Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kegagalan Beruntun Timnas Argentina dalam Turnamen Internasional

11 Juli 2019   19:48 Diperbarui: 11 Juli 2019   22:06 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://images.beinsports.com

Lionel Messi tak dapat menahan kekesalannya. Muka kapten timnas Argentina tersebut merah padam. Peluit panjang baru saja ditiup wasit Roddy Zambrano, papan skor memperlihatkan angka 2-0--kemenangan untuk Brasil. Rekan-rekan Messi--sesama punggawa timnas Argentina terkapar di tengah lapangan dengan ekspresi serupa. 

Sebagian lainnya menutup wajah mereka dengan telapak tangan. Sementara di sisi lain lapangan, para anggota timnas Brasil bersorak-sorai meluapkan kegembiraan bersama puluhan ribu suporter mereka. Stadion Mineirao menjadi saksi bisu daftar panjang kegagalan Argentina merengkuh trofi di kejuaraan internasional, kali ini Tim Tango harus kandas di semifinal Copa America.

Sejatinya Argentina menguasai permainan. Situs resmi statistik pertandingan Copa America 2019 menyatakan bahwa Argentina memiliki 14 peluang gol, dibanding Brasil yang hanya menciptakan empat. Mereka juga unggul penguasaan bola (51%) dan secara umpan lebih akurat daripada Brasil. Namun, keunggulan statistik tersebut seolah nihil jika dibandingkan dengan hasil akhir pertandingan. 

Gabriel Jesus dan Roberto Firmino berhasil membobol gawang Franco Armani, masing-masing di menit ke-19 dan 71. Brasil akhirnya lolos ke final Copa America di kandang sendiri, sementara Argentina harus sekian kalinya mengubur mimpi dalam-dalam. Rencananya, partai puncak akan diadakan pada 7 Juli, di mana Brasil akan menghadapi Peru yang secara mengejutkan berhasil mencukur habis juara bertahan Chili dengan skor 3-0.

Kegagalan beruntun tersebut seolah kontras dengan timnas Argentina beberapa dasawarsa silam. Bersama Brasil, Jerman, dan Italia, Argentina menjadi lambang kedigdayaan sepak bola dunia. Argentina pernah dua kali menjadi juara dunia dan belasan kali mengangkat trofi Copa America, hingga era 1990an. Argentina juga sejak dahulu memiliki tradisi sepak bola yang mengakar kuat dan timnasnya dihuni sederet pemain bintang, sebut saja Gabriel Batistuta, Mario Kempes, Diego Maradona, Javier Zanetti, Diego Simeone, dan sang megabintang Lionel Messi. 

Namun kegagalan demi kegagalan terus terjadi berturut-turut sejak Piala Dunia 2010 hingga Copa America tahun ini. Tentu hal tersebut menjadi pertanyaan pelik yang masih saja menjadi obrolan hangat para pecinta sepak bola: bagaimana bisa tim nasional dengan sederet bintang-bintang kelas dunia kerap gagal dalam turnamen internasional?

Terdapat beberapa faktor penting yang mengganjal timnas Argentina dalam meraih juara dalam turnamen internasional. Pertama, egoisme pemain yang tinggi. Argentina dihuni oleh para pemain bertabur bintang yang bermain di klub unggulan pula, baik di Eropa maupun Amerika Latin. Sergio Aguero misalnya, ia bermain di Manchester City, juara Liga Inggris dua tahun terakhir. Bahkan tahun ini, klub tersebut mampu meraih seluruh gelar domestik Inggris (Liga, Piala FA, dan Piala EFL). Sang kapten, Lionel Messi jauh lebih hebat lagi. 

Tak hanya dua kali meraih treble winner bersama Barcelona, ia juga lima kali menjadi pemain terbaik dunia. Beberapa pemain timnas Argentina lain juga bermain di klub papan atas Amerika Latin seperti River Plate, Boca Juniors, dan Independiente. Karena berasal dari klub-klub terbaik, mereka merasa harus menjadi 'yang terbaik' secara individu. 

Mayoritas pemain Argentina pun merasa bahwa dengan bersinar secara individu (dengan mencetak banyak gol atau aksi individu yang ciamik), klub akan semakin menghargai mereka, baik secara moral maupun material, termasuk dengan menambah jam bermain.

sumber: https://images.beinsports.com
sumber: https://images.beinsports.com
Egoisme tersebut cukup terlihat dalam beberapa turnamen terakhir, termasuk pertandingan Copa America kemarin. Masing-masing pemain Argentina bergerak secara sporadis tanpa ada kerja sama untuk menyerang gawang lawan. Alhasil, dengan berbagai aksi individu terbaik sekalipun, serangan-serangan mereka berhasil dipatahkan oleh barisan pertahanan Brasil yang disiplin. 

