Mohon tunggu...
Alfi Pangest
Alfi Pangest Mohon Tunggu... Pendidik -

Pembelajar, pekerja sosial, penikmat buku, penggiat pendidikan, pecinta seni dan budaya, desain, serta sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cerita Sriyono : Sarjana Gorengan

4 Januari 2015   04:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:52 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga beras naik seribu per kilo. Harga telor naik seribu per seperempat kilo. Harga gas naik lima ribu per tiga kilo. Harga bumbu dan sayuran untungnya gak naik, hanya dapetnya sekarang lebih sedikit daripada sebelumnya. Alhamdulillah itu semua masih terbeli. Kebetulan dengan pendapatan yang seadanya sebagai pegawai honorer, kebutuhan saya masih bisa dicukupi dan sisa pemasukannya masih bisa ditabung.

[caption id="attachment_344691" align="alignnone" width="500" caption="Sumber : http://static.inilah.com/data/berita/foto/1992270.jpg"][/caption]

Tadi pagi saya diajak céting sama temen, dia cerita kalau seneng harga primium sekarang jadi 7600. Konon kabarnya harga primium turun, saya yang kuper atau gimana ya? Sebab setahu saya sebelumnya gak pernah dinaikkan bukannya? Kata temen kantor sih, dialihkan untuk supsidi gitu. Soalnya si Pele, motor Legenda-ris kesayangan saya pun, terakhir kali menikmati primium ketika harganya 6500 per liter. Dua bulan ini saya lebih sering jalan kaki atau pake sepeda biar ngirit. Sebagai orang yang katanya kaum bawah ngéhe, saya ga paham pas dijelasin temen saya yang sarjana tadi kalau supsidi dialihkan buat pendidikan dan pembangunan. Saya cuma bisa manthuk2 karena kagum dengan kepinteran konco2 saya, apalagi saya sering menyaksikannya berdebat, eh maksud saya berdiskusi dengan hebat itu, di media yang tepat yakni di Pésbuk. Maklum, orang bodho macam saya ini takut komentar aneh2, ntar ndhak malah kelihatan ilmu saya yang dangkal ini.

Cuma kadang saya dibikin heran sama konco2 saya yang pinter2 ini. Mereka ini berkecukupan, pendidikannya minimal sarjana, kehidupan mapan, tapi kok senengnya berantem. Berantemnya gak nanggung2, di Tuitèr, di Peth, di Sintagram atau apa itu, yang kadang saya sendiri gak sanggup ngikutin karena keterbatasan otak saya. Mereka sering beda pendapat soal kelompok yang katanya radikal, menyikapi bencana yang melanda negeri ini, tentang ucapan selamat di hari Natal, perayaan tahun baru, dan yang paling anyar kemarin 2 temen saya jadi musuhan gara2 awan kulominibus. Sampai kadang keluar komentar pedas dan kata2 kotor, yang menurut saya kurang mencerminkan pendidikan mereka. Apa mereka yang terlalu banyak punya waktu luang, atau saya yang abis waktunya buat nyari duit sampe gak sempet ikut diskusi, saya juga kurang paham. Yang pasti saya malah jadi paham, ternyata jadi orang pinter itu gak sama dengan jadi manusia beretika.

[caption id="attachment_344692" align="alignnone" width="680" caption="Sumber : https://assets.kompasiana.com/statics/files/1412228949887835946.jpg"]

14202965422033942528
14202965422033942528
[/caption]

Tadi sore saat silaturahim ke rumah temen, di samping rumahnya saya menjumpai penjual gorengan gopek-an yang pisang goreng dan mendoannya uenak tapi ukurannya tetep gèdhe2. Saya sempet bertanya, kenapa si ibu ini gak ikutan naikin harga gorengan jadi dua ribu tiga seperti kebanyakan penjual gorengan. Katanya, “kalau saya naikin harganya, nanti pelanggan saya yang kebanyakan karyawan dan mahasiswa jadi ga bisa sering2 makan gorengan. Padahal gorengan kan terkenal makanan favorit rakyat kecil.” Beliau sendiri ngaku kalau harga2 bahan naik, tapi gak enak kalau ngurangin kualitas gorengan, atau naikin harga jualnya. Lebih baik keuntungan lebih dikit tapi pelanggan tetap bisa beli.

“Rejeki sudah ada yang ngatur, mas. Untung banyak alhamdulillah, untung sedikit alhamdulillah. Kalau pelanggan saya puas, saya juga bisa puas.”


Sambil ngopi, malam ini saya mencoba mikirin baik2 pelajaran yang saya dapet dari pagi sampai sore tadi. Saya berterima kasih banyak kepada Bapak/Ibu pemangku kebijakan atas kado awal tahunnya. Alhamdulillah saya jadi belajar lebih hemat cermat dan bersahaja, menyikapi keadaan sekarang ini. Meskipun terakhir dapat kabar gaji saya yang masih di bawah UMR gak akan naik, saya ikut seneng kawan2 saya yang kerjanya di bagian transportasi tetap punya alasan mempertahankan tarip angkutan yang sempat naik. Demikian dengan temen2 yang sudah telanjur menaikkan harga dagangan, semoga jadi ladang rejeki buat konco2 saya tadi. Ohya, tidak lupa dengan si ibu penjual gorengan gopek tadi, saya mendoakan dagangannya semakin laris biar beliau gak perlu ngurangin kualitas gorengan atau ngemahalin harga. Rejeki, inshaAllah bakal ditambah dengan disyukuri.Di antara banyak orang yang berseberangan tentang suatu hal, ada juga yang tidak ambil pusing mau setuju atau tidak setuju yang penting ngejalanin kerjaan sebaik mungkin. Soalnya orang2 kaya saya ini males debat kalau ujung2nya cuma pengen ngebuktiin lawan salah dan kita paling bener. Saya belajar untuk bicara seperlunya dan lebih banyak kerja, dari temen2 saya yang sarjana. Saya belajar untuk banyak bersyukur dan sedikit mengeluh, dari ibu penjual gorengan tadi. Dan kehidupan yang senda gurau ini terlalu singkat untuk dijalani dengan buruk sangka, permusuhan, dan hal2 yang tak bermanfaat.

— Sriyono, pegawai honorer yang demen cerita lewat tulisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun