Miris, satu kata yang menjadi respon pertamaku melihat hal tersebut. Pernikahan yang sejauh ini kumaknai sebagai sesuatu yang sakral dan suci seakan hilang kesuciannya. Apakah pernikahan bukan lagi tentang janji suci nan sakral dan penuh kematangan dalam menempuhnya?. Atau, melainkan hanya sebagai bentuk pelegalan atas kesalahan fatal yang kerap mereka katakan sebagai bentuk 'tanggungjawab'.
Tak bisa kuambil kesimpulan siapa yang perlu disalahkan dalam fenomena ini. Akan tetapi, perlu kupertanyakan juga bagaimana peran dari keluarga, lingkungan, hingga lembaga pemerintah yang tentunya mempunyai tanggungjawab bersama dalam mengedukasi kaum muda soal makna pernikahan.
Bunga yang indah tentunya akan dipetik ketika ia sudah dalam usia matangnya. Untuk kemudian dinikmati keindahannya, walaupun kecantikannya itu akan sirna pasca ia berpisah dari tangkainya. Sedangkan bunga yang masih dalam proses kuncup sudah dipetik, tentunya tak bisa dinikmati keindahannya walaupun pupuk dan air tak henti-henti kita berikan.
Begitulah sekiranya sebuah pernikahan. Gerbang awal dalam mencetak generasi-generasi bangsa berikutnya yang bisa ditempuh ketika kematangan dalam setiap aspek kehidupan mencapai waktunya. Bukan justru menjadi tameng bagi keabsahan sang buah hati yang dihasilkan tanpa adanya sebuah kata 'sah'.
Tuhan telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Kata 'sah' sebagai pelegalan kita atas nikmatnya berpasangan itu yang sejatinya membedakan kita dengan makhluk lainnya. Bukan sebagai pelegalan atas tindakan yang tidak Tuhan izinkan kita melakukannya sebelum waktunya tiba.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI