Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nasib Industri Aviasi Militer Rusia: Kemunduran MiG dan Kebangkitan Sukhoi

19 Oktober 2019   14:32 Diperbarui: 19 Oktober 2019   14:35 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usainya Perang Dingin menyebabkan dampak yang besar bagi kedua pihak yang saling berhadapan, Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Uni Soviet yang kemudian ambruk dan pecah menjadi belasan negara merdeka, secara luas dianggap sebagai pihak 'pecundang' dalam Perang Dingin, sementara lawannya, Amerika Serikat (AS) tetap perkasa dan menjadi 'the sole superpower' di dunia, setidaknya hingga permulaan milenial ketiga.

Ambruknya Uni Soviet, yang selama lebih dari 70 tahun menjadi motor penggerak bagi ideologi komunisme di dunia, berakibat  fatal bagi banyak sektor strategis di negara tersebut. Banyak perusahaan negara yang tak siap dalam menghadapi liberalisasi ekonomi besar-besaran berakhir pada kebangkrutan, tak peduli apapun sektor industrinya.

Hal tersebut terjadi pula pada industri kemiliteran di Rusia pada dasawarsa 1990an. Tamatnya Perang Dingin berarti pengetatan anggaran militer, karena tak ada lagi ajang perlombaan kecanggihan alutsista.

Perang proksi di negara-negara 'Dunia Ketiga' kebanyakan juga berakhir, sementara Pemerintah Rusia sebagai suksesor Uni Soviet harus menghadapi setumpuk problematika domestik. Militer Rusia kemudian tak lagi terlalu peduli akan pembaruan alutsista dan cenderung menggunakan suplai militer seadanya.

Terlebih, anggaran militer yang gila-gilaan pada puncak Perang Dingin, di mana mencapai lebh dari sepertiga pendapatan negara, dianggap pemerintah sebagai pemborosan bagi perekonomian negara. Akibatnya, nasib industri kemiliteran Rusia semakin tidak pasti, di mana sebagian di antaranya harus jatuh ke jurang pailit atau dibubarkan secara massal oleh pemerintah dengan dalih "restrukturisasi dan rasionalisasi".

Mikoyan-Gurevich (MiG) dan Sukhoi menjadi dua korporasi aviasi militer Rusia yang beruntung. Mereka tak sampai jatuh dalam jurang kebangkrutan. Selain mereka berdua, Tupolev, Ilyushin, dan Yakovlev yang notabene lebih minor dari segi tenaga kerja dan struktur perusahaan juga dapat dikatakan 'selamat' dari kebangkrutan.

Meskipun begitu, nasib mereka pasca Perang Dingin tak dapat dikatakan baik. Peter Rutland, dalam Putin's Economic Record (2005) menyatakan bahwa jumlah pesanan dan produksi pesawat militer terus mengalami deklinasi, di mana pada 1991, mereka menangani 715 pesanan pesawat, turun menjadi lebih kurang 300 pesawat pada 1996, 54 pada 1998, dan hanya empat pesawat yang masuk lini produksi pada 2000.

Meskipun begitu, kondisi MiG-lah yang dapat dikatakan kurang berhasil. Karena kurangnya pesanan pesawat tempur pada 1990an, MiG harus berutang dalam jumlah begitu besar pada bank-bank nasional Rusia untuk mendukung operasional mereka.

Berakhirnya Perang Dingin membuat pesawat-pesawat tempur penyergap supersonik macam MiG-31 yang menjadi andalan Uni Soviet pada masanya tak lagi diminati.

Negara-negara bekas Blok Timur yang menjadi pasar andalan MiG hanya membutuhkan pesawat tempur multiperan (multirole fighter) macam MiG-29, sementara produk lainnya, seperti MiG-27 yang juga cukup berjaya kalah saing dengan Panavia Tornado yang merupakan produk Barat.

Bahkan, sebagian negara bekas Blok Timur yang dahulu amat bergantung pada  produk aviasi Uni Soviet juga mulai beralih ke produk Barat, seperti F-16, JAS-39 Gripen, dan Dassault Rafale.

