Aku mengembuskan napas kesal.
Karena aku belum paham.
Dia yang menggenggam pensil.
Tadi malam.
Terbingkai dalam sebuah bidang.
Wajah itu benar-benar terlintas.
Tiada kesedihan, hanya senang.
Membuatku menjadi kertas-kertas.
Pada waktu itu.
Dia meletakkan sabda revolusi.
Harus melewati jalan setapak yang terus menanjak dulu.
Jebakan yang dibuat untuk mengelabui.
Dengan jawaban yang menghembuskan napas pendek.
Kapal itu dia puluh tahun yang lalu sempat menjadi pergunjingan.
Juga para Kadek.
Sungguh jawaban yang menyakinkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H