Mohon tunggu...
Alfi Pangest
Alfi Pangest Mohon Tunggu... Pendidik -

Pembelajar, pekerja sosial, penikmat buku, penggiat pendidikan, pecinta seni dan budaya, desain, serta sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Teruntuk Si Penjual Mainan

7 Oktober 2010   07:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:38 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak itu merengek, menarik-narik rok sang bunda, terisak-isak sambil  merem-melek, dan akhirnya bunda luluh padanya, mainan kecil bernama tamiya, maju belok kiri kanan jalannya, digerakkan baterai dihentikan lawannya, dan duerr duerrr rusak pula, lain waktu si anak merengek lagi, tarik-tarik rok bunda lagi, selalu begitu lagi, dan bunda luluh lagi, bukan salah sang bunda, bukan salah sang anak, salah siapa? salahkan penjual mainannya, mereka hidup membawa sengsara, cuma kecil modalnya, kecil pula untungnya, membawa suka di mulanya, tapi duka orang tua di belakangnya, mainan yang tak berguna yang sering bawa petaka, kemarin dua anak tertembak pistol-pistolan, kena mata sampai operasi dalam, masa depan mereka terancam suram, dan lagi-lagi itu ulah si penjual mainan, berapa suka yang kau bawa, berapa duka yang mereka terima, uang mereka terbuang percuma, gara-gara mainan yang tak seberapa, pistol-pistolan mengajarkan anak-anak buat berperang, menerjang lawan dan membunuh dengan kejam, mobil-mobilan mengajarkan kecepatan, tak terhadang untuk mengejar kemenangan dan merangsang anak untuk mengebut sembarangan, hape-hapean memboroskan baterai, bunyi yang sama diulang-ulang, tak kreatif dan memprovokasi anak membeli yang beneran, robot-robotan menanamkan kekerasan, pukul ini tendang itu untuk menjatuhkan, seakan zat berperasaan ditaklukkan mainan tak berperasaan, itu bukan produk kita, timpal mereka, itu memang produk cina, dijual di negeri kita, dan segampang itukah mainan tradisional kita ditendang dari tanah airnya, sepele, kecil, dan nyaris tak dilirik, tapi ini bisa menjadi sumber problema yang pelik, sana sini peritiwa serupa bolak-balik, dan sepertinya kita hanya tergelitik, sedikit mengkritik, without a real trick, Indonesia oh Indonesia, kapankah kau akan berhenti dijajah, dijajah moral, dijajah finansial, dijajah pendidikan, dijajah kultural, dijajah dari dalam, dijajah dari luar, si mata kecil berkedip sinis, melirik serial Vicki & Jhony sambil meringis, takut tulisannya tidak kritis, sembari membayangkan kata-kata puitis, *menunggu waktu praktikum jaringan komputer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun