Terlihat baik-baik saja, namun ternyata sedang menutupi kesedihan. Pernahkah kamu mengalami fase ini?Â
Terkadang ketika kita sedang mengalami sebuah kesulitan ataupun sedang memiliki sebuah masalah, kita cenderung untuk menutupinya dan terlihat baik-baik saja di depan orang lain.Â
Alasannya terbilang simple, terkadang kita hanya tidak ingin orang lain melihat sisi "lemah" yang kita miliki atau tidak ingin menambah beban orang lain jika kita menceritakan apa yang kita rasakan.
Pernahkah kamu mendengar tentang "Eccedentesiast?" atau mungkin kamu pernah mengalaminya tanpa tahu namanya.Â
Dikutip dari laman Urban Dictionary, eccedentesiast merupakan istilah dalam psikologi yang diperuntukkan bagi orang yang suka menyembunyikan kesedihannya di balik senyuman.Â
Pada dasarnya Eccedentesiast adalah keadaan yang sering kali disematkan pada mereka yang seringkali berpura-pura bahagia dan tersenyum hanya untuk menutupi kesedihan yang mereka sedang alami.Â
Senyuman itu seolah dipancarkan untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka sedang baik-baik saja, walaupun kenyataannya tidak demikian.
Sebagai seorang manusia, kita tentu dianugerahkan dengan berbagai macam emosi. Kecewa, sedih, senang, takut, bahkan putus asa.Â
Banyak sekali cara yang dapat kita lakukan untuk menyalurkan emosi tersebut, ada beberapa orang yang memilih untuk berbagi dengan orang terdekat bahkan tidak sedikit orang yang mengunjungi professional seperti psikolog atau psikiater untuk berbagi hal tersebut, tetapi tidak bagi seorang Eccedentesiast.Â
Orang-orang yang mengalaminya cenderung lebih memilih untuk menyembunyikannya, karena tidak mau melibatkan orang lain, cukup ia saja yang tahu.
Ciri-ciri umum yang seringkali muncul dalam kondisi Eccedentesiast, antara lain adalah selalu terlihat ceria, bahagia, dan sangat periang.Â
Hal ini dilakukan oleh mereka karena ini merupakan salah satu cara agar orang lain tidak dapat mendeteksi kesedihan yang sedang mereka alami dari raut wajah yang mereka pancarkan sehingga orang lain akan berpikir bahwa seorang Eccedentesiast sedang baik-baik saja.
Selain itu, seorang Eccedentesiast cenderung selalu melakukan banyak hal sendiri. Mereka cenderung melakukan banyak yang sendiri bahkan seringkali menghadapi kesedihannya sendiri.Â
Ini yang membuat seorang Eccedentesiast lebih sering memecahkan masalah yang mereka alami dengan jalan yang mereka pikirkan sendiri.
Selanjutnya, hal lain yang sering dialami oleh seorang Eccedentesiast adalah mendistraksi masalah yang sedang mereka hadapi dengan melakukan hal lain, baik itu hal yang mereka sukai ataupun hal yang tidak mereka sukai.Â
Bisa terbilang positif karena terkadang jika kita terlalu berlarut dengan masalah yang kita hadapi, kita malah cenderung terlalu memikirkan itu dan akan berdampak buruk atau bahkan stress.
Lantas hal apakah yang bisa kita lakukan jika kita sedang mengalami fase Eccedentesiast? Hal dasar yang penting dan harus kita lakukan adalah jujur. Jujur terhadap diri kita sendiri tentang apa yang sedang kita rasakan, bukan menyangkal.Â
Kita harus jujur dan mengakui keadaan diri kita yang memang sedang tidak baik-baik saja serta meyakini bahwa memiliki masalah dan bersedih bukanlah sebuah kelemahan, kita harus tau bahwa itu adalah hal wajar yang pasti semua orang alami.
Hal lain yang bisa kita lakukan adalah menceritakan tentang apa yang sedang kita alami dan rasakan kepada orang terdekat.Â
Kita tidak perlu menceritakan hal ini ke banyak orang, cukup satu atau dua orang jika dirasa cukup. Ingat ya, pastikan orang kita ceritakan ini adalah orang yang bisa mengerti dan mengenal kita.
Lalu kita harus menyayangi dan mengasihi diri sendiri. Meyakini bahwa setiap orang pasti memiliki masalahnya tersendiri, semua orang pasti mengalami kesedihan, semua orang pasti mengalami kegagalan dan tidak ada satupun orang yang sempurna.Â
Jadi kita tidak perlu berusaha untuk menjadi sempurna di mata orang lain dengan terus menerus menutupi kesedihan yang kita alami.
Kita juga bisa melakukan hal-hal positif lainnya untuk sejenak rehat dari masalah yang sedang kita hadapi karena jika kita terlalu berlarut memikirkan hal itu, kita malah akan semakin terpuruk.Â
Kita bisa berjalan-jalan ke luar, memasak, menonton film, membaca buku, mencari kata-kata penyemangat dan positif.
Jika dirasa masalah dan kesedihan yang kita alami ini terus berlangsung lama, tidak ada salahnya jika kita mendatangi psikolog atau psikiater.Â
Ketika mengalami masalah dalam kesehatan mental ataupun masalah yang terjadi dalam kehidupan seperti dengan pasangan atau keluarga yang tidak bisa dibicarakan dengan orang lain kamu bisa berkonsultasi dan menceritakan kepada psikolog atau psikiater.Â
Ini adalah hal yang normal, jadi jangan merasa aneh jika harus berkonsultasi ke psikolog.
Perlu diingat, sebaiknya kita jangan  melakukan self-diagnosis. Bila kamu mengalami gejala-gejala tersebut, sebaiknya tanyakan pada profesional mengenai penyebab gejala tersebut yang kamu alami.
Merasa sedih, gagal, bahkan putus asa adalah sebuah hal yang wajar untuk dirasakan oleh seorang manusia. Kita tidak perlu terus menerus menutupinya dan selalu memakai "topeng" jika di depan orang lain.Â
Hilangkan perasaan bersalah dan takut merepotkan orang lain jika kita menceritakan apa yang kita alami. Memilih terus diam dan menyembunyikan perasaan justru akan semakin membuat beban mental yang kita punya semakin bertumpuk dan dalam.
Terkadang hidup dapat membuatmu terpuruk. Namun cepat atau lambat, kamu akan sadar bahwa kamu tidak hanya mampu bertahan, tetapi kamu juga seorang pejuang, dan kamu memiliki kekuatan yang lebih dari yang kamu bayangkan.Â
Pada hari-hari yang sangat sulit ketika kamu merasa tidak akan mungkin bertahan, saya hanya ingin mengingatkan bahwa selama itu pula kamu telah berhasil melewatinya. Tetap semangat, para Eccedentesiast!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H