Selain karena defisit dalam pendanaan, kurangnya inovasi ditengarai menjadi salah satu faktor penyebab kemunduran MiG usai Perang Dingin. Pada 1992-1993,

Rusia memang pernah mendirikan proyek peswat multiperan baru untuk memperbarui MiG-29 dan Su-27 sekaligus dengan nama 'Proyek 1.44'. Proyek tersebut bertujuan untuk menjawab AS yang juga mendirikan proyek serupa bertajuk Advanced Tactical Fighter yang kelak akan melahirkan F-22 Raptor. Sebuah prototipe berhasil dibuat pada 1994, meskipun belum dapat diterbangkan.

Prototipe tersebut menjalani serangkaian uji darat (ground test). Meskipun begitu, sebagaimana dikutip dalam Modern Book of Great Warplanes, teknologi yang digunakan dalam prototipe tersebut tak jauh berbeda dengan MiG-29, dengan mesin yang sama dengan Sukhoi Su-27, Saturn-Lyulka AF-41.

Tentu bukan prototipe yang ideal, mengingat prototipe AS mengusung konsep 'pesawat tempur generasi kelima' dengan teknologi stealth yang membuatnya sulit dilacak radar dan teknologi avionik yang seratus persen digital. Uji coba terbang prototipe tersebut bahkan terlambat lebih dari tujuh tahun, dengan penerbangan pertama pada 29 Februari 2000.

Berbagai problem kemudian menghentikan uji coba pesawat tempur MiG 1.44 tersebut, dan akhirnya MiG resmi membatalkannya tak lama setelah uji terbang perdana. Meskipun begitu, ada isu bahwa proyek tersebut akan dilanjutkan setelah 2020, di mana pada MAKS 2015 (pameran udara internasional Rusia) desain baru dari MiG 1.44 bernama Mikoyan LMFS dipamerkan dalam bentuk maket statik. 

Diversifikasi produk juga menjadi masalah pelik dalam manajemen produksi MiG. MiG tak pernah lagi menelurkan produk pesawat tempur baru setelah dibatalkannya Proyek 1.44.

Meskipun pernah mendesain sebuah pesawat latih bernama MiG AT untuk menggantikan L-39 Albatros yang telah lebih dari tiga dasawarsa menjadi pesawat latih AU Rusia, namun lagi-lagi desain dan teknologi yang diterapkan dalam MiG AT tak membuat AU Rusia puas.

Yakovlev Yak-130 akhirnya menjadi pilihan, padahal MiG AT merupakan kolaborasi pertama antara Blok Timur dan Blok Barat yang cukup ambisius. MiG hanya memfokuskan diri pada pengembangan pesawat tempur multiperan, dengan basis MiG-29.

Hasilnya adalah berbagai varian seperti MiG-29K, MiG 29M, dan Mig-29SM. Produk terbarunya adalah MiG-35, dengan teknologi avionik generasi keempat plus, dengan instrumen digital.

MiG enggan menyasar pasar pesawat sipil, padahal strategi tersebut dapat menjadi alternatif untuk memperbaiki keuangan, mengingat biaya produksi pesawat sipil seringkali lebih murah daripada pesawat tempur dan kebutuhan akan pesawat penumpang jauh lebih besar, seiring dengan perkembangan maskapai.

Semakin banyak pabrikan yang memproduksi pesawat tempur sekelas dengan teknologi yang lebih canggih. Konsorsium empat negara Eropa Barat (Inggris, Spanyol, Italia, dan Jerman) misalnya, meluncurkan Eurofighter Typhoon pada 1994. F-16 buatan Lockheed Martin terus dikembangkan dan diproduksi secara massal hingga mencapai 5.000 unit pada 2018.