Lionel Messi, sang kapten yang seharusnya mampu menyatukan rekan-rekannya atau memaksimalkan peluang justru tampak kesulitan menembus pertahanan lawan, lagi-lagi karena rekannya yang tidak sigap menerima umpan dan tidak taktis dalam kerja sama serangan. 

Hal serupa juga terjadi ketika Argentina hanya mampu menahan imbang Paraguay pada babak penyisihan. Serangan dari pemain terbaik sedunia sekalipun akan majal apabila tidak dibangun oleh kerja sama tim yang baik, apalagi untuk menembus pertahanan yang disiplin. 

Paraguay paham betul akan titik nadir timnas Argentina yang satu ini, dan berhasil memanfaatkannya. Brasil lebih baik lagi, dengan serangan balik efektif, tuan rumah Copa America tersebut dua kali menggetarkan gawang Argentina.

Kurang sigapnya para pemain Argentina dalam melakukan transisi antara menyerang dan bertahan juga menjadi sorotan. Pada pertandingan lalu, para pemain bertahan Argentina terlihat gugup saat menghadapi serangan Gabriel Jesus, Roberto Firmino, dan Philippe Coutinho. 

Hal ini merupakan imbas dari ketiadaan playmaker lapangan tengah yang kreatif dan mampu menerapkan transisi menyerang-bertahan secara dinamis.  Akibatnya, barisan pertahanan Argentina yang diawaki Nicolas Tagliafico, Nicolas Otamendi, Juan Foyth, dan German Pezzella menjadi bulan-bulanan serangan Brasil. 

Hal serupa juga terjadi pada babak 16 besar Piala Dunia 2018. Kurang dinamisnya transisi antara menyerang dan bertahan juga menjadi petaka bagi timnas Argentina. Meskipun mampu mencetak tiga gol, namun gol-gol tersebut tak berarti karena gawang mereka empat kali dibobol Perancis, tiga di antaranya dengan skema open play.

Kondisi di atas diperparah dengan kurangnya kualitas pemain barisan pertahanan Argentina. Dari sektor penjaga gawang misalnya, Sergio Romero sebenarnya memiliki kualitas yang cukup baik di bawah mistar gawang dan mampu mempertahankan gawang Argentina sampai final Piala Dunia 2014. Pada Copa America 2015 dan 2016, ia juga mengantarkan negerinya hingga final. 

Namun, sejak ia tidak dipanggil timnas, performa pertahanan Argentina menurun. Kiper-kiper lain yang dipanggil masuk timnas oleh federasi seperti Franco Armani atau Willy Caballero tidak sekualitas Romero dalam menjaga gawang. 

Apalagi tidak semua kiper Argentina memiliki jam terbang tinggi di klub masing-masing. Sektor pemain belakang memiliki masalah yang serupa. Terdapat ketimpangan antara satu pemain dengan lainnya. 

Javier Zanetti dan Javier Mascherano memang pernah menjadi pemain bertahan terbaik Argentina, namun keduanya telah memasuki masa senja. Mascherano sudah berusia 34 tahun, sementara Zanetti bahkan sudah pensiun delapan tahun lalu. 

Para penggantinya belum ada yang menyamai kemampuan mereka berdua. Tak hanya itu, belum ada 'klik' antara sesama pemain belakang. Juan Foyth dan German Pezzella belum bisa mengimbangi gaya bermain Nicolas Otamendi yang jauh lebih berpengalaman.

Hal berbeda terjadi di sektor pemain tengah hingga penyerang. Meskipun Argentina kekurangan playmaker andal yang mampu membangun serangan dengan jitu, namun kualitas pemain di sektor tersebut mengagumkan dan didominasi oleh para bintang Amerika Latin dan Eropa. 

Mereka memiliki cukup banyak pengalaman dan telah mencetak deretan gol bagi timnas mereka. Sayangnya, sebagaimana disebutkan di atas, terdapat faktor egoisme yang menyebabkan kurang padunya permainan Argentina. Ketimpangan kualitas antara pemain bertahan dan serang juga menjadi faktor penting kegagalan timnas Argentina.

Faktor yang tak kalah penting adalah tekanan yang harus dihadapi para punggawa timnas. Terakhir kali Argentina menjuarai turnamen mayor adalah pada ajang Copa America 1993, lebih dari seperempat abad lalu. 

Publik Argentina nampaknya sudah bosan melihat timnasnya sekian lama puasa gelar. Memang, dengan tradisi sepak bola yang kuat, publik Argentina memiliki fanatisme terhadap timnas mereka, terlihat dari banyaknya fans yang berbondong-bondong memberikan dukungan dalam setiap turnamen, baik Copa America maupun Piala Dunia. Fanatisme publik inilah yang menjadi beban bagi para pemain. 

Mereka seolah dituntut secara 'nasional' untuk terus memenangi tiap kejuaraan yang mereka ikuti. Namun, besarnya tekanan ini membuat para pemain Argentina tak dapat bermain secara lepas. Acap kali mereka terlihat kaku saat bertanding dan tidak dapat mengembangkan permainan, bahkan kerap melakukan kesalahan-kesalahan elementer yang tak perlu. 

Tekanan tersebut dirasakan pemain hingga berlanjut pada adu penalti. Dalam final Copa America 2015 dan 2016 misalnya, mereka hanya selangkah lagi menjadi juara, namun dikandaskan oleh Chili dalam drama adu penalti. Tekanan dari suporter yang besar membuat para pemain Argentina nervous dan gagal membobol gawang Chili, sekalipun mereka dikabarkan sudah bersiap untuk 'menghadapi kondisi terburuk', tak lain adalah adu penalti.

sumber: https://www.mldspot.com
sumber: https://www.mldspot.com
Tekanan yang besar juga dapat menyebabkan pemain Argentina melakukan kesalahan fatal. Willy Caballero, kiper Argentina pada Piala Dunia 2018 melakukan blunder yang menyebabkan gawangnya dibobol oleh Ante Rebic pada babak penyisihan melawan Kroasia. 

Ia bermaksud memberikan umpan, namun tendangannya mengarah ke atas dan kontan disambar oleh Rebic. Caballero yang terkejut karena bola disambar tak dapat berbuat banyak ketika sang pemain Kroasia langsung menendang bola masuk ke gawangnya. Kroasia menang 3-0 dan memastikan lolos ke babak berikutnya.

Faktor terakhir, masih bergantungnya timnas pada Messi. Meskipun memiliki segudang pemain hebat, problematika satu ini masih terus-menerus terjadi pada timnas Argentina. Pun, banyak ahli dan pengamat sepak bola sudah mengulas masalah ini, Siapapun pelatihnya, pasti akan menempatkan sang megabintang pada posisi terdepan. 

Hal ini membuat setiap serangan Argentina selalu melibatkan Messi, sehingga Messi hampir 'diperintahkan' untuk mengeksekusi serangan menjadi gol. Setiap pemain Argentina seolah diperintah untuk memberikan bola kepada Messi agar ia dapat langsung menceploskan bola ke gawang lawan. 

Para pelatih Argentina mengetahui Messi merupakan 'pemain terbaik' dalam deretan pemain Argentina, dan seakan mengeksploitasinya untuk selalu mencetak gol, meskipun pemain serang lain memiliki kemampuan yang mendekati dirinya. Ketergantungan ini tentu ini akan mengakibatkan beban Messi semakin berat sekaligus membuat Argentina gagal membobol gawang lawan apabila pergerakan Messi berhasil dihambat oleh pemain lawan.

Keputusan para pelatih Argentina untuk mengandalkan Messi pada hakikatnya tidak keliru. Sang megabintang merupakan pemain serang yang haus gol, baik saat membela klubnya maupun ketika bergabung dengan tim nasional. 

Ia memiliki bakat dan kemampuan yang sangat krusialuntuk mencetak gol dengan berbagai teknik. Ketajamannya sudah tak diragukan lagi dan Messi percaya diri untuk mengemban tugas sebagai mesin gol. Namun, ketergantungan yang berlebihan tentu tidak baik. 

Apalagi, situasi dan kondisi timnas jauh berbeda dengan klub, di mana Messi terlihat lebih leluasa untuk bermain di klub dengan teman-teman sejawat yang sudah saling kenal dan bertemu setiap pekan dan mengasah kemampuan dalam satu atmosfer yang sama. 

Di pusat latihan timnas, Messi bertemu dengan banyak orang baru dengan kemampuan yang berbeda dan memiliki visi permainan yang juga beragam. Apalagi, pemusatan latihan timnas biasanya hanya berlangsung beberapa minggu.

Faktor-faktor di atas saya rasa cukup mewakili sederet problematika yang harus dihadapi oleh manajemen tim nasional Argentina. Masalah-masalah tersebut harus segera diselesaikan oleh manajemen timnas, sembari mempersiapkan diri untuk turnamen akbar berikutnya. Tahun 2020, Argentina bersama Kolombia akan menjadi tuan rumah Copa America, sekaligus bersiap untuk kualifikasi Piala Dunia 2022 di Qatar. 

Dua ajang tersebut seharusnya menjadi ajang pembuktian apakah Argentina masih layak dipandang sebagai negara dengan tradisi juara sepak bola atau justru mengalami kemerosotan dan tak kunjung bangkit. 

Dengan semakin meratanya kualitas tim nasional negara-negara dunia, tentu akan menjadi kendala bagi Argentina apabila tidak segera 'melecut diri' untuk bangkit. Publik Argentina masih penasaran dengan tim nasional mereka, sekaligus melayangkan pertanyaan sinis dalam hati mereka kepada para punggawa tim nasional.

"Apakah tim nasional negara saya masih pantas menjadi salah satu tim nasional terbaik dunia atau akan menjadi pecundang yang tak kunjung bangkit selamanya?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun