Jum'at, 28 September 2018 adalah tanggal, bulan, dan tahun yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat sulawesi tengah, lebih spesifiknya ke masyarakat Palu.
Saat hari itu telah terjadi suatu peristiwa yang sama sekali tidak pernah terbayangkan akan terjadi pada penduduk sekitar wilayah yang terkena bencana Tsunami dan Likuifaksi tersebut.
Hari itu masyarakat atau sebagian penduduk Kota Palu sedang atau akan merayakan perayaan HUT Kota Palu di pantai. Siapa sangka ketika mentari sudah mulai melambaikan tanganya dan mengucapkan selamat tinggal yang ditandai dengan pergantian sore ke petang hari, menunjukkan selesaynya sebagian dari sebuah kehidupan bagi masyarakat Kota Palu sekitarnya.
Gempa bumi sudah sering masyarakat rasakan di sekitar lokasi kejadian. Namun sore atau petang itu lah yang paling dahsyat dirasakan masyarakat Palu sekitarnya. Gempa bumi tercatat pada hari, jam dan menit itu berkekuatan 7,4 skala Richter mengguncang Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, sekitar pukul 17.02 WIB atau 18.02 WITA.
BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) pun mengumumkan peringatan tsunami, 5 menit usai gempa tersebut terjadi. Pihak BMKG memberikan peringatan, bahwa ombak atau gelombang laut akan menerjang dataran hingga tiga meter. Masyarakat sekitar yang berada di bibir pantai pun hanya mempunyai waktu sekitar 10 menit untuk melarikan diri ke tempat atau dataran yang lebih tinggi.
Namun tidak lama kemudian, gelombang laut pun datang menerjang area bibir pantai dengan tinggi sekitar enam meter. Hal ini dikarenakan bentuk teluk Palu yang panjang dan menyempit, mengakibatkan tinggi dan kecepatan gelombang laut tersebut bertambah saat menuju Kota Palu. Gelombang itu melahap seluruh desa, nelayan, dan sebagian besar insfrastruktur Kota Palu.
Sisi lain, ada suatu area dimana tanah yang selama ini kita berpijak tiba-tiba berubah menjadi tanah hisap dan siap melahap siapapun yang ada di atasnya. Daerah itu seperti di Perumnas Petobo, Kota Palu, serta wilayah Mpano, Sidera, Jono Oge, dan Lolu, di Kabupaten Sigi, terjadi Likuifaksi.
Hal ini adalah suatu peristiwa dimana tanah padat tempat kita berpijak berubah menjadi tanah cair. Itu semua proses atau perubahan dari alam yang dipengaruhi gempa bumi, kemudian menyebabkan air dangkal dalam tanah bisa naik ke permukaan hingga menyebabkan tanah tersebut menjadi lembek atau cair. Kebetulan di daerah yang sudah disebutkan di atas, memang jenis tanahnya lebih banyak pasirnya.
Sehingga ketika ada gempa bumi berkekuatan besar, tanah berpasir tersebut sangat mudah menyatu dengan air, hingga hilang kekuatannya dan terjadilah likuifaksi tersebut.
Likuifaksi ini menyebabkan tanah atau bangunan yang satu bisa berpindah pada tempat yang lain hingga beberapa kilo meter. Pilihannya hanya dua, antara bangunan tersebut bertahan dan dibawa ke area lainnya menyesuaikan atau mengikuti arus air dalam tanah beberapa kilo meter dari asal semula, atau bangunan tersebut bisa tergulung dan tenggelam bersama gelombang lumpur tersebut.
Tanah ambles dan likuifaksi terjadi karena tepat berada di jalur sesar Palu-Koro. Akibatnya ketika sesar bereaksi, daerah itu mengalami dampak yang signifikan.
Likuifaksi sendiri sebenarnya sudah sering terjadi di Indonesia, hanya dengan skala besar baru kali ini tercatat. Dulu likuifaksi pernah terjadi ketika gempa Yogjakarta (2006), Padang (2009), dan Lombok (2018), tapi tidak seluas yang terjadi di Palu (2018).
2 Tahun Pasca Bencana Tsunami & Likuifaksi Palu
Keluarga dan masyarakat sekitar lokasi kejadian masih merasa trauma dengan kejadian tersebut. Selain harta benda hilang yang bisa dicari, mereka kehilangan banyak orang terkasih yang tak kan bisa terganti.
Banyak kuburan atau pemakaman masal dilakukan untuk mengenang para korban yang sebenarnya tidak tahu pasti dimana keberadaanya. Sebagian ditemukan dengan kondisi tubuh memprihatinkan, sebagian lainnya terpaksa hanya membuat suatu tempat peristirahatan terakhir dengan nama-nama para korban yang hilang dan mungkin tertelan bumi karena efek likuifaksi tersebut.
Pemerintah pun mendirikan monumen nasional di tempat itu untuk mengenang para korban gempa dan likuifaksi. Larangan mendirikan bangunan di area likuifaksi itu pun juga terpajang pada perbatasan bencana tersebut.
Area ini tidak diperbolehkan lagi untuk ditempati penduduk karena kondisinya yang rawan. Mengingat area merah likuifaksi ini masih akan terus terjadi ketika ada gempa besar pada titik yang sama di masa depan.
Pemerintah pun akan membuat area likuifaksi ini sekedar tanah penghijauan atau ditanami tanaman saja. Hal ini dengan tujuan agar tidak membahayakan banyak nyawa melayang lagi, karena titik lokasi padat penduduk.
Peringatan HUT Kota Palu tahun 2020 ini pun juga sudah tidak dirayakan besar-besaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Seperti diketahui HUT Kota Palu jatuh 27 September setiap tahunnya.
Untuk tahun ini pemerintah Kota Palu hanya mengadakan peringatan kecil-kecilan dan lebih fokus pada penanganan atau pencegahan penularan virus Covid-19.
___
Bagaimanapun bencana alam ini tidak bisa kita hindari, karena semua itu juga berkaitan dengan takdir kehidupan seseorang. Semua yang terjadi di dunia ini pasti sudah atas seizin-Nya. Selain mengikhlaskan, apa lagi yang bisa kita harapkan.
Jadi, mari kita sejenak mendoakan agar para korban yang hilang atau dinyatakan meninggal dunia dalam bencana alam ini bisa tenang di sisi-Nya. Amal ibadah mereka selama di dunia ini juga diterima Allah SWT. Amiin.. 🙏🏻
#PrayForPalu #Sept2018 #Indonesia
Salam, @Alfira_2808
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H