Boeing juga mengembangkan F/A-18E/F Super Hornet yang berkemampuan tempur lebih baik daripada F-18 Hornet. Swedia, meskipun agak telat, juga tak mau kalah dengan meluncurkan Saab JAS-39 Gripen yang mungil namun gesit dan menyasar pasar negara-negara berkembang.

Prancis juga memperkenalkan Dassault Rafale yang tak kalah canggihnya, pada 2001. Keberadaan produk-produk baru tersebut tentu menjadi pukulan telak bagi MiG yang masih berjuang mencari pasar.

Di sisi lain, Sukhoi bernasib lebih baik. Setelah Perang Dingin, korporasi tersebut terus berinovasi. Setelah Su-27, Sukhoi kemudian meluncurkan Su-30, di mana pesawat tempur multiperan tersebut memiliki varian dengan kemampuan lain seperti Su-33 yang merupakan versi angkatan laut, Su-35 dengan teknologi aviasi generasi keempat plus, dan pengembangan lanjutannya, yaitu pengebom Su-34 yang secara desain mengambil dari Su-30 dengan modifikasi total. Radar dan teknologi aviasi yang digunakan juga terus diperbarui, membuatnya tak kalah saing dengan pesawat-pesawat tempur sekelas buatan Barat yang telah disebutkan di atas.

Hal tersebut membuat Sukhoi terus mendapatkan pasar internasional. Sukhoi pun tak malu melakukan transfer teknologi dengan Tiongkok dan India. Kedua negara tersebut di bawah binaan dan lisensi Sukhoi melakukan produksi Su-27 dan Su-30 secara mandiri. Selain itu, Sukhoi juga melakukan diversifikasi produk. Pada 1990an, Sukhoi merancang pesawat penumpang sipil dengan nama Superjet 100.

Meskipun sempat terseok dan hampir dibatalkan, namun pada akhirnya Sukhoi menggandeng perusahaan aviasi Barat seperti Airbus, Leonardo, dan Safran untuk bekerja sama mengembangkan Superjet 100.

Pada 2007, pengujian perdana pesawat tersebut sukses dan mulai diproduksi massal sejak 2008.Pada 2018, tercatat Sukhoi Superjet 100 dipesan sebanyak lebih dari 300 buah, di mana 170 di antaranya telah dikirim. Sukhoi Superjet 100 cukup laku di pasaran internasional, di mana terdapat belasan maskapai yang memesannya.

Produk terbaru Sukhoi adalah Su-57, yang sebelumnya diberi nama Sukhoi PAK-FA. Su-57 merupakan pesawat tempur generasi kelima yang berteknologi stealth dan menjadi pesaing utama bagi F-22 Raptor dan F-35 Lightning II.

Keberhasilan Sukhoi memasuki persaingan jet tempur generasi kelima bermakna positif dan menunjukkan kebangkitan bagi perusahaan tersebut.

Sukhoi mampu menciptakan (atau meniru) teknologi stealth ala Barat yang menjadi kunci bagi perkembangan pesawat tempur generasi kelima. Selain itu, diversifikasi Sukhoi terlihat dengan turut berperan bersama Yakovlev dalam merancang pesawat sipil Irkut MS-21 dan pembaruan pesawat serang Su-25.

Meskipun keduanya dapat dikatakan 'bersaing' secara produk, namun pada dasarnya baik MiG maupun Sukhoi adalah dua perusahaan yang bekerja di bawah pemerintah Rusia. Keduanya memiliki nasib yang berbeda, dengan MiG masih terseok-seok dalam melanjutkan lini produksinya dan berjuang mencari pasar, sementara Sukhoi berada dalam fase kebangkitan dengan pengerjaan sejumlah proyek besar.

Dinamika industri militer Rusia memang mengalami deklinasi yang signifikan pasca Perang Dingin, namun tidak menutup kemungkinan dengan perbaikan ekonomi, pembaruan manajemen, dan inovasi yang lebih baik dapat menjadikan Rusia tak kalah bersaing dengan negara-negara Barat dalam urusan alutsista, utamanya pesawat tempur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun