Sepakbola adalah milik semua. Ini adalah kampanye yang mulai digalakkan, lebih intens sejak terakhir kali ada ejekan dari penyiar terkemuka (eks)Sky Sports, Andy Gray dan Richard Keys, yang menyentil hakim garis wanita yang bertugas di Premier League. Ngomong-ngomong soal bola, memang harus diakui inilah gelaran olah raga paling digandrungi di jagad ini. Pria dan wanita sama-sama menyukainya, meski dengan motif dan alasan tertentu. Kali ini saya tertarik untuk sedikit lebih dalam membahas salah satu pilar Tim Nasional Indonesia. Namun, bukan Bambang Pamungkas, bukan Christian Gonzales, bukan Irfan Bachdim, bukan Okto Maniani. Alfred Riedl? Bukan, tetapi asistennya yakni Wolfgang Pikal. Mari berkenalan lebih dalam dengan asisten pelatih asal eropa ini. [caption id="attachment_91158" align="alignnone" width="640" caption="Wolfgang Pikal"][/caption] Wolfgang Pikal adalah pria kelahiran Vienna, Austria pada 1967 (saya mencari referensi tanggal lahirnya tetapi susah ditemukan). Awalnya beliau adalah pesepakbola, meniti karier di klub divisi tiga SR Donaefuld hingga usia 22 tahun. Dalam usia yang masih hijau itu Wolfgang muda mengalami patah engkel yang menyebabkannya gantung sepatu sebelum mengalami karier emas dalam sepakbola sebagai pemain. Toh, ini tidak membuat asanya meredup. Dengan berharap mendapatkan tantangan dan pengalaman akhirnya Pikal berkelana dan singgah di Pulau Dewata. Di sinilah masa depannya terukir, dan dirinya kadung cinta dengan Indonesia. Akhirnya Pikal menikahi wanita Indonesia dan memulai bisnis tekstil di negeri barunya ini. "Saya tak terlibat dengan sepakbola selama 10 tahun tapi pada 1999, saya melatih di Bali. Dick Buitelaar mantan pelatih NAC Breda di Eredivisie yang ketika itu melatih Perseden Denpasar mengatakan kalau saya punya bakat melatih dan ia mendorong saya untuk mendapatkan sertifikat pelatih," sambung Pikal (detik.com). Itulah yang memulai petualangan keduanya di dunia si lapangan hijau, bukan sebagai pemain tetapi sebagai pelatih. Meski semasa di Bali dirinya sendiri juga tetap memantau perkembangan sepakbola nasional dan internasional. Pikal kemudian berhasil menggenggam sejumlah lisensi kepelatihan termasuk dari Arsenal, Aston Villa, dan Ajax Amsterdam. Cerita tak sedap pernah terjadi di tahun 2009 kala dirinya ditolak Persiba Balikpapan karena alasan dia belum berpengalaman melatih klub Indonesia dan hanya melatih di akademi Real Madrid junior di Bali. Namun, itu adalah setitik noda yang mewarnai karier kepelatihannya. Kini dia menjabat sebagai tangan kanan pelatih kepala Timnas Indonesia, Alfred Riedl. Bukan kebetulan yang menyatukan dua orang Austria ini. Keduanya sudah sekitar 3 tahun kenal dan sama-sama mengagumi sepakbola. Ketika kesempatan untuk melatih Indonesia diterima Alfred Riedl, dia pun mengangkat Pikal sebagai asistennya. Keduanya pun saat ini masih bekerja untuk menangani timnas U-232 yang dipersiapkan untuk pra-olimpiade 2012 dan SEA Games 2011, serta sebagai tulang punggung tim senior untuk beberapa tahun ke depan. [caption id="attachment_91159" align="alignnone" width="642" caption="Alfred Riedl dan Wolfgang Pikal"]
[/caption] Hal yang saya ingin sampaikan adalah,
Pikal memiliki potensi untuk menjadi pelatih Timnas Indonesia di masa yang akan datang. Tentu ini berdasarkan potensi yang beliau miliki disertai dengan usaha yang keras darinya untuk mencapai itu. Saat ini di usia yang masih cukup muda, 43 tahun, dirinya sudah mengemban amanah yang besar. Di sisi lain dirinya dekat dengan Alfred Riedl yang pengalaman kepelatihannya tinggi di level tim nasional. Kelebihan yang lain adalah Pikal telah lama di Indonesia, tidak ada masalah dari sisi komunikasi maupun kultur. Ini adalah poin penting agar pelatih bisa sukses dan itu telah cukup dia miliki. Jika ini ingin dicanangkan
PSSI atau Badan Tim Nasinal (
BTN), tentu masih ada banyak hal yang mesti dipersiapkan. Ingat, memilih pelatih juga sesulit memilih pemain, tak bisa instan. Kalau ingin serius, kirimlah Pikal ke luar negeri untuk belajar gaya permainan tim-tim eropa. Bergurulah ke Spanyol untuk melihat
tiki-taka dan mempelajarinya langsung, bergabung ke staf kepelatihan
La Masia-nya Barcelona kalau bisa. Lalu kirim juga ke Brasil atau Argentina kalau perlu, pelajari bagaimana tim usia muda mereka begitu produktif dalam menghasilkan bibit-bibit muda. Tentu bukan Pikal seorang,
Widodo C Putro juga bisa untuk hal ini. Keduanya bisa menjadi duet pelatih yang hebat bila
digodok dengan tepat. Lalu tambah pula sertifikasi kepelatihan mereka agar ketika nantinya menguji kapasitasnya bisa diperhitungkan. [caption id="attachment_91164" align="alignnone" width="587" caption="Bustomi vs Busquet, why not?"]
[/caption] Taruhlah hal di atas dilakukan selama 4-6 tahun. Setelah itu tarik mereka ke Indonesia, di saat pemain macam Yongki Aribowo, Okto Maniani, Kurnia Meiga, dan AhmadBustomi mencapai usia emas di saat itu pula kita telah memiliki pelatih yang juga sedang dalam usia emas. Pembinaan usia dini yang mereka dapatkan selama berguru di Eropa dan Amerika Latin, lalu sistem liga yang terintegrasi dengan Tim Nasional, juga faktor teknis maupun non-teknis yang penting dalam pelaksanaan Timnas akan mereka aplikasikan di sini. Maka akan terbentuklah Tim Nasional yang terencana dengan baik dan tentu kita tidak berharap adanya Pelatnas jangka panjang yang merugikan klub, karena kematangan organisasi permainan telah mereka dapatkan sejak dini di level timnas junior. Sebenarnya ini terinspirasi dari Sepakbola Jerman. Tahukah Anda bahwa sejak kemunduran prestasi Jerman di Piala Dunia 1998 dan Euro 2000 mereka telah memulai revolusi Tim Nasionalnya. Bukan
plan instan yang mereka rencanakan, tetapi jangka panjang dan berkelanjutan. Meski di PD 2002 mereka jadi runner-up tetapi belum cukup memuaskan mereka. Sistem mereka baik, pola dasar tim nasional ditanamkan ke setiap klub di liga Jerman. Sistem pakem 4-3-3 yang bisa dinamis menjadi 4-2-3-1 atau 4-3-1-2 atau 4-5-1 diwajibkan untuk dipakai setiap klub liga Jerman, terutama semenjak Juergen Klinsmann membesut Timnas bersama Joachim Leow. Tujuannya adalah ketika pemain dari berbagai klub dipanggil ke Timnas mereka sudah punya pakem dasar untuk bermain, jadi ini bisa meminimalisasi adanya Pelatnas jangka panjang. Pola ini menjadi bagus dan lebih baik karena tim ini banyak dihuni pemain-pemain muda. Filosofi Klinsmann yang juga melatih pemain dengan
olahraga lain seperti ping-pong dan basket agar pemain lebih memahami kerja sama dan makna permainan juga turut andil, meski ada yang berpendapat bahwa lebih banyak peran Leow (yang notabene asistennya). Pada akhirnya jabatan Leow naik menjadi pelatih utama setelah Klinsmann mengundurkan diri pasca berakhirnya Piala Dunia 2006. Sejak itulah hingga kini Timnas Jerman dengan tangan dingin Leow terus konsisten berprestasi. [caption id="attachment_91163" align="alignnone" width="610" caption="Okto vs De Gea, why not?"]
[/caption] Jerman memang cuma jadi runner up Euro 2008 dan jadi peringkat 3 di Piala Dunia 2010, tetapi mereka konsisten, dan kebangkitan sepakbola mereka dirintis tidak mudah. Prinsip jangka panjang, teratur, berkelanjutan, dan terus berinovasi inilah yang sudah mulai ditiru Malaysia. Mereka akhirnya menjadi kampiun AFF dengan kolektivitas mereka. Terlepas dari bagaimana ini selanjutnya akan dilaksanakan oleh BTN maupun PSSI, saya berharap ada perbaikan menyeluruh di sistem Liga dan Tim Nasional sebagai muara akhirnya. Karena dengan cara apa pun,
naturalisasi, mendatangkan pelatih berkualitas, stadion bagus, dana melimpah, bibit-bit muda potensial, dukungan masyarakat yang sangat besar,
tidak akan berhasil jika sistem yang menjadi nyawa sebuah produk tidak dipersiapkan dengan baik. Dan hal di atas tidak akan pernah tahu berhasil-tidaknya bila kita cuma berdiam diri saja.
Wolfgang Pikal, Widodo C Putro, Kurnia Meiga, Syamsir Alam, Zaenal Haq, Joey Suk, Ruben Wuarbanaran, Diego Michiels, Okto Maniani, dan yang lainnya, adalah tulang punggung Indonesia di masa depan,
dalam impian saya. Mungkin terlalu
kesusu kalau mengharapkan mereka mengharumkan nama Indonesia di 2014 di Brasil. Namun, di Rusia 2018 nanti rasanya kita bisa menatapnya dengan optimis. Kejarlah prestasi yang telah lama bangsa ini inginkan, bukan cuma di level Asia Tenggara, Asia, tetapi juga Dunia. Masih ada 7 tahun menuju ke sana,
optimislah Garuda! Salam Mahasiswa ! sumber :
http://olahraga.kompasiana.com/bola/2010/12/24/wolfgang-pikal-bali-dan-romantismenya/ http://www.tempointeraktif.com/hg/sepakbola/2010/12/24/brk,20101224-301409,id.html http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2010/12/26/123132/1532737/76/wolfgang-pikal-austria-yang-cinta-indonesia http://goal.com Artikel sepakbola sebelumnya :
Kenangan Manis, Menangis di Penghujung Tahun Dung-dung Crek Buat Laskar Garuda Kalau Malaysia Menang, Gimana? Garuda di Dada Kita Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Olahraga Selengkapnya