Mohon tunggu...
Alfin Nur Ridwan
Alfin Nur Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kader IMM Sukoharjo, Mahasiswa S1 Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang mempunyai hobi membaca dan menulis, serta menyukai kerja-kerja jurnalistik. Jasadku memang tak abadi, namun kuyakin diriku bisa abadi dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Letakan Gadgetmu, Lalu Berbicaralah

8 Oktober 2024   16:45 Diperbarui: 8 Oktober 2024   16:49 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kubuka sedikit pengalaman ini dari kata-kata seorang penulis terkenal asal Amerika, yang terkenal dengan karya-karya novelnya, bernama Libba Bray. Ia berkata bahwa, "Tidak ada kekuatan yang lebih besar di dunia ini selain cerita". 

Satu kalimat singkat namun sarat makna jika siapapun yang membacanya turut melakukannya. Melakukan apa? Bercerita. Sebuah hal sederhana yang sejatinya telah kita biasakan sedari kecil. Berawal dari segala perilaku di luar diri kita yang kita ceritakan pada orang tua, sampai pada dewasa ini story WhatsApp yang menjadi tempat kita bercerita soal dinamika hidup yang kita jalani.

Pada dasarnya memang bercerita merupakan naluri setiap manusia untuk berbagi pengalamannya kepada orang lain, tanpa orang lain harus turut melakukannya. Hal ini selaras dengan pandangan dari seorang psikolog asal Amerika, Jerome Bruner, yang menyebutkan bahwa bercerita merupakan sarana penting untuk memahami dunia dan menciptakan makna dari pengalaman manusia.

Inilah yang dalam beberapa tahun belakangan ini kumulai sering lakukan. Bercerita dengan orang-orang sekitar seputar apapun itu, dari berbagai macam karakter orang yang berbeda, serta watak dan sifat yang berbeda.

Bercerita, merupakan suatu hal yang kuanggap sangat mudah dilakukan, tanpa harus menguras pikiran, dompet, dan juga tenaga. Namun, di era kemajuan teknologi ini nampaknya bercerita langsung, bertatap muka dengan orang lain, dengan maksud bertukar cerita serta pendapat tentang apapun itu kian makin terkikis.

Dalam satu meja di tempat makan atau kopi pun misalnya. Keberadaan teman yang berjarak tak sampai satu meter di hadapan atau sampingnya pun terkadang tak diajaknya berbicara. Mata dan jari tangan seakan terlalu sibuk untuk tertunduk dan memberi perhatiannya pada gadget dalam genggamannya.

Memang, dalam bercerita tak semua orang akan mau dan berkenan bercerita apapun itu tentang dirinya pada orang lain. Namun pengalaman hidup selama 10 sampai 20 tahun tentunya bukan waktu yang singkat bagiku.

Kita terkadang terlalu larut sampai terhipnotis dengan benda kecil bernama "HP" tersebut. Apakah hal-hal lucu, sedih, romantis, jenaka, konyol, sampai di luar nalar yang membuatmu nyaman dengannya?. Bukankah teman dekatmu, teman di sampingmu juga memiliki pengalaman lucunya sendiri?. Bukankah momen kesedihan itu pasti dirasakan oleh setiap orang?. Apakah selama temanmu hidup tidak pernah menjumpai atau melakukan hal-hal konyol yang dapat mengocok perut siapapun yang mendengarnya?.

Masih sebagaimana apa yang ditulis oleh Jerome Bruner dalam bukunya yang berjudul, The Narrative Construction of Reality, terbitan tahun 1991. Ia menyebut bahwa, manusia adalah makhluk yang "berpikir secara naratif" (narrative thinking).

Bercerita adalah cara kita memahami dan memberi makna pada pengalaman. Melalui narasi, kita dapat mengaitkan peristiwa yang berbeda dalam hidup, membentuk rangkaian sebab-akibat, dan membuat pengalaman lebih terstruktur serta bermakna. Cerita membantu kita memahami dunia yang kompleks dengan membuatnya lebih koheren.

Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk membatasi setiap pembaca dalam menatap layar Hpnya masing-masing, karena itu menjadi hak dari setiap kita. Tapi, cobalah untuk juga sering berinteraksi dan bercerita dengan orang lain, terkhusus orang di sekitar kita. Karena bagiku, salah satu cara mudah untuk bisa memahami orang lain ialah dengan kita berinteraksi dan bercerita dengannya.

Kalau kata Habib Husein Ja'far dalam acara Temu Penulis, yang diselenggarakan oleh kanal ibtimes.id beberapa bulan lalu di Universitas Negeri Yogyakarta, beliau berpesan bahwa, jadikan diri kita ini nyaman dalam pandangan orang lain.

Hal tersebut beliau sampaikan dalam konteks ketika kita ingin memulai berinteraksi dengan seseorang. Karena memang kuakui, memulai interaksi atau pembicaraan terlebih dengan orang yang sebelumnya jarang berinteraksi dengan kita tidaklah mudah. Terlebih jika dari kita sendiri pun enggan untuk membuka topik pembicaraan.

Apakah pernah sama-sama kita bayangkan bagaimana orang-orang terdahulu, bagaimana mereka menjalin komunikasi padahal alat komunikasi canggih seperti sekarang belum dijumpai. Tertawanya mereka tentu dengan rekan-rekan sebayanya saat itu. Kesedihan mereka tentu juga dengan rekan-rekan sebayanya kala itu. Bukan seperti kita, yang terkadang tertawa, larut dalam kesedihan, dengan benda yang sejatinya tak mempunyai perasaan.

Walaupun dalam konteks bercerita kita memang telah dimudahkan dengan gadget dan segala fitur di dalamnya yang memanjakan, akan tetapi tentunya akan ada hubungan emosional yang berbeda jika interaksi tersebut dilakukan secara langsung.

Perbedaan itulah yang nyata dan jelas antara kita sebagai manusia dan Artificial Intelligence (AI). Soal emosional, perasaan, dan emosi yang bisa turut kita rasakan pada orang lain dengan kita bercerita dengannya. Karena lagi-lagi kukatakan, bahwa memahami orang lain itu penting. Ini bukan hanya soal pasangan atau orang yang kita cintai, tapi siapapun orang yang kita kenal dan jumpai.

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Stephen Richards Covey, dalam bukunya yang terkenal berjudul, 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, ia menyarankan kita untuk "seek first to understand, then to be understood" (pahami orang lain terlebih dahulu, baru meminta dipahami).

Prinsip tersebut memberikan arti penting bagi kita untuk mendengarkan dengan penuh perhatian orang lain, sebelum respons atau menuntut sesuatu dari orang lain. Menurutnya, pemahaman mendalam tentang kebutuhan, perasaan, dan sudut pandang orang lain adalah kunci keberhasilan hubungan interpersonal, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun