Mohon tunggu...
Alfin Nur Ridwan
Alfin Nur Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kader IMM Sukoharjo, Mahasiswa S1 Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta

Merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yang mempunyai hobi membaca dan menulis, serta menyukai kerja-kerja jurnalistik. Jasadku memang tak abadi, namun kuyakin diriku bisa abadi dengan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Desakralisasi Pernikahan dalam Fenomena Remaja Kekinian

16 September 2024   11:56 Diperbarui: 16 September 2024   11:57 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miris, satu kata yang menjadi respon pertamaku melihat hal tersebut. Pernikahan yang sejauh ini kumaknai sebagai sesuatu yang sakral dan suci seakan hilang kesuciannya. Apakah pernikahan bukan lagi tentang janji suci nan sakral dan penuh kematangan dalam menempuhnya?. Atau, melainkan hanya sebagai bentuk pelegalan atas kesalahan fatal yang kerap mereka katakan sebagai bentuk 'tanggungjawab'.

Tak bisa kuambil kesimpulan siapa yang perlu disalahkan dalam fenomena ini. Akan tetapi, perlu kupertanyakan juga bagaimana peran dari keluarga, lingkungan, hingga lembaga pemerintah yang tentunya mempunyai tanggungjawab bersama dalam mengedukasi kaum muda soal makna pernikahan.

Bunga yang indah tentunya akan dipetik ketika ia sudah dalam usia matangnya. Untuk kemudian dinikmati keindahannya, walaupun kecantikannya itu akan sirna pasca ia berpisah dari tangkainya. Sedangkan bunga yang masih dalam proses kuncup sudah dipetik, tentunya tak bisa dinikmati keindahannya walaupun pupuk dan air tak henti-henti kita berikan.

Begitulah sekiranya sebuah pernikahan. Gerbang awal dalam mencetak generasi-generasi bangsa berikutnya yang bisa ditempuh ketika kematangan dalam setiap aspek kehidupan mencapai waktunya. Bukan justru menjadi tameng bagi keabsahan sang buah hati yang dihasilkan tanpa adanya sebuah kata 'sah'.

Tuhan telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Kata 'sah' sebagai pelegalan kita atas nikmatnya berpasangan itu yang sejatinya membedakan kita dengan makhluk lainnya. Bukan sebagai pelegalan atas tindakan yang tidak Tuhan izinkan kita melakukannya sebelum waktunya tiba.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun