Mohon tunggu...
Alfi Pangest
Alfi Pangest Mohon Tunggu... Pendidik -

Pembelajar, pekerja sosial, penikmat buku, penggiat pendidikan, pecinta seni dan budaya, desain, serta sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

FFI (Film, Fajak, dan Indonesia)

19 Februari 2011   12:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillah. Akhirnya bisa menulis kembali, kali ini saya terdesak untuk mengomentari kebijakan pemerintah terkait bea masuk atas film-film Hollywood dan dampaknya. Sejak kapan sih pemerintah ga bikin kontroversi? Hhe..

Sebelum membaca ada baiknya baca dahulu Realita Anak Bangsa dan link ini.

[caption id="attachment_90802" align="alignnone" width="559" caption="21 Cinema"][/caption] Saya pernah menulis sebuah coretan yang menyinggung perfilman di Indonesia (link di atas), termasuk komparasinya dengan tontonan dari barat yang secara keseluruhan lebih unggul (jauh) daripada kualitas film buatan anak negeri. Sedikit review saja, memang sejatinya salah kalau saya menjudge semua film di Indonesia jelek, gak mutu, katrok, bahkan ga layak produksi. Saya pribadi bukan seorang movie-addicted, tetapi paling tidak tahu lah film apa saja yang sedang diputar, dan kalau kantong sedang bisa diajak kompromi minimal 1 bulan sekali saya ke bioskop (hemat :p). Film-film semacam Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, Petualangan Sherina, dan Merah Putih, mungkin adalah segelintir judul film yang dalam penilaian subjektif saya masuk kategori layak tonton. Selebihnya, film-film kita banyak didominasi film dengan genre horor, aksi brutal (bunuh-bunuhan, balas dendam), adegan dewasa, percintaan yang banyak perkhianatan, dan humor yang tidak mendidik. Hampir setiap membuka laman 21cineplex.com saya menemukan film-film berkategori di atas dalam jejeran film yang sedang dan akan dimainkan. Peminatnya banyak, mungkin. Kalau tidak mana mungkin film-film yang seperti itu laris manis diproduksi bak kaus timnas Indonesia yang logo di dada kirinya sempat dimeja-hijaukan itu. Film horor Hollywood memang ada dan juga tidak sedikit, tetapi kita bisa lihat perbedaan mencolok antara esensi yang diangkat dengan dampak yang diakibatkannya, film horor malah Thailand masih lebih berkualitas dibanding horornya kita (I think). Celah dan kesempatan yang ada memang memungkinkan para sineas beserta penyetor fulus buat menghasilkan tayangan perusak moral itu *oops. Aturan yang nanggung dan kurangnya kesadaran akan pengaruh film terhadap pola pikir masyarakat turut menyuburkan praktik yang sebetulnya dampaknya bisa dibilang setara dengan dampak film porno, setidaknya di fikiran saya seperti itu. Bagaimana tidak, penonton akan disuguhi cerita manusia yang tewas secara tak wajar, mati tak tenang, menghantui manusia lainnya, dan menakuti semua orang di dalam film maupun di luar film. Masih kurang, bumbu-bumbu adegan ranjang maupun yang sekedar pamer aurat dan kemolekan tubuh dieksploitasi, bumbunya lebih banyak daripada bahan dasarnya. Belum lagi adegan bunuh-membunuh, balas dendam, kata-kata kotor dan menjijikkan, lalu di akhir ada penyesalan, kurang lebih seperti itu kan alur cerita film-film yang banyak diproduksi di sini. Dalam artikel saya sebelumnya saya mengusulkan adanya aturan tentang produksi film berdasarkan genre dan tema. Memang ini membatasi kreativitas, tetapi lihatlah kalau kreativitas itu ternyata dimanfaatkan sebagian pihak untuk mengeruk keuntungan tanpa memberikan andil positif bagi penikmat layar bioskop. Taruhlah sekian persen film yang boleh edar adalah bergenre horor, tetapi harus lebih banyak lagi film bertemakan pendidikan, perjuangan, yang bisa memberi inspirasi dan motivasi bagi khalayak banyak. Bagaimana itu bisa digerakkan? Ya bikin aturan yang tegas dan memacu banyak sineas menelurkan karya-karya merka yang berkualitas. Siapa yang bisa melakukan? Anda juga tahu siapa :) [caption id="attachment_90803" align="alignnone" width="285" caption="Film-film Indonesia"]

1298116832407164998
1298116832407164998
[/caption] Kembali ke topik, jujur saya sendiri sok tahu akan kebijakan pemerintah soal pajak yang nambah dan tanggapan pihak Motion Picture Association (MPA). Kabar burung yang terkena flu burung yang saya dengar, katanya kebijakan kenaikan bea masuk ini adalah stimulus agar produksi film lokal bertambah. Mungkin memang ini baru sebuah gebrakan awal, siapa tahu nanti ada aturan-aturan seperti yang saya usulkan yang akan menyusul, tentu agar kualitas dan kuantitas film-film anak negeri bisa naik bahkan membumbung tinggi di angkasa. Namun, tentu itu masih jadi tanda tanya kita semua. Pihak MPA di Amrik sono yang punya wewenang terhadap distribusi film Hollywood di Indonesia tentu juga punya perhitungan sendiri, tak mungkin mereka serta merta menarik film-film yang harunya jadi sumber pendapatan mereka itu. Ingat, jumlah penikmat film barat di Indonesia cukup tinggi lho, angka pastinya saya tidak punya, tetapi bisa dilihat seberapa panjang antrian penonton saat film-film baru mulai diputar di bioskop-bioskop. Mereka pasti juga sudah memperhitungkan kerugian akan hilangnya sumber pendapatan di Indonesia, tetapi alasan tingginya bea masuk mungkin jadi pertimbangan akan keinginan pihak Hollywood untuk menstop penayangan di negeri ini. Pemerintah sendiri juga bertindak penuh perhitungan (seharusnya), paling tidak aturan yang selarasnya membuat kantong pemasukan negara makin menebal justru bisa jadi bumerang. Artinya pemeritah harus siap dengan hilangnya pendapatan pajak dari film impor yang masuk, jumlah penonton di bioskop yang makin sedikit, produksi film gado-gado yang merajalela, dan efek lain yakni akan makin meningkatnya pembajakan di negeri ini. Bukan tidak mungkin nantinya kita akan mendapati ramai laginya toko-toko penjual DVD dan CD yang menjual film keluaran terbaru. Sebuah keuntungan bagi sedikit pihak seperti mereka, atau bisa banyak pihak kalau ternyata masyarakat justru enjoy dengan membeli DVD 10 ribuan yang bisa disetel berkali-kali dibanding tiket 21 seharga 15-25 ribu yang cuma sekali lihat. Yang jelas apa pun akibatnya nanti, siap-siap sajalah dengan predikat negeri pembajak, *oops maaf. Saya sendiri berharap efek yang saya takutkan itu tidak menjadi kenyataan, semoga. Ada baiknya pemerintah mendengar pendapat rakyat dalam hal ini. Banyak masyarakat yang kecewa dengan aksi pemerintah dan reaksi dari Motion Picture, saya termasuk yang kecewa tentu. Silakan searching di mbah Google, temukan perbedaan antara yang kecewa dan yang senang dengan distopnya penayangan film Hollywood, hhe. Kalau alasannya untuk mendongkrak produksi film nasional, mungkin bisa lewat pembatasan film luar negeri yang masuk (bukan pemerasan), beri presentase yang rasional agar film dalam negeri tidak melulu digilas. Pemberian award untuk sineas dengan karya-karya film terbaik juga bisa digiatkan, meski sudah ada FFI dan Indonesia Movie Award, atau penghargaan-penghargaan independen lain. Sekali lagi masih ada banyak jalan menuju Roma, tidak harus mengorbankan suatu hal yang justru bisa jadi bumerang di kemudian hari. Atau malah ini sebenarnya hanya akal-akalan pemerintah saja buat menaikkan pendapatan negara lewat jalur yang sah tapi tidak cukup elite, pajak. Hha :D Saya sendiri menyimpan impian dan optimisme akan kemajuan film nasional, andai saja sineas muda macam Riri Reza, Rizal Mantovani, Ari Sihasale, dan Hanung Bramantyo mau lebih bereksperimen dengan tema-tema fiksi yang mendongkrak imajinasi, tentu akan menjadi pertanda positif kemajuan perfilman Indonesia. Buat pengambil kebijakan dan pembuat keputusan, ayo dong dengarkan suara hati dari masyarakat yang menuntut banyak tayangan yang berkualitas, bukan tayangan yang hanya menjual pocong dan gairah panas. [caption id="attachment_90804" align="alignnone" width="614" caption="Dark of the Moon"]
1298117362115921433
1298117362115921433
[/caption] Saya berandai-andai, apakah para sutradara dan produser film horor itu pernah membayangkan film tersebut ditonton oleh istrinya, anak remajanya yang beranjak dewasa, atau bahkan anaknya yang masih terbata-bata membaca. Bagaimana reaksi mereka, dampak yang ditimbulkan, dan keuntungan apa yang bisa mereka dapat selepas melihat tayangan produksi ayahnya itu? Apakah sekecil itu perhitungan mereka akan akibat buruk, atau memang ini semua lumrah karena sudah behadapan dengan keuntungan dalam wujud rupiah? Ckck. Sekedar imajinasi saya saja akan hal itu. Masih ada harapan mereka akan bertobat ke jalan yang benar :) . Mari ditutup dengan ber-Tifatul Sembiring-ria.
Gadis cina ramah menyapa, menebar senyum mengundang tanya, sudahkah ada yang punya, Film Indonesia seperti apa, generasi muda bagaimana jadinya, kita semua punya andilnya :)

Salam Mahasiswa!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun