Mohon tunggu...
Alfisyah BintangPrayoga
Alfisyah BintangPrayoga Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Just another ordinary man that love to write

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Filsafat Telah Mati

16 Juni 2022   10:31 Diperbarui: 16 Juni 2022   10:40 1688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara di Google Zeitgeist Conference di Hertfordshire pada 2011 silam, Stephen Hawking, seorang fisikawan dan penulis “A Brief History of Time” membuat pernyataan yang cukup berani dengan mengatakan bahwa filsafat sudah mati.

Menurutnya, filsafat sudah jauh ketinggalan zaman karena tidak bisa mengejar kemajuan teknologi, terutama fisika. Dengan mengacu pada pertanyaan tentang awal mula alam semesta, Hawking mengatakan bahwa “mungkin banyak dari kita yang tidak begitu peduli dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Ketika kita bertanya tentang: Mengapa kita ada di sini dan dari mana kita berasal? Secara tradisional mungkin pertanyaan ini lebih dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan filsafat, tetapi sayang, filsafat sudah mati.”

Kelihatannya filsafat menurut Hawking hanya dipahami sebagai contoh dari apa yang oleh filsuf Lisa Heldke sebut sebagai “pengetahuan yang bodoh”, yang menyebut seseorang bodoh karena telah mempelajarinya.

Tentu pernyataan seperti ini tentu bukanlah hal yang baru. Ini sudah pernah disinggung oleh para positivis sejak abad ke-19. Bagi kaum positivis, sains memegang kunci realitas dan karenanya, filsafat, agama, atau teologi harus dibuang demi masa depan yang lebih rasional dan ilmiah bagi umat manusia.

Selain para positivis, dikalangan filsuf pun ada yang memiliki pandangan serupa, yaitu Nietzsche. Selain klaim tentang “kematian Tuhan”, dia juga lah yang memproklamerkan tentang kematian filsafat karena ia percaya adalah sia-sia bagi filsafat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental dalam hidup manusia.

Kembali ke Hawking. Sejauh yang saya ketahui, Hawking bukanlah seorang positivis reduksionis. Namun dalam hal ini, ia kembali memunculkan motto lama saintisme bahwa fisika harus menjadi satu-satunya pedoman manusia dalam usaha untuk menemukan jawaban hidup, termasuk juga makna hidup. Namun begitu, bagi saya, pernyataan Hawking tersebut juga masih dilematis – karena pernyataannya mengenai kematian filsafat itu justru cenderung lebih filosofis, daripada ilmiah.

Namun Hawking barangkali ada benarnya juga, apa yang sains, dalam hal ini fisika pelajari mengenai alam juga tidak dapat dinafikkan. Saya kira itu kontribusi yang terlalu besar untuk diabaikan. Hanya saja, mungkin, satu-satunya kesalahan Hawking adalah dia mengabaikan fakta bahwa sains tidak selalu bisa menjawab semuanya – terutama pertanyaan tentang “mengapa” sebagaimana yang dilakukan filsafat, namun hanya dapat menjawab tentang “apa”.

Sains hanya menjelaskan tentang apa itu atom, bagaimana cara kerjanya, dan hal-hal prosedural lainnya. Padahal pertanyaan penting dan yang paling mendasar yang mustinya jadi perhatian utama kita sebagai makhluk rasional adalah pertanyaan tentang “mengapa”. Dalam pencarian akan makna hidup, pertanyaan “mengapa” adalah lebih penting daripada pertanyaan tentang “apa” dan “bagaimana”. Di sinilah letak penting filsafat itu berada.

Kata filsafat, berasal dari bahasa Yunani; “Philo” dan “Sophia”, yang berarti ‘cinta akan kebijaksanaan’. Konon, orang pertama yang menggunakan istilah ini adalah Pythagoras. Ia mengatakan bahwa kebijaksanaan sejati hanya milik Tuhan semata dan kita sebagai manusia yang terbatas dan lemah tidak akan mampu mencapai kebijaksanaan tersebut. Namun demikian, sebagai manusia, kita hanya bisa mencintainya saja. Di sini Phytagoras menggabungkan dua kata kerja yang berbeda sekaligus, antara – “mengetahui” dan “mencintai” dalam satu keranjang yang sama: filsafat.

Lalu, kalau begitu, kebijaksanaan seperti apa yang diinginkan filsafat?

Yang jelas kebijaksanaan yang dimaksud filsafat adalah sesuatu yang lebih dari sekadar informasi dan data-data saintifik; Sesuatu yang lebih mengacu pada pemahaman atau kesadaran yang lebih tinggi mengenai hal-hal di luar angka, statistik, dan apa yang nampak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun