Mohon tunggu...
Alfi Rahmadi
Alfi Rahmadi Mohon Tunggu... -

Peneliti, Jurnalis, Praktisi Publik Relasi, Forensik Komunikasi. \r\n\r\nWartawan Majalah Forum Keadilan (2004-2009), dengan karir terakhir sebagai redaktur. Majalah Gontor (2002-2004). \r\n\r\nSebagai jembatan komunikasi, dapat dihubungi melalui saluran +82112964801 (mobile); +81806243609 (WhatsApp); Email: alfirahmadi09@gmail.com | alfirahmadi17@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mencari Baharuddin Lopa Jilid Dua

12 November 2014   03:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:02 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harapan besar masyarakat terhadap calon Jaksa Agung 2014-2019 dikunci oleh sosok yang menyerupai sang lagendaris penegak hukum: Baharuddin Lopa.

Jujur, bersih, sederhana, tegas, adil, bernyali tinggi. Itulah reputasi sang pendekar hukum: Baharuddin Lopa. Walau jabatan tinggi yang dia sandang sangat singkat, pria kelahiran Polewali Mandar, 27 Agustus 1935 itu dikenal sebagai sang penerobos kebuntuan.

Tahun 2001, menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM selama lima bulan; dan Jaksa Agung yang tak genap dua bulan. Tapi seperti pagi, belum genap tiga tahun saat fajar reformasi baru terbit, Lopa hadir mengembalikan harapan rakyat yang telah lama hilang.

Ia seret Soeharto beserta kroninya ke pengadilan adalah sederet bukti nyata bahwa di mata Lopa tidak ada penguasa di muka bumi ini kebal hukum. Bisa disebutkan Bob Hasan, sang pengusaha kakap kroninya Soeharto. Ini sejarah besar dalam penegakan hukum di Tanah Air; pertama kalinya Kejaksaan pada masa kepemimpinan Lopa, berhasil menyeret kroni penguasa ke pengadilan sampai jatuhnya vonis bersalah.

Biasanya Kejaksaan selalu kalah ketika berhadapan dengan orang kuat sekelas konglomerat itu.  Dan, tak main-main: Lopa mengirim Bob ke penjara yang paling ditakutkan oleh terpidana di Indonesia. Nusakambangan namanya. Tentu ini sinyal bagi aparat penegak hukum sekarang dalam memberi efek jera: membuang terpidana kasus kejahatan kerah putih ke penjara yang terletak di pulau terluar di Jawa Tengah itu.

[caption id="attachment_353551" align="aligncenter" width="620" caption="Baharuddin Lopa"]

14157091191612128277
14157091191612128277
[/caption]

Kesederhanaan telah menjadi salah satu tiang yang menyangga nyali seorang Lopa. Dengan hidup sederhana, ia bebas dari semua tekanan dan kepentingan. Fasilitas negara, ia gunakan untuk kepentingan kerja negara. Untuk kepentingan kehidupan pribadi dan keluarga, Lopa dan keluarga membuka usaha wartel.

Banyak sekali kisah nyata Lopa  mendekati tokoh dunia yang mayshur dengan ketegasan, keadilan, kesederhanaan sekelas Umar bin Abdul Aziz. Saat Baharuddin Lopa menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan misalnya.

Selepas kunjungan kerja, Lopa heran kenapa mobil dinas yang ia tumpangi meteran bensin-nya menunjukan pas di grafik ‘F’ pertanda full. Padahal seingatnya, meteran itu nyaris mendekati grafik ‘E’; pertanda nyaris habis. Sang ajudan yang mendampingi Lopa dalam mobil dinas itu mengatakan, bensin bertambah adalah pemberian dari pejabat setempat.

Mendengar hal itu, Lopa seketika memerintah ajudan-nya kembali menemui pejabat setempat tersebut. Apa yang terjadi? Lopa meminta pegawai pejabat setempat itu menyedot kembali bensin yang sudah diberikannya. “ “Saya punya uang jalan untuk beli bensin, dan itu harus saya pakai,” tegas Lopa.

Lopa menjadikan hukum sebagai panglima; bukan sebanyak dikatakan, tapi semaksimal ditegakan, sampai titik darah penghabisan. Hingga 3 Juli 2001, takdir ternyata tidak menginginkan Indonesia berlama-lama memiliki pendekar hukum sekelas Lopa. Sang Khaliq memanggilnya. Inilah peristiwa kematian di RS Al-Hammadi, Arab Saudi, yang masih menyimpan misteri sampai sekarang. Kematiannya diratapi banyak orang. Bendera diturunkan setengah tiang.

Harapan publik terhadap calon Jaksa Agung di rezim Joko Widodo (Jokowi), paling tidak mendekati sosok BaharuddinLopa: bak cerita mencari sebutir berlian kecil dalam tumpukan jerami.

Itulah tamsil yang disemat oleh Safari Ans, wartawan senior dan Chairman International Fund for Indonesia Development (IFID) Ltd di Hongkong; membaca realita saking bobroknya penegakan hukum negeri ini.

Lantas, apakah nama-nama calon Jaksa Agung yang sekarang beredar, mewarisi semangat Lopa, sang lagendaris itu? Mari telusur rekam jejaknya:

Muhammad Yusuf


Lahir di Empat Lawang, Sumatera Selatan, 18 Mei 1962, karirnya sebagai Jaksa diawali menjadi staf di Kejaksaan Negeri (Kejari) Ujungpandang 1988. Sarjana Hukum Universitas Indonesia (UI) ini beberapa kali menjabat Kepala Kejari di sejumlah daerah.

Doktor Hukum Universitas Padjajaran ini pernah menjabat sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta. Ia juga Direktur Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan Analilis Transaksi Keuangan (PPATK) 2008-2011 sebelum duduk sebagai kepala lembaga ini sampai sekarang.

Ia tergolong Jaksa bersih, juga bernyali. Itu dibuktikan dengan penghargaan yang dia raih: Jaksa Penuntut Umum (JPU) Terbaik 2003. Meski demikian, ada satu batu sadungan terhadap dirinya. Hal ini pernah diulas FORUM 2007.

Saat menjadi Kepala Kejari Jakarta Selatan, M.Yusuf diduga terlibat dalam proses penghentian perkara (SP3) korupsi penjualan Pabrik Gula Gorontalo III. Tersangka kasus ini: Syafrudi Arsyad Tumenggung, mantan Ketua BPPN; dan Njono Soetjipto, pengusaha asal Jawa Timur. Pengacara keduanya adalah Amir Syamsudin. Kelak menjadi Menkumham dalam Kabinet SBY-Boediono.

Kejati DKI Jakarta yang saat itu dijabat oleh Rusdi Tahir, siap melimpahkan perkara ini ke PN Jaksel. Tapi sebagai bawahan, M.Yusuf menahannya. Alasannya: masih ada pemeriksaan terhadap para saksi tambahan, yang juntrungnya meringankan dua koruptor itu.

Muhammad Prasetyo


Pria kelahiran Tuban, 9 Mei 2947 ini adalah Jampidum 2005-2006. Sejumlah perkara berat yang ia tangani, antara lain: hukuman mati bagi Amrozi cs dan Tibo cs. Lepas dari jaksa, ia terjun ke dunia advokat.

Ia kemudian mencebur ke kolam politik praktis dari Partai DasDem, dan menjadi Ketua Plt DPW NasDem Sulawesi Tengah. Melalui NasDem di dapil Jawa Tengah II, ia berhasil menjadi anggota DPR 2014-2019, dengan perolehan 51.999 suara.

Masuknya Prasetyo dalam bursa calon Jaksa Agung dikritik oleh sejumlah pihak justeru karena profesinya sebagai politisi sekarang ini. Bagi Indonesia Corruption Watch (ICW), calon Jaksa Agung bukan saja mesti memiliki kapasitas. Tapi juga mesti terbebas dari konflik kepentingan.

Mas Achmad Santosa


Biasa dipanggil Ota, pria kelahiran Jakarta, 10 Maret 1956 ini dikenal sebagai ahli hukum lingkungan, good governance, resolusi konflik. Keahlian itulah yang menghantarkan Sekretaris Dewan Pembina YLBHI itu banyak terlibat dalam berbagai kelembagaan penting.

Sarjana Hukum UI dan Master Hukum dari Osgoode Hall Law School di York University ini anggota Tim Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2007; anggota Tim Pembaruan Kejagung dan Mahkamah Agung; Koordinator Tenaga Ahli Kejagung di masa Abdurahman Saleh jadi Jaksa Agung.

Tahun 2009, ia ditetapkan menjadi Pelaksana Tugas Pimpinan KPK bersama Tumpak Hatorangan Panggabean dan Waluyo. Presiden SBY juga menunjuknya sebagai anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Lalu, menjabat sebagai Deputi VI Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bidang Pemantauan Program dan Institusi Penegakan Hukum.

Buruknya penegakan hukum pada periode kedua SBY menjadi kritik para penggiat anti-korupsi terhadap peran UKP4 yang lemah. Satu lagi yang kurang sedap: Lelyana, istri Mas Achmad Santosa pernah diadili oleh Dewan Kehormatan Peradi. Istrinya yang bekerja sebagai pengacara di kantor pengacara Todung Mulya Lubis, saat itu diduga melanggar kode etik advokat karena konflik kepentingan dalam membela perkara keluarga Salim pada kasus BLBI.

Widyo Pramono


Lahir di Nganjuk 7 Agustus 1957, ia seorang Jampidus sejak 21 Nov 2013. Karir awalnya sebagai jaksa terukir di Kejari Jakarta Selatan 1988. Dia dua kali memimpin Kejati: di Papua 2008 dan Jawa Tengah 2010.

Di tangannya, beberapa kali kasus besar ia tangani. Yang mutakhir: kasus korupsi pengadaan bus Transjakarta 2012. Kasus ini menjerat Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Udar Pristono; dan Drajat Adhyaksa, Sekretaris Dishub provinsi yang dulunya dipimpin oleh Presiden RI: Jokowi.

Di sini pula yang agak mengganjal. Ketika namanya menguat sebagai calon Jaksa Agung yang didukung oleh internal institusi ini, sejumlah pihak menilai menjadi barter kasus bus karatan itu yang diduga melibatkan sang presiden. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, di antara pihak yang menilai semacam itu.

Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu juga menilai yang bersangkutan kurang layak. Menurut Tri Sasono, Ketua bidang Hubungan Antar Lembaga FSP ini, sepanjang menjadi Jampidsus, ada tiga kasus korupsi besar di BUMN yang di-SP3-kan dan penyidikannya tidak optimal. Yaitu korupsi PLN, Indosat M3 dan PT KAI.

Yunus Husein


Lahir di Mataram, 29 Desember 1956, Master Hukum International Legal Studies dari Washington College of Law, The American University, Washington D.C ini memulai karirnya sebagai staf pemeriksa keuangan di Bank Indonesia (BI) pada 1982-1985.

Memimpin Direktorat Hukum BI 2002, di tahun yang sama ia diangkat sebagai Kepala PPATK pertama kali dan menjabat dua periode sejak lembaga ini terbentuk. Ia amat berperan dalam menciptakan arsitektur lembaga penyuplai bukti kejahatan keuangan/perbankan tersebut.

Tahun 2011, Doktor Hukum UI ini masuk dalam bursa delapan besar calon pimpinan KPK. Fraksi Partai Demokrat di Komisi Hukum DPR RI full mendukungnya. Tapi dalam seleksi akhir melalui voting,ia kalah.

Sejumlah anggota Komisi III DPR periode itu meragukan independensi Yunus. Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar kala itu mengurai, independensi Yunus terganggu karena dua faktor. Yunus terang-benderang didukung oleh SBY. Dalam uji kelayakan, ia juga tidak tegas menjawab keberaniannya dalam memeriksa kerabat Presiden, terutama kasus Century.


Achmad Rifai

Sebagai calon Jaksa Agung, nama pria kelahiran Jombang, 14 Januari 1970 ini jarang beredar. Namun beberapa mantan pimpinan KPK serta sejumlah pimpinan Kejari dan Kejati di daerah: menyatakan dukungannya kepada Rifai, meski tidak mengumbarkannya ke publik melalui pers.

Nama Achmad Rifai meroket sejak menjadi pengacara dua pimpinan KPK: Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Setidaknya, ada tiga kali inisiatif berupa terobosan hukum fenomenal yang ia tempuh dalam kisruh Cicak versus Buaya itu.

Pemilik lawfirm Achmad Rifai & Partners ini spesialis menangani mega kasus kejahatan keranh putih. Ia pengacara Zainal Arifin Hoesein, Panitera MK, tersangka kasus pemalsuan surat MK. Juga pengacara saksi kunci kasus korupsi wisma atlet Sea Games: Mindo Rosalina Manulang (Rosa).

Dari Achmad Rifai-lah praktik suap proyek itu melebar hingga ke jajaran menteri di antara lima proyek kementerian yang diurus Rosa. Pengurus PB.HMI 1997-1999 ini juga menangani kasus Yusuf Supendi, pendiri PKS, dalam membongkar kasus korupsi daging sapi yang melibatkan presiden partai itu.

Rifai adalah Sarjana Hukum Universitas Darul ‘Ulum (Undar), Jombang. Ia juga Master di tiga spesialis di tiga kampus ternama. Master Hukum UGM, Yogyakarta; Master Kriminologi UI, Jakarta; dan Master Business of Law Melbourne University, Australia.

Menangani kasus kejahatan kerah putih, Tim Pengacara Jokowi-JK sekaligus Ketua Tim Advokasi Relawan Nasional Jokowi-JK 2014 ini pernah dituduh melanggar kode etik. Bersumber data dari Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM, ia dituding pernah menemui Muhammad Nazarudin, bos Rosa di Permai Group, di Rutan Cipinang, 2 Februari 2012.

Konsultan hukum sejumlah kementerian ini menantang wakil menteri itu untuk membeberkan bukti yang dimaksud. Tapi sampai hari ini wakil menteri itu tak pernah memenuhinya. Tak urung Rosa akhirnya memecat Rifai. Ada intervensi kekuasaan di situ. Pengacara justice collaborator ini berpotensi mengungkap pelaku kejahatan kerah putih lainnya; walau dalam kasus Rosa ini Achmad Rifai tidak dibayar. *** FORUM Keadilan No.27 | 10-16 Nov 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun