Untuk menggambarkan hal ini, bayangkan dua individu dengan tingkat kecerdasan yang berbeda. Individu pertama memiliki kecerdasan yang tinggi dan cenderung lebih analitis dalam menilai situasi. Ketika menghadapi kegagalan, mereka mungkin lebih kritis terhadap diri sendiri, lebih sering merenungi kesalahan, dan lebih sulit untuk melepaskan beban emosional. Sebaliknya, individu dengan kecerdasan yang lebih rendah mungkin lebih cepat melupakan kegagalan atau tidak terlalu memikirkannya secara mendalam, sehingga mereka tidak mudah terjebak dalam pusaran emosi negatif yang sama.
Namun, penting untuk diingat bahwa hubungan antara kecerdasan dan depresi tidak bersifat mutlak. Depresi adalah kondisi kesehatan mental yang sangat kompleks, dipengaruhi oleh berbagai faktor---baik biologis, psikologis, maupun lingkungan. Seseorang dengan kecerdasan tinggi tidak serta-merta akan mengalami depresi, begitu pula sebaliknya. Meski demikian, adanya korelasi ini tetap menjadi pengingat bahwa orang yang terlihat "cerdas" atau "sukses" sekalipun bisa saja bergulat dengan penderitaan batin yang tidak terlihat oleh orang lain.
Pada akhirnya, baik tawa maupun kecerdasan bukanlah indikator pasti dari kebahagiaan sejati. Di balik wajah yang tersenyum atau pikiran yang tajam, bisa saja tersembunyi rasa sakit yang mendalam. Inilah yang perlu kita sadari: setiap orang, tanpa terkecuali, mungkin menyimpan luka yang tak terlihat. Oleh karena itu, empati dan kepedulian terhadap sesama menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan yang sering kali hanya melihat sesuatu dari permukaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H