Semakin banyak pabrikan yang memproduksi pesawat tempur sekelas dengan teknologi yang lebih canggih. Konsorsium empat negara Eropa Barat (Inggris, Spanyol, Italia, dan Jerman) misalnya, meluncurkan Eurofighter Typhoon pada 1994. F-16 buatan Lockheed Martin terus dikembangkan dan diproduksi secara massal hingga mencapai 5.000 unit pada 2018.
Boeing juga mengembangkan F/A-18E/F Super Hornet yang berkemampuan tempur lebih baik daripada F-18 Hornet. Swedia, meskipun agak telat, juga tak mau kalah dengan meluncurkan Saab JAS-39 Gripen yang mungil namun gesit dan menyasar pasar negara-negara berkembang.
Prancis juga memperkenalkan Dassault Rafale yang tak kalah canggihnya, pada 2001. Keberadaan produk-produk baru tersebut tentu menjadi pukulan telak bagi MiG yang masih berjuang mencari pasar.
Di sisi lain, Sukhoi bernasib lebih baik. Setelah Perang Dingin, korporasi tersebut terus berinovasi. Setelah Su-27, Sukhoi kemudian meluncurkan Su-30, di mana pesawat tempur multiperan tersebut memiliki varian dengan kemampuan lain seperti Su-33 yang merupakan versi angkatan laut, Su-35 dengan teknologi aviasi generasi keempat plus, dan pengembangan lanjutannya, yaitu pengebom Su-34 yang secara desain mengambil dari Su-30 dengan modifikasi total. Radar dan teknologi aviasi yang digunakan juga terus diperbarui, membuatnya tak kalah saing dengan pesawat-pesawat tempur sekelas buatan Barat yang telah disebutkan di atas.
Hal tersebut membuat Sukhoi terus mendapatkan pasar internasional. Sukhoi pun tak malu melakukan transfer teknologi dengan Tiongkok dan India. Kedua negara tersebut di bawah binaan dan lisensi Sukhoi melakukan produksi Su-27 dan Su-30 secara mandiri. Selain itu, Sukhoi juga melakukan diversifikasi produk. Pada 1990an, Sukhoi merancang pesawat penumpang sipil dengan nama Superjet 100.
Meskipun sempat terseok dan hampir dibatalkan, namun pada akhirnya Sukhoi menggandeng perusahaan aviasi Barat seperti Airbus, Leonardo, dan Safran untuk bekerja sama mengembangkan Superjet 100.
Pada 2007, pengujian perdana pesawat tersebut sukses dan mulai diproduksi massal sejak 2008.Pada 2018, tercatat Sukhoi Superjet 100 dipesan sebanyak lebih dari 300 buah, di mana 170 di antaranya telah dikirim. Sukhoi Superjet 100 cukup laku di pasaran internasional, di mana terdapat belasan maskapai yang memesannya.
Produk terbaru Sukhoi adalah Su-57, yang sebelumnya diberi nama Sukhoi PAK-FA. Su-57 merupakan pesawat tempur generasi kelima yang berteknologi stealth dan menjadi pesaing utama bagi F-22 Raptor dan F-35 Lightning II.
Keberhasilan Sukhoi memasuki persaingan jet tempur generasi kelima bermakna positif dan menunjukkan kebangkitan bagi perusahaan tersebut.
Sukhoi mampu menciptakan (atau meniru) teknologi stealth ala Barat yang menjadi kunci bagi perkembangan pesawat tempur generasi kelima. Selain itu, diversifikasi Sukhoi terlihat dengan turut berperan bersama Yakovlev dalam merancang pesawat sipil Irkut MS-21 dan pembaruan pesawat serang Su-25.
Meskipun keduanya dapat dikatakan 'bersaing' secara produk, namun pada dasarnya baik MiG maupun Sukhoi adalah dua perusahaan yang bekerja di bawah pemerintah Rusia. Keduanya memiliki nasib yang berbeda, dengan MiG masih terseok-seok dalam melanjutkan lini produksinya dan berjuang mencari pasar, sementara Sukhoi berada dalam fase kebangkitan dengan pengerjaan sejumlah proyek besar.