Sebaliknya ketika saya bertanya pada mereka yang tidak mempunyai gelar akademik, atau sampai bangku sekolah mengatakan pendidikan itu tidak penting.
Bahkan ada yang sampai Sarjana pun, ada yang mengatakan tidak penting, hingga ada penyesalan di dalamnya karena sudah menempuh pendidikan tersebut. Beberapa menjawab yang penting itu kenal dengan orang dalam di perusahaan.
Nah, hal ini lah yang menjadi "PR" Negeriku Indonesia. Banyak mahasiswa/i yang berpotensi di luar sana gagal dalam audisi melamar pekerjaan disebabkan kalah dengan yang punya orang dalam, untuk membantunya masuk di perusahaan.
Orang dalam tersebut terkadang ada hubungan kekerabatan, hingga ada permainan dengan cara menyogok agar lolos seleksi. Dan wajah ini lah yang menjadikan ilmu Manajemen menjadi salah kaprah. Ketika perasaan (kekerabatan) dibawa-bawa dalam pekerjaan, hingga uang (sogokan) lolos seleksi masuk perusahaan yang berbicara.
Terkadang kami yang mempunyai beberapa gelar pendidikan di belakang atau di depan nama kami, hal tersebut bagi kami adalah kebanggaan untuk perjuangan dan pembuktian pada diri sendiri.Â
Kami pun tidak selalu ingin dihormati, hanya untuk menjaga perasaan mayoritas di antara kami yang sudah berjuang sedemikian rupa, setidaknya dalam pengolahan kata yang kesannya meremehkan gelar akademik seseorang, perlu dikoreksi.
Kebenaran yang bisa saya ungkapkan akan realita yang ada dalam dunia pekerjaan di beberapa artikel kompasianer lainnya untuk tema usia 25, yaitu dengan edukasi lebih memperbanyak organisasi.
Hanya saya fokus pada suatu judul yang mengatakan gelar akademik tidak penting. Jika memang demikian, saya khawatir anak-anak bangsa akan termotivasi dengan judul artikel tersebut, yaitu menjadi ogah belajar lagi di perguruan tinggi.
Jika memang pendidikan di perguruan tinggi dianggap tidak penting lagi, untuk apa masih dipertahankan ribuan campus di Indonesia untuk kuliah di S1, S2, S3 dan seterusnya? Hapus saja, sekalian agar pendidikan merata sampai bangku sekolah saja.
Tapi apakah harus seperti itu? Jawabannya itu tidak mungkin. Negara masih membutuhkan kontribusi pendidikan di perguruan tinggi untuk menunjang perekonomian suatu bangsa.
Contohnya Australia, Jepang dan Amerika Serikat, memiliki tingkat buta aksara yang rendah. Negara-negara tersebut sangat makmur dan warga negaranya mempunyai pendapatan per kapita yang sangat tinggi.