Mohon tunggu...
Alfi Rahmadi
Alfi Rahmadi Mohon Tunggu... -

Peneliti, Jurnalis, Praktisi Publik Relasi, Forensik Komunikasi. \r\n\r\nWartawan Majalah Forum Keadilan (2004-2009), dengan karir terakhir sebagai redaktur. Majalah Gontor (2002-2004). \r\n\r\nSebagai jembatan komunikasi, dapat dihubungi melalui saluran +82112964801 (mobile); +81806243609 (WhatsApp); Email: alfirahmadi09@gmail.com | alfirahmadi17@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hamba Hukum Sang Pengawal Keadilan

14 Oktober 2014   20:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:02 1872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama Achmad Rifai meroket sejak menjadi pengacara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2009. Ketika Polri menetapkan Chandra M.Hamzah dan Bibit Samad Riyanto, dua pimpinan KPK, sebagai tersangka, 21 orang tim pengacaranya nyaris lunglai. Bibit dan Chandra sudah pasrah; membela diri di pengadilan saja.

Dalam kondisi buntu itulah Achmad Rifai memprakasai terobosan hukum. Ia menggugat balik: tindakan Polri itulah yang diduga bentuk kriminalisasi terhadap KPK. Istilah "kriminalisasi" yang dicetus Rifai inilah membius publik kala itu.

Bibit menjabat erat tangan Rifai: sepakat dengan terobosan itu.  Rifai berinisiatif dan memimpin tim pengacara melapor balik ancaman kriminalisasi terhadap KPK ke Mabes Polri dengan dugaan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang Kabareskrim Polri.

Ia bersama tim pengacara juga mengguji pasal 32 Ayat 1 UU  No.20 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi. Rifai juga kala itu berinisiatif menyurati Presiden SBY. Intinya: ia meminta presiden agar membentuk tim independen. Inilah sekuel drama nyata kasus popular disebut "Cicak versus Buaya" itu. SBY akhirnya membentuk Tim Delapan; salah satunya berdasarkan surat tersebut.

Pengacara Zainal Arifin Hoesein, Panitera MK, tersangka kasus pemalsuan surat MK ini, juga menangani kasus korupsi wisma atlet Sea Games. Ia pengacara saksi kunci kasus ini: Mindo Rosalina Manulang-kerap dipanggil Rosa.

Dari lisan Achmad Rifai-lah praktik suap proyek itu melebar hingga ke jajaran menteri. Ia membeberkan melalui media massa: ada menteri meminta kepada Rosa fee sebesar 8 persen. Banyak pihak tersengat.

Di jajaran kementerian, klien Achmad Rifai itu mengurus proyek di lima kementerian. Sengatannya makin melebar ketika Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis transaksi mencurigakan; tiga hari usai bola panas dilempar Rifai ke publik, 17 Februari 2014.

Sekali lagi, menangani kasus hukum kejahatan kerah putih, sudah pasti dihadang jalan terjal. Macam-macam bentuknya, sampai pada pembunuhan karakter. Dalam kasus Rosa tadi, ia dituduh melanggar kode etik advokat. Bersumber data dari Wakil Menteri Hukum dan HAM, Rifai dituding pernah menemui Muhammad Nazarudin, bos Rosa di Permai Group, di Rutan Cipinang, 2 Februari 2012. Tentu rentan terjadi persekongkolan mengatur kesaksian untuk persidangan. Tapi Rifai tak diam. Ia meminta bukti kepada wakil menteri itu untuk dibeberkan. Tapi sampai hari ini tak ada.

Rosa pada akhirnya memecat Rifai. Ada intervensi kekuasaan di sini. Pengacara justice collaborator itu berpotensi mengungkap pelaku kejahatan kerah putih lainnya. "Walau dalam kasus Rosa ini saya tidak dibayar, harapan saya dia tidak berhenti menyuarakan keadilan. Jangan takut, karena kematian hanya Tuhan menentukan," tutur Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PB NU ini.

Ujian semacam ini kerap dia temui di lapangan. Contoh lain saat menjadi pengacara Yusuf Supendi. Ia mendorong pendiri PKS itu tidak melakukan dendam politik. Tapi murni untuk membongkar kasus korupsi daging sapi presiden partai tersebut. Tak urung Rifai dituding tidak suka dengan PKS.

"Tidak ada urusan dengan partai. Urusan saya: memberi kepuasan pada keadilan," tutur pengacara artis Shinta Bachir ini dalam kasus ancaman pembunuhan yang diduga dilakukan oleh seorang Jenderal Polri, dipicu oleh hubungan asmara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun