Dalam hasil penelitian tersebut didapatkan data bahwa 60% mitra merasa dirinya terancam dari tertularnya Virus Corona (penyebab Covid-19). Selain itu penelitian ini juga menyoroti terkait pengaruh covid-19 terhadap penghasilan selama bulan maret-april 2020 dan didapati hasil bahwa 63% driver mengaku mereka tidak mendapatkan penghasilan, 36% mengaku penghasilannya berkurang dibanding sebelum covid-19 dan 1% mendapat penghasilan yang sama saja seperti sebelum covid.Â
Dari laporan penelitian tersebut juga didapati kesimpulan bahwa dampak ekonomi pandemi Covid-19 pada mitra pengemudi Gojek ini memiliki efek amplifikasi karena hampir semua berkeluarga, memiliki tanggungan (mayoritas 3 orang tanggungan), dan tidak memiliki sumber penghasilan lain.
Tentunya dampak sosial dan ekonomi yang dialami oleh para mitra driver gojek ini akan berpengaruh tidak hanya untuk diri mereka pribadi, namun juga bagi kelangsungan kehidupan perusahaan. Dan jika kelangsungan kehidupan sebuah perusahaan hancur, maka efek ekonomi dan sosialnya juga akan sampai pada negara, karena dalam bisnis sharing economy ini akan saling menautkan diantara ketiganya. Lalu bagaimanakah upaya yang diterapkan pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang mengalami dampak serangan pandemi covid-19?
Beberapa upaya penanganan terhadap dampak pandemi sendiri telah banyak dilakukan oleh pihak pemerintah maupun swasta. Pemerintah sedari awal telah mereaktualisasi dan merestrukturisasi banyak kebijakan sebagai upaya penstabilan nasional, dari mulai penyelenggaraan bansos, insentif, hingga program vaksinisasi.Â
Selain itu, secara serius pemerintah juga telah mengeluarkan 9 program utamanya selama pandemi, diantaranya adalah pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH), Program kartu sembako, Bantuan Beras Bulog, Bantuan sosial Tunai (BST), Bantuan Ususulan Tunai Pemerintah Daerah, Diskon Listrik, Program Prakerja, Subsisi Kuota Internet, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan lain-lain.
Selain peran dari pihak pemerintah, pihak swasta juga tentunya memiliki tanggung jawab yang sama terkait andil dan perannya dalam upaya penanganan dampak pandemi terhadap masyarakat.Â
Beberapa pihak perusahaan atau swasta mungkin telah banyak melakukan manuver kebijakan dan mengadakan program-program sosial sebagai upaya penanganan dampak pandemi, namun tak banyak juga pihak swasta yang lebih memilih menutup mata dan mementingkan keberlangsungan hidup perusahaanya sendiri.Â
Secara norma ekonomi memang tak salah mementingkan bisnisnya sendiri agar tetap berjalan dan mampu bertahan selama masa yang sulit ini, namun secara norma etika, perusahaan yang melakukan hal demikian nampaknya bukanlah perusahaan yang baik karena mereka mengabaikan program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) terhadap lingkungan sekitarnya.
Claim terkait banyaknya perusahaan atau pihak swasta yang mementingkan dirinya sendiri dan terkesan menutup mata dari tanggung jawabnya dalam upaya penanganan pandemi juga disepakati oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Dilansir dari Jpnn.com (2021), Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Sigit Reliantoro mengatakan kondisi pandemi membuat sebagian perusahaan malah sengaja mengambil untung dari terjadinya pandemi ini.Â
Menurutnya, "para pelaku bisnis yang seperti ini (menutup mata) tentunya mengabaikan etika. Selain itu, ada juga sebagian (perusahaan) yang karena bisnisnya terganggu menjadi alasan untuk mengurangi komitmennya terhadap pelaksanaan program CSR," ujar Sigit Reliantoro, saat menjadi Keynote Speaker di acara penghargaan Indonesia Corporate Social Responsibility Awards (ICSRA) 2021: New Normal Sustainability).
Seperti yang sudah dibahas diatas, situasi pandemi nampaknya telah menjadi tameng bagi sebagian perusahaan yang nakal untuk mangkir dari menjalankan kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR).Â