jalan rusak. Tidak jarang pula mereka menolak didata karena tidak puas dengan kinerja pemerintahan. Sebagai bagian utuh dari satu pemerintahan yang diwajibkan bersifat kolaboratif, kami diwajibkan untuk memberikan penjelasan yang membela pemerintah. Namun di sisi yang lain, kami juga tidak diperbolehkan menjanjikan bantuan ketika pendataan dilakukan. Kami harus mengganti ketidakpuasan itu dengan sedikit "sogokan" berupa oleh-oleh rokok atau apapun yang dapat kami gunakan untuk melegakan hati mereka dalam memberikan data.

Yang ingin saya sampaikan di paragraf sebelumnya adalah, bisa jadi kejenuhan masyarakat terhadap pendataan adalah sebuah bagian kecil konsekuensi dari pelaksanaan pemerintahan yang lamban. Dengan kerangka pikir ini, mengajukan pertanyaan seperti "mengapa kebijakan harus menunggu pendataan?" terasa layak untuk diajukan.

***

            Data itu memang mahal, tapi pembangunan tanpa data akan jauh lebih mahal.

Hal inilah yang sangat sulit disampaikan kepada masyarakat. Saya pribadi sangat memahami mengapa masyarakat merasa jenuh di data. Namun di sisi lain, saya juga memahami bahwa pemerintahan tidaklah sesederhana 2 kali 2 sama dengan 4. Di benak masyarakat, pendataan terus berjalan, sedangkan dampak dari kebijakan yang diambil minim (apalagi ditambah dengan kerangka pikir kebijakan = Bantuan). Dan jika dipikir lagi, jumlah penduduk berbanding lurus dengan perputaran ekonomi, sedangkan disisi lain berbanding terbalik dengan intensitas pendataan. Jika pembangunan hanya bergantung pada data jumlah penduduk, maka bisa dibilang masyarakat di wilayah sepi penduduk akan jarang mendapatkan dampak dari pembangunan, sedangkan proses pendataan di wilayah seperti itu mewajibkan masyarakat didata berulang kali hingga mereka jenuh.

Maka dari itu, yang ingin saya katakan, kebijakan pemerataan pembangunan yang tidak memerhatikan jumlah penduduk sangat perlu dilakukan. Kebijakan seperti pembangunan jalan trans papua bisa menjadi contoh yang baik. Tentu saja, semakin banyak jumlah penduduk di suatu daerah maka kebutuhan daerah tersebut makin banyak, namun tidak banyak yang memerhatikan bahwa jumlah penduduk juga bergantung pada kondisi baik/buruknya suatu wilayah (baca teori migrasi: pull and push theory). Pembangunan juga akan mengundang penduduk untuk meramaikan wilayah tersebut.

Selain itu, hal lain yang merasuki pikiran saya adalah, meskipun pembangunan tidak bisa dilakukan tanpa data, namun data tidak harus selalu berupa survei dan sensus. Data bisa jadi berupa pengamatan langsung yang dilakukan oleh pejabat terkait di lapangan. Data bisa berupa keluhan masyarakat di sosial media. Tentu saja, data dengan metode ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan jauh lebih baik untuk digunakan. Namun jika kebijakan harus selalu diambil dari angka matematis, maka pemimpin tidak lebih baik dari robot Artificial Inteligence. Pemimpin harus peka meskipun proses pendataan belum selesai. Toh juga pada kenyataannya, data lebih banyak digunakan untuk mengevaluasi kebijakan yang diambil daripada menjadi landasan dari pengambilan kebijakan. Akses jalan yang rusak misalnya, adalah suatu masalah yang menurut hemat saya tidak perlu menunggu pendataan jalan rusak karena dapat terlihat dengan jelas jalanan mana saja yang mengalami kerusakan.

Pendataan bukanlah bagian terpisah dari pembangunan. Pendataan adalah suatu usaha pembangunan itu sendiri, dan hal inilah yang dipegang oleh pemerintah terutama BPS sebagai instansi yang bertanggung jawab di bidang statistik. Meskipun masyarakat belum cukup sadar makna dari pentingnya pendataan, kami akan terus berusaha melakukan pendataan sebaik mungkin, sehingga data yang dihasilkan tetap dan terus menjadi bagian dari pembangunan Indonesia, khususnya di Papua Barat ini.  Semoga pembangunan yang dilakukan di Indonesia semakin membawa manfaat bagi masyarakat yang ada, Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun