Dengan menggunakan syarat yang ketat untuk menerima teks tertulis maupun teks lisan, status hasil dari kedua sumber teks tetap terjaga. Benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Ada sebuah riwayat yang menerangkan bagaimana disiplin dan ketatnya Zaid dalam menjaga kriteria akan datang nya saksi. Saat Zaid akan menulis akhir dari surat Bararah, Zaid terhenti. Bukan karena ia lupa, Zaid sangat hafal/ingat betul tentang dua ayat terakhir dari surat Bararah atau At-Taubah itu. Zaid juga memiliki teks tertulis dari dua ayat tersebut. Jadi sebenarnya Zaid sudah mempunyai hafalan sekaligus mempunyai bukti tertulisnya. Hafalan dan bukti tertulis dari Zaid seorang masih belum dianggap cukup. Atas intruksi dari Abu Bakr agar tidak menuliskan ayat tanpa adanya saksi, Zaid pun terhenti. Sampai akhirnya datang seorang sahabat yang bernama Abu Khuzaima. Ia membawa perkamen (media untuk menulis yang dibuat dari kulit binatang) yang berisi dua ayat terakhir dari surat Bararah atau At-Taubah itu. Abu Khuzaima disumpah bahwa ia didikte langsung oleh Nabi. Dua ayat itu lalu di validasi oleh Zaid dan tim. Kemudian dua ayat tersebut dimasukkan dalam susunan Suhuf. Dua ayat Al-Bararah atau At-Taubah itu adalah ayat 128-129.
Sementara pada saat melakukan validasi pada salinan baru, Zaid dan timnya menemukan bahwa ada ayat yang belum tertulis yaitu Al-Ahzab ayat ke 23. Mereka tau dikarnakan hafal betul ayat-ayat Al-Qur'an. Maka didapatkan teks tertulis dari ayat itu pada Khuzaimah b Tsabit. Setelah disumpah bahwa Khuzaima mendapatkan ayat itu langsung dari Nabi. Ayat ke 23 dari surat Al-Ahzab itu dimasukkan dalam naskah salinan baru. Lengkap sudah Mushaf itu. Mushaf itu lalu dibandingkan dengan Suhuf yang disimpan oleh Kafsha. Hasilnya sama dan tidak ada kesalahan sama sekali. Antara Abu Khuzaimah dan Khuzaimah b Tsabit adalah dua orang yang berbeda, bukan satu orang. Jika kita tidak teliti dengan kedua nama tersebut, dengan sembrono bisa ditarik kesimpulan bahwa didalam suhuf Abu Bakr terdeteksi kekurangan ayat ke 23 dari surat Al-Ahzab lalu dikoreksi pada penyusunan Mushaf zaman Ustman. Padahal kekurangan ayat itu terdeteksi oleh Zaid pada saat penyusunan salinan baru untuk dijadikan Mushaf Ustman. Lalu zaid membandingkan ulang dengan Suhuf Abu Bakr. Hasilnya sama dan tidak ada perbedaan. Baru setelah itu Suhuf dikembalikan kepada Khafsa.
Suhuf Al-Qur'an yang dikerjakan oleh Zaid dan timnya menjadi himpunan buku tertulis pertama di Jazirah Arab. Jika sebelumnya ada teks tertulis, maka itu adalah lembaran-lembaran teks yang tersebar. Termasuk syair-syair nya orang Arab yang tertulis dan ditempelkan di dinding Ka'bah, tidak pernah dihimpun menjadi satu buku. Suhuf ini mendokumentasikan secara lengkap ayat-ayat Al-Qur'an secara tertulis. Namun dengan datangnya Suhuf ini, bukan berarti penyebaran ayat-ayat Al-Qur'an beralih dan bergantung semata-mata pada Suhuf. Penyebaran Al-Qur'an tetap berjalan secara lisan oleh sahabat dan umat Islam. Suhuf ini disimpan oleh Abu Bakr dan diberikan kepada Umar sebagai Khalifah penggantinya. Lalu Suhuf ini diberikan oleh Umar kepada Khafsa, istri Nabi.
Maka meskipun sudah ada Suhuf, ketika penyebaran Islam mulai meluas, muncullah perbedaan-perbedaan cara baca dan cara mengartikulasikan bunyi-bunyi ayat Al-Qur'an. Bagaimanapun teks tertulis tidak sepenuhnya mempresentasikan beragam dialek. Mengingat sahabat-sahabat tidak semuanya berdialek Quraish.
Pemushafan Al-Qur`an hingga dikenal Mushaf Utsmani
Terdapat riwayat yang mengatakan dalam usaha mengumpulkan dan membukukan al-Qur'an, Abu Bakar mengangkat semacam panitia yang terdiri dari empat orang: Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dan tiga lainnya adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Ubay bin Ka'ab. Panitia ini menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu tahun. Yakni sesudah perang Yamamah dan sebelum wafatnya Abu Bakar.
Zaid bin Tsabit kemudian menyerahkan mushaf ini kepada Abu Bakar yang nantinya tetap dipegang Beliau sampai akhir hayatnya. Kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khattab selama pemerintahannya. Sesudah Beliau wafat mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, putri Umar, yang juga merupakan istri Rasulullah sampai akhirnya datang masa pembukuan di era khalifah Utsman bin Affan.
Mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah sesudah Umar, alasannya adalah sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan kepada enam orang sahabat diantaranya Ali bin Abi Thalib untuk bermusyawarah memilih seorang di antara mereka menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah seorang di antara enam sahabat itu, Ia khawatir dipahami sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal Umar ingin memberikan kebebasan kepada para sahabat untuk memilih salah seorang dari mereka menjadi khalifah.
Khalifah Usman bin Affan adalah sosok yang sangat penting dalam sejarah pembukuan Al-Qur'an. Usman mengamati bahwa banyak perbedaan dalam cara membaca Al-Qur'an, yang disebabkan oleh perbedaan dialek dan pengucapan yang ada di berbagai wilayah. Hal ini berpotensi menyebabkan perselisihan di antara umat Islam. Usman, yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, memutuskan untuk menyusun Al-Qur'an dalam bentuk naskah tunggal yang dapat digunakan secara seragam oleh seluruh umat Islam di berbagai wilayah kekuasaannya.
Langkah pertama yang diambil oleh Usman adalah membentuk sebuah panitia khusus yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit sebelumnya telah berpengalaman dalam menyusun Mushaf Abu Bakar, sehingga dia dipilih untuk memimpin proyek pembukuan Al-Qur'an yang baru ini. Panitia ini terdiri dari beberapa sahabat yang ahli dalam ilmu Al-Qur'an, dan mereka bertugas untuk menyalin dan menyusun Al-Qur'an berdasarkan naskah yang ada. Proses penyusunan naskah Al-Qur'an dimulai dengan pengumpulan seluruh naskah Al-Qur'an yang ada di berbagai wilayah. Naskah-naskah tersebut dikumpulkan dari berbagai sumber, baik dari para penghafal Al-Qur'an maupun dari berbagai bahan tulisan yang sudah ada. Selanjutnya, panitia tersebut melakukan verifikasi terhadap setiap huruf dan bacaan Al-Qur'an untuk memastikan kesahihannya, serta memastikan bahwa tidak ada perbedaan dalam bacaan atau penulisan yang bisa menyebabkan kekeliruan.Setelah naskah-naskah yang sudah diverifikasi selesai, Zaid bin Tsabit dan timnya menyalin ulang Al-Qur'an dengan menggunakan bahasa Quraisy, yaitu dialek yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini dilakukan untuk menyatukan bacaan Al-Qur'an agar tidak ada perbedaan dalam cara membacanya.
Dalam proses ini, Zaid dan timnya menulis ulang seluruh Al-Qur'an dengan cermat, memastikan bahwa setiap huruf dan kata sesuai dengan bacaan yang benar. Setelah selesai disalin, naskah Al-Qur'an ini kemudian diproduksi dalam beberapa salinan. Khalifah Utsman memerintahkan agar beberapa salinan mushaf tersebut disebarkan ke berbagai wilayah kekuasaannya. Mushaf yang paling otoritatif ini dikenal dengan sebutan Mushaf Utsmani atau Mushaf al-Shahih.