Mohon tunggu...
Andi Alfitra Putra Fadila
Andi Alfitra Putra Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Plat Merah

Statistisi yang bingung membedakan peran sebagai penulis, pembaca, dan analis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Paradoks Ukuran: Alasan Mengapa Angka Pertumbuhan Ekonomi BPS Terasa Tidak Masuk Akal

30 Agustus 2021   06:37 Diperbarui: 30 Agustus 2021   08:18 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada hari Kamis, 5 Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2021 dalam Berita Resmi Statistiknya. 

Kepala BPS, Margo Yuwono dalam siaran persnya menyampaikan berita gembira bahwa ekonomi Indonesia akhirnya bertumbuh positif 7,07% setelah selama 4 kuartal tidak pernah mencapai angka positif. Tentu saja, sangat tidak masuk akal bagi masyarakat untuk mendengar berita pertumbuhan ekonomi ini dengan kondisi sedang dihantui kebijakan PPKM.

Apakah benar BPS 'berbohong' dalam publikasinya? Atau apakah masyarakat yang bersikap subjektif dalam menilai pertumbuhan ekonomi di Indonesia? Bagi saya pribadi, persoalan utamanya bukanlah siapa yang salah, melainkan apakah kita membahas permasalahan yang sama.

Sebagai mahasiswa statistik tingkat akhir, saya mencetuskan sebuah teori koplo bernama "Paradoks Ukuran". Teori koplo ini menjelaskan bahwa masalah utama dari pembahasan ukuran statistik adalah ketidaksepakatan antara para akademisi dengan orang awam mengenai batasan kasus. 

Pada kasus pertumbuhan ekonomi yang jadi pengantar artikel ini, bagi masyarakat awam, pertumbuhan di angka 7% tidak masuk akal sebab ekonomi bangsa sedang terancam dampak negatif PPKM. Masalahnya, sebenarnya angka 7% itu sama sekali tidak berkaitan dengan PPKM yang diberlakukan terhitung tanggal 3 Juli 2021.

Angka 7% tadi merupakan angka pertumbuhan ekonomi Indonesia secara YoY pada kuartal kedua 2021. Istilah YoY berarti angka tersebut diperoleh dengan membandingkan PDB periode ini dengan tahun sebelumnya, kemudian kata kuartal kedua berarti waktu yang dicakup adalah bulan April-Juni. 

Dengan kata lain, angka tadi merupakan hasil perbandingan kondisi ekonomi periode April-Juni tahun ini dengan kondisi ekonomi periode April-Juni pada tahun sebelumnya. 

Perlu diingat bahwa pada periode April-Juni 2020, kondisi ekonomi kita sedang dihantam ombak pertama covid-19 mengingat pada periode itu pertumbuhan YoY kita pertama kalinya terjun ke angka minus 5%. 

Sehingga, dengan mempertimbangkan bahwa PPKM darurat baru dimulai pada tanggal 3 Juli 2021, rasanya sangat masuk akal jika ekonomi kita bertumbuh 7% pada periode tersebut.

Meskipun demikian, sangat wajar jika publik mengkritik berita statistik mengenai pertumbuhan ekonomi yang terkesan meroket di tengah kondisi PPKM, saat kondisi ekonomi masyarakat kecil sedang sekarat. Apalagi, beberapa orang menggunakan berita statistik ini sebagai perayaan yang terkesan menjadi glorifikasi tak berdasar. 

Secara sederhana, angka ini mencerminkan pertumbuhan yang dapat kita capai selama setahun dibandingkan periode terkelam selama pandemi berlangsung. Meskipun angkanya cukup tinggi, bertumbuh 7% dari kondisi terburuk saya rasa bukanlah prestasi yang dapat dibanggakan. Bahkan meskipun itu tetap sebuah prestasi, akan lebih baik jika prestasi itu tidak dirayakan di tengah ancaman merosotnya ekonomi akibat kondisi PPKM yang berkepanjangan.

Mengenai Paradoks Ukuran yang saya cetuskan, ketidaksepakatan antara para akademisi dengan orang awam di sini mencakup cakupan waktu, definisi, dan faktor yang diukur. Selain itu, dualisme antara kedua golongan itu semakin memperparah hal ini. Padahal, sebagaimana contoh kasus di atas, seringkali kesalahpahaman ini terjadi hanya karena kurangnya pemahaman mengenai definisi yang digunakan dalam ukuran tersebut.

Lantas apakah ukuran statistik adalah ukuran mutlak yang harus kita dengarkan, kemudian opini publik menjadi tidak penting dalam pengambilan keputusan? Tak dapat dipungkiri, salah satu kelemahan BPS (pun lembaga ilmiah lainnya) adalah sulitnya mengejar waktu. 

Atas alasan itu pula, keluhan masyarakat di warung kopi kadangkala menjadi ukuran yang lebih baik sebab ukuran itu menjadi ukuran teraktual yang dapat kita peroleh. 

Jika diskusi dapat berjalan lancar dan bersifat terbuka, diskusi ilmiah yang sering digunakan pada metode penelitian Focus Group Discussion (FGD) dapat diperoleh meskipun dilaksanakan sambil merokok santai. Metode ini memang memiliki kelemahan dari segi subjektivitasnya, namun jika yang kita pikirkan adalah relevansi waktu, berdiskusi langsung menjadi opsi terbaik.

Sebagai penutup, ketimpangan pengetahuan antara kedua belah pihak bukanlah salah siapapun. Oleh karena itu, hal ini menjadi tugas bersama antara akademisi dan masyarakat awam untuk berusaha memahami perspektif masing-masing. 

Sebagaimana yang saya utarakan sebelumnya, pengukuran secara statistik memang memiliki kekurangan dari segi waktu sehingga menjadi tugas masyarakat umum untuk menghadirkan diskusi yang lebih aktual. 

Di sisi lain, akan sangat baik ketika diskusi publik mampu melampirkan ukuran statistik yang memiliki nilai subjektivitas yang rendah. Semoga saja pada suatu waktu para akademisi mampu menjelaskan ukuran statistik dengan lebih baik, sehingga Fenomena Paradoks Ukuran tidak lagi muncul di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun