“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas.”
(Mohammad Hatta)
Pertanyaan pendengar tentang buku, adalah pembacanya. Dan pertanyaan pembaca tentang buku bacaannya tak lain ialah makna dibalik penulisnya. Sejatinya, buku adalah wacana, bukan sekedar bentuk fisik normal dari jamaknya lembaran teks. Sedangkan teks adalah wujud dari pemikiran manusia yang sengaja dilahirkan dan terbaca. (Alfin Rizal – Sajak Buku)
Ketika saya browsingdengan keyword ‘Minat Baca Masyarakat Indonesia’, google menampilkan sekitar 528.000 hasil artikel yang muncul dan hampir 80% tertulis bahwa minat baca masyarakat di Indonesia masih sangat rendah jika dibanding Negara lainnya bahkan hanya di ranah Asia. Pada mulanya, saya pribadi merasa kecewa ketika membaca artikel-artikel yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, melihat kenyataan seperti itu sebagai pembaca (buku, artikel internet dan membaca situasi) saya geleng-geleng kepala. Namun, kemudian saya malah tambah kecewa dengan beberapa asumsi penulis yang tiba-tiba memvonis bahwa minat baca masyarakat Indonesia memang sangat rendah. Asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab hanya didasari pada praduga yang salah dan tidak didukung dengan data faktual di lapangan.
Jika kita lihat fakta dari UNICEF yang menyebutkan bahwa sebuah negara dianggap memiliki tingkat membaca yang bagus apabila satu buah buku dibaca oleh 5 orang, kita akan tersenyum bangga karena ketika melihat penerbit, toko buku, perpustakaan dan pergerakan secara komunal di bidang literasi yang tersebar seantero nusantara ini rata-rata satu buah buku bisa dibaca hingga 7 orang!
Memang, ketika konteks minat baca selalu dipersempit hanya untuk ‘membaca buku’ tentu benar karena jumlah buku yang terbit di Indonesia memang belum sebanding dengan jumlah penduduk di Indonesia. Digitalisasi (meminjam celotehan teman) di era kemajuan teknologi membuat masyarakat bisa membaca apapun di internet. Baik itu artikel, berita, karya sastra atau yang berbentuk e-book. Menurut saya, tinggi rendahnya minat baca masyarakat tidak valid jika diukur hanya dari segi buku yang diterbitkan atau yang dijual kepada masyarakat. Karena buku-buku yang tidak laku dipasaran belum tentu atau bahkan bukan berarti masyarakat tidak gemar membaca. Sama halnya ketika indeks minat baca seseorang didasarkan pada karakteristik. Seringkali seseorang dipandang rendah hanya karena jenis buku yang dibacanya tergolong ringan. Karena menurut saya, tidak bisa kita menganggap rendah selera membaca buku hanya dari ringannya konteks buku yang dibaca.
Kalau memang dipersempit hanya pada buku secara fisik, saya lebih setuju dengan Peng Kheng Sun (penulis The Power of Creativity) yang menawarkan solusi mengukur minat baca dengan system Reading Record. Peng Kheng Sun menyarankan Reading Record ini sebagai aktivitas pribadi individu yang mengaku gemar membaca. Seseorang akan bisa melihat seberapa banyak persisnya jumlah judul dan jumlah halaman buku yang sudah selesai kita baca. Kita juga bisa mengetahui jumlah buku yang kita baca dalam jangka waktu tertentu, misal selama tiga bulan atau setengah tahun.
Pada akhirnya, asumsi tentang rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia perlu kita sikapi dengan serius namun tetap santai. Kembali pada pemahaman saya tentang buku adalah ‘wacana’ (yang sebenarnya tidak harus berfisik atau bentuk cetak) –meski tidak bermaksud untuk membiarkan punahnya buku-buku yang diterbitkan di negeri ini, hal yang perlu kita sadari adalah jangan biarkan slogan “Buku adalah Jendela Dunia” hanya menjadi kata-kata yang semakin pudar, basi, hilang begitu saja esensinya dan berubah menjadi slogan untuk pencitraan semata.
Alfin Rizal,
Jogjakarta, 5 Mei 2016