Mohon tunggu...
Alfira Najmi Ramadhani
Alfira Najmi Ramadhani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga

Ilmu Komunikasi'21 (21107030064)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengenal Helicopter Parenting: Niat Baik Orangtua yang Justru Berdampak Buruk bagi Anak

9 Juni 2022   14:18 Diperbarui: 9 Juni 2022   15:26 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang tua pasti dan ingin selalu memberikan sesuatu yang terbaik bagi anak-anaknya, termasuk ingin melindungi dan memastikan bahwa anak-anaknya mendapatkan kehidupan yang baik dan terjamin. 

Mendidik anak bukanlah suatu hal yang mudah, tidak ada buku manual untuk menjadi orang tua atau tahapan-tahapan apa yang perlu dilakukan agar bisa menjadi orang tua yang baik. 

Banyak sekali orang yang ingin menjadi orang tua yang terbaik bagi anak-anaknya, namun justru hal ini kerap kali menjadi terlalu berlebihan disaat para anak diharuskan untuk mengikuti kemauan seperti yang orang tua inginkan dan justru malah berdampak buruk.

Keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak selama ini dipandang sebagai suatu hal yang baik bagi perkembangan anak, namun kerap kali keterlibatan orang tua yang tinggi dan intens dan sering dijumpai di kalangan orang tua saat ini, justru dipandang sebagai pandangan yang negatif. Hal ini terlihat dari bagaimana penelitian secara historis menggambarkan pola asuh ini sebagai helicopter parenting.

Pernahkah kalian mendengar tentang istilah Helicopter Parenting? Helicopter parenting mengacu pada orang tua yang memiliki tingkat keterlibatan dan perlindungan yang tinggi terhadap anaknya, dimana mereka senantiasa berkomunikasi dengan anaknya, mengurusi urusan anak, membuat dan memutuskan keputusan penting bagi anak, secara pribadi memperhatikan tujuan anak dan berusaha mendapatkan menyingkirkan rintangan demi rintangan yang mereka hadapi. 

Helicopter parenting pada dasarnya adalah tren parenting yang sebenarnya dilakukan dengan niat baik (misalnya dukungan dan kasih sayang), tetapi orang tua seringkali melakukannya dengan melampaui batas yang wajar dan malah mengontrol setiap hal yang ada di dalam kehidupan sang anak.

Helicopter parenting ini biasanya sudah dilakukan para orang tua sejak anak mereka masih berusia balita. Misalnya ketika balita, anak terlalu dikekang saat bermain, tidak dibiarkan disentuh oleh anak lain, tidak membiarkan anak untuk bermain dengan sesuatu yang baru, dan tidak pernah membiarkan anak untuk memiliki waktu untuk bermain sendiri. 

Lanjut ke tahap anak-anak memasuki umur sekolah bahkan sampai mereka berkuliah, orang tua yang menerapkan helicopter parenting biasanya terlalu berinisiatif dan tidak bertanya pada anaknya tentang sekolah mana yang akan mereka pilih, jurusan SMA atau kuliah apa yang mereka minati, atau mendaftarkan anak ke kursus atau kegiatan di luar sekolah yang sebenarnya tidak diminati oleh anak. Bahkan orang tua juga mengatur pertemanan anak dengan siapa anaknya boleh bermain.

Orang tua juga bahkan sangat mengontrol kegiatan akademik anak-anaknya dengan selalu menargetkan bahwa anaknya harus meraih peringkat pertama di kelas, anak-anaknya harus selalu memiliki nilai yang tinggi, dan lain sebagainya.

Orang tua yang menerapkan helicopter parenting ini cenderung sering terlibat secara intens dalam kehidupan anak dengan tujuan melindungi anak dari kemungkinan hal-hal negative yang terjadi dan memastikan bahwa anak-anaknya akan menjadi anak-anak yang berhasil. 

Tak sedikit dari anak-anak yang besar dengan pola asuh helicopter ini justru malah merasakan dampak negatif ketika mereka tumbuh menjadi dewasa. 

Mereka justru kerap kali merasa depresi, tidak bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik, tidak merasa bisa membangun hubungan pertemanan yang baik, bahkan termasuk anak tidak merasa percaya diri saat akan melangkah ke depan atau disaat mereka harus membuat suatu keputusan.

Keterlibatan orang tua dalam segala hal yang dilakukan anak dapat membuat anak takut melakukan sesuatu tanpa pengawasan orang tua. Karena disaat orang tua yang selalu merasa ketakutan dan terlalu khawatir, maka anak-anaknya pun akan dapat menangkap sinyal ketakutan itu dan membuat dirinya tidak percaya diri. 

Hal ini akan dapat membentuk kepribadian anak hingga mereka menjadi dewasa. Anak yang dulu dibesarkan oleh orang tua yang selalu membatasi dan melarang akan tumbuh menjadi putus asa, tanpa rasa percaya diri, tanpa resiko dan tanpa inisiatif.

Anak juga akan merasa bergantung pada orang tuanya dan tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini dikarenakan orang tua selalu terlibat dalam setiap tantangan yang dihadapi anak, sehingga keputusan yang diambil selalu berada di tangan orang tua. 

Akibatnya, anak akan selalu mempercayai orang tuanya untuk membuat atau melakukan sesuatu dan lebih mempercayai keputusan orang tuanya dibanding kemampuan dirinya sendiri dalam mengambil resiko.

Hal ini tentu juga akan berdampak saat anak memasuki dunia kerja. Dalam dunia kerja tentu diperlukan skill untuk dapat mengambil sebuah keputusan dengan cepat, jika anak yang terlalu dikontrol maka mereka akan merasa kesulitan dalam melakukan hal tersebut. Bahkan membuat anak tidak mandiri karena semua tugas yang harusnya mereka lakukan sendiri, terbiasa dilakukan oleh orang tuanya.

Helicopter parenting juga merupakan pola asuh yang diyakini dapat menjadi salah satu penyebab mengapa anak dapat menjadi jahat dan agresif terhadap anak lain. 

Ini dapat terjadi sebagai respons terhadap pola asuh yang ekstrem. Helicopter parenting berpengaruh untuk membuat anak lebih mudah marah dan tidak sabar saat bersama dengan teman sebayanya.

Menjadi orang tua bukanlah suatu hal yang mudah. Namun tetap perlu diingat bahwa keterlibatan yang berlebihan justru membuat anak tidak mampu mandiri. Biarkan mereka menghadapi semua kegagalan dan pasang surut dalam hidup mereka sendiri. 

Orang tua tetap hadir namun juga tidak bisa mengendalikan setiap keputusan yang ada. Anak-anak perlu dibiarkan untuk merasakan berbagai emosi ketika dunia tidak berpihak pada mereka. 

Perasaan kecewa, takut, khawatir, bahkan sedih, karena kegagalan sejatinya adalah suatu hal yang manusiawi. Karena orang tua tidak mungkin selamanya bisa berada di sisi anak-anak mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun