[caption id="attachment_124476" align="aligncenter" width="300" caption="Pose anak-anak yang ikut bimbingan belajar"][/caption]
Sore itu menjelang maghrib, aku baru saja sampai di kota kelahiranku, Kediri. Setelah menempuh perjalanan dari Kota Buaya, eh Surabaya. Langsung menuju ke "rumah kedua" alias sekretariat LSM teman-teman. Selepas Sholat Maghrib, ingin sekali tiduran saja karena penyakit migrain tiba-tiba menyerang kepala tanpa kompromi. Sakitnya luar biasa sampai tak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi rasa sakit ini. Tanpa minum obat sudah menjadi kebiasaanku bila sudah terserang rasa sakit. Aku hanya ingin istirahat.
Selang beberapa menit tiduran, rasa sakit ini tidak juga mereda. Dari ruang atas tempatku beristirahat, terdengar suara ramai anak-anak di ruang tengah bawah yang cukup mengganggu tidurku. Ya, anak-anak yang sedang mengikuti bimbingan belajar sudah mewarnai ruangan. Kami mendirikan sebuah lembaga bimbingan belajar yang dinamakan KIBAR STUDY CLUB. Waktu belajar mereka selepas Maghrib. Sebenarnya enggan untuk turun ke bawah. Tapi mendengar keriuhan mereka, hatiku terusik untuk ikut nimbrung.
Terlihat setiap anak sudah sibuk dengan buku LKS (Lembar Kerja Siswa) mereka masing-masing. Perkiraanku jumlah mereka sekitar 15 anak. Mulai kelas 1 SD sampai kelas 1 SMP. Sementara, kami bertiga yang membimbing mereka. Sebenarnya aku hanya membantu teman-teman membimbing mereka saat pulang di Kediri. Yang aku lakukan adalah membantu mereka mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Luar biasa banyaknya tugas yang setiap mereka bawa dari sekolah. Sebenarnya yang mengejutkanku adalah bahwa mata pelajaran setingkat SLTP (pada masaku dulu) sudah diberikan kepada anak-anak di masa SD. Untuk membimbing mereka, sebenarnya aku lebih memilih mata pelajaran Matematika atau ilmu eksak yang lain. Agak malas kalau mengambil mata pelajaran yang berbau bacaan.
Nah, belum lama pikiranku melayang ke arah sana. Namanya Salsa, salah seorang diantara mereka. Dia seorang murid SD yang duduk di kelas 6. Anak yang cukup cerdas dan kritis di antara yang lainnya. Dia sedang sibuk menyelesaikan tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia (sekarang apa ya namanya?). Suatu kali dia membaca sejarah tentang seorang SAYUTI MELIK, seorang tokoh penting yang mengetiknaskah Proklamasi Kemerdekaan RI. Pada saat itu, dia melontarkan pertanyaan :
“Mbak, Sayuti Melik itu Pahlawan ya?". Tanyanya secara tiba-tiba di sela-sela kesibukannya mengerjakan tugas.
Hmmm....aku cukup terhenyak mendengar pertanyaan itu. “Tentu saja”. Jawabku dengan cepat.
“Kenapa dia disebut pahlawan? Kan nggak ikut berperang? Kok disebut pahlawan?” timpalnya penuh tanya dengan antusias.
Hmmmm. Waduh, bagaimana cara memahamkan kepadanya ya?
Beberapa saat kujawab, “Salsa, Pahlawan itu tidak harus ikut berperang. Tidak mesti memegang senjata di saat terjadi peperangan. Disebut pahlawan karena dia ikut berjasa mengetik naskah proklamasi tersebut”.
“Masak, mengetik naskah saja disebut pahalwan? Kalo gitu aku juga bisa dong.” Jawabnya bersikeras.
“Mmmm...., begini Salsa. Salsa juga bisa menjadi pahlawan. Siapapun bisa menjadi pahlawan. Pahlawan itu tidak mesti dikenal orang banyak atau terkenal. Tidak harus ikut berperang membela Negara. Kan sekarang tidak ada perang. Kalau Salsa mau menjadi pahlawan, Salsa bisa berbuat sesuatu yang berguna dan bermanfaat yang bisa dirasakan orang banyak, dan dilakukan dengan hati yang tulus dan ikhlas”. Aku terdiam sesaat sebelum kemudian melanjutkan.
“Mmmm, misalnya begini, Salsa melakukan sesuatu (sambil bergaya menggerakkan tangan) yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang banyak”. Aku terdiam lagi dan Salsa masih antusias menunggu penjelasanku selanjutnya.
“Sesuatu yang berguna itu bisa berupa hasil pemikiran, ide (bingung menjelaskan)........maksudnya begini. Salsa ingin mengajari orang lain membaca, supaya orang yang Salsa ajari itu juga pandai membaca, seperti guru itu. Itu bisa disebut pahlawan”. Sampai di sini aku benar-benar berhenti menjelaskan kepada anak kritis ini. Karena memang kehabisan kata-kata.
Pada saat itu dia mengangguk tanda mengerti dan berkata :
“Oooo, saya juga bisa jadi pahlawan ya mbak?”
Hk? Lagi-lagi aku terkejut “ya”. Jawabku menyemangati.
“Kalau begitu, saya ingin menjadi seorang guru deh, nanti. Supaya bisa mengajari orang banyak dan bermanfaat” jawabnya dengan mata berbinar-binar dan penuh semangat.
Mendengarkan penuturannya yang polos, hatiku jadi terharu. Tiba-tiba saja sakit kepalaku hilang sama sekali. Dan aku baru sadar, kalau barusan aku sakit kepala????? Wah, ajaib!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H