Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dominasi Kudeta Militer dalam Sejarah Pemerintahan Sudan

23 April 2019   22:00 Diperbarui: 23 April 2019   22:17 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 11 April 2019, Omar Al-Bashir, Presiden Sudan yang telah berkuasa selama 30 tahun dikudeta oleh militer negerinya sendiri. Kudeta tersebut terjadi seiring dengan protes yang dilakukan oleh masyarakat Sudan selama hampir enam bulan, sejak pemerintah Sudan dinilai gagal oleh masyarakat dalam mengatasi krisis ekonomi. 

Warga yang kecewa terhadap pemerintah melakukan protes dan demonstrasi besar sebagaimana yang terjadi di Mesir, Libya, dan Tunisia ketika Musim Semi Arab (2011-2012). 

Melihat situasi yang semakin tak kondusif, Angkatan Bersenjata pimpinan Letnan Jenderal Ahmed Awad bin Auf mengambil tindakan dengan mengepung istana presiden, membubarkan DPR, dan mengumumkan keadaan darurat nasional. Militer juga membentuk pemerintahan transisional, yang menjadi tonggak tamatnya pemerintahan Al-Bashir.

Kudeta yang terjadi di Sudan sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Negara-negara sekitarnya dan di Afrika pada umumnya juga kerap mengalami hal yang sama, terutama pada abad ke-20. 

Ethiopia salah satunya. Pada 1974, Kaisar Haille Selassie digulingkan oleh militer yang terpengaruh paham komunisme pimpinan Mengistu Haile Mariam. Idi Amin di Uganda berhasil melengserkan presiden sipil Milton Obote pada 1971. Sementara itu, kudeta militer juga terjadi di Burkina Faso, Nigeria, dan Ghana. Singkatnya, militer negara-negara Afrika memiliki 'pengalaman' dalam melakukan kudeta.

Sebelumnya, Sudan pun pernah berkali-kali mengalami peristiwa serupa. Kudeta demi kudeta dilancarkan militer negeri itu, sayangnya tak ada satupun yang berhasil memperbaiki kondisi negara. 

Malahan, beberapa junta di antaranya membuat Sudan terseret dalam  Perang Dingin dan perang saudara berkepanjangan. Selain itu, laiknya pemerintahan militer di berbagai belahan dunia lainnya, demokrasi tidak bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat Sudan meskipun berulang kali militer menggaungkan rencana pemilu yang "demokratis", namun militer terus berkuasa hingga belasan bahkan puluhan tahun.

Pada 1958, didasari oleh  kesulitan ekonomi dan mandeknya pembangunan negara pascakemerdekaan, Jenderal Ibrahim Abboud melengserkan pemerintahan sipil pimpinan Perdana Menteri Ismail Alazhari. 

Sang Jenderal juga menilai pemerintahan Alazhari diwarnai korupsi, suap, dan faksionalisme yang dapat memecah-belah negara. Ia lantas membentuk Dewan Militer yang akan membentuk pemerintahan. Seperti diduga, Abboud langsung membeberkan janjinya, di antaranya memperbaiki tatanan pemerintahan dan perbaikan ekonomi, serta yang utama: mengembalikan kekuasaan ke tangan pemerintahan sipil (yang nyatanya tak terjadi).

Meskipun terbilang sukses (dalam melakukan kudeta), namun junta militer pimpinan Abboud terus dibayangi oleh oposisi. Bahkan, sebagian besar anggota militer berikut para perwiranya tak percaya kepadanya. 

Abboud dan Dewan Militer-nya gagal memperkuat posisinya sehingga kalangan oposisi terus berusaha mendongkelnya dalam berbagai situasi. Dalam sektor ekonomi, kekacauan yang lebih parah terjadi. 

Jenderal Abboud tak becus dalam memastikan kestabilan perekonomian, sehingga inflasi tak terkendali dan masyarakat melakukan protes karena harga-harga yang terus meroket. Apalagi, Partai Komunis Sudan terus bangkit dan mendapat simpati luas dari masyarakat, menjadi motor dalam menggerakkan protes menghadapi junta militer.

Terbukti, Abboud akhirnya lengser setelah rakyat melakukan gelombang protes yang disebut sebagai "Revolusi Oktober 1964". Partai Komunis berperan penting di belakang rakyat Sudan yang kecewa dengan Sang Jenderal. Pemerintahan sipil kembali terbentuk sejak itu, dan berusaha memperbaiki keadaan yang kacau pada pemerintahan sebelumnya. 

Hassan Fadlalla dalam Short History of Sudan menyatakan adanya pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Atim Al-Khalifa sebagai perdana menteri dan Ismail Al-Azhari sebagai presiden. Dikutip dalam literatur serupa bahwa konstitusi yang digunakan adalah konstitusi sebelum kudeta militer. Namun, pemerintahan sipil ini tak bertahan lama, pada 1969, kudeta terjadi lagi.

Kudeta kedua di Sudan dipimpin oleh Kolonel Gaafar Nimeiry, yang berhaluan nasionalis radikal sayap kiri yang tergabung dalam Dewan Komando Revolusi. Sebenarnya, ia pernah merencanakan kudeta pada masa pemerintahan Abboud karena menurutnya rezim tersebut terlalu pro-Barat. 

Nimeiry dan Babiker Awadalla menggerakkan pasukannya untuk menduduki instalasi sipil dan militer. Tak lupa, pasukannya juga ia perintahkan untuk mengepung istana presiden. 

Segera setelah menggulingkan Azhari, ia membentuk pemerintahan nasionalis Arab. Ia memimpin laiknya para kepala negara komunis, dengan menasionalisasikan berbagai perusahaan asing, dan menolak kepemilikan pribadi.

Alamy.com
Alamy.com
Praktis, di bawah rezim Nimeiry, Sudan menjadi salah satu pendukung utama Blok Timur di wilayah Afrika dan Timur Tengah. Sudan berganti nama resmi menjadi Republik Demokrasi Sudan dan hanya mengakui satu partai politik (Uni Sosialis Sudan), sebagaimana yang terjadi di negara-negara berhaluan sosialisme. 

Dengan ideologi tersebut, Nimeiry menyeret Sudan ke dalam Perang Dingin setelah lebih dari 20 tahun nonblok. Ia sangat mendukung Mesir dalam menghadapi Israel dalam perang 1967 dan 1973 dan terus-menerus memperjuangkan terbentuknya Pan Arabisme.

Sebagai seorang diktator, ia berusaha mempertahankan dirinya sebagai pemimpin. Partainya ia desain agar selalu memenangkan pemilihan umum sehingga menjamin dirinya akan terus berkuasa, tentunya dengan mematikan oposisi, terutama Partai Umma. 

Bahkan, Partai Komunis yang sebelumnya berada di pihaknya ia lucuti dan berada dalam kontrol Uni Sosialis Sudan. Meskipun begitu, pada dasarnya Nimeiry adalah petinggi militer yang sangat diuntungkan meskipun terjadi pergolakan dalam pemerintahannya, mengingat kekuasaan militer Sudan waktu itu sangat mendominasi pemerintahan.

Selama 16 tahun pemerintahannya, kondisi Sudan tak banyak berubah dari sebelumnya. Ekonomi masih tetap stagnan sementara pemerintah hanya berfokus pada nasionalisasi ekonomi. 

Sedikit harapan muncul ketika ditemukan sumber minyak bumi di wilayah Selatan. Namun lagi-lagi gejolak terjadi. Masyarakat wilayah selatan Sudan merasa kecewa dengan kepemimpinan Nimeiry menyatakan perlawanannya kepada pemerintah pada 1983. Mereka mendirikan organisasi paramiliter Tentara Pembebasan Sudan Selatan (SPLA) yang menggunakan strategi gerilya dalam perlawanannya. Diketahui, Ethiopia turut membantu milisi SPLA dalam memberontak.

Lagi-lagi karena ketidakpuasan yang berlarut-larut akibat ketidakbecusan Nimeiry dan rezimnya dalam memerintah, masyarakat kembali berdemonstrasi. Faktor tersebut diperkuat dengan merebaknya kelaparan yang menewaskan lebih dari sejuta orang. Belum lagi, meningkatnya pengaruh Islamisme konservatif memicu gerakan-gerakan islam yang mengkritik rezim Nimeiry yang mereka nilai sekuler dan membatasi gerakan Islam.

Militer akhirnya kembali mengambil tindakan dengan menggulingkan Nimeiry ketika dirinya sedang melawat ke luar negeri pada 1985. Kudeta ini dipimpin oleh Marsekal Abdel Rahman Suwar Al-Dahab, menteri pertahanan merangkap panglima Angkatan Bersenjata saat itu. Ia juga seorang Islamis yang menentang dominasi Uni Sosialis Sudan. 

Beruntung, Dewan Transisi Militer yang ia pimpin hanya bertugas memulihkan keadaan. Ia tak mempertahankan kekuasaannya sebagai kepala negara dan menyerahkannya pada sipil pimpinan Ahmed Al-Mirghani yang terpilih secara demokratis pada Mei 1986.

Sumber: enca.com
Sumber: enca.com
Sialnya, lagu lama terulang kembali. Omar Al-Bashir, seorang kolonel Angkatan Darat Sudan melengserkan Al-Mirghani. Kudeta kali ini juga didukung oleh National Islamic Front, organisasi pan-islamisme Sudan yang cukup dominan di kalangan masyarakat Sudan. 

Militer menggarisbawahi ketidakmampuan pemerintahan Al-Mirghani dalam mengatasi perang saudara berkepanjangan dan berbagai masalah ekonomi yang terus mendera negerinya. 

Omar Al-Bashir sebagaimana Gaafar Nimeiry, memerintah dengan otoriter atas nama hukum syariah Islam. Ia didakwa oleh Mahkamah Internasional telah melakukan berbagai kejahatan perang dan kecurangan dalam pemilihan umum. Selama 30 tahun masyarakat Sudan hidup dalam kekangan rezim ini.

Kudeta yang terjadi pada 2019 nampaknya tak akan banyak mengubah situasi. Sebagaimana kudeta-kudeta sebelumnya, Letnan Jenderal Bin Auf juga mengumbar janji akan mengembalikan kekuasaannya ke tangan sipil, namun agaknya hal ini tak akan terjadi pada waktu dekat meskipun protes yang dilakukan melibatkan banyak unsur sipil. Hal ini disebabkan para petinggi militer yang melakukan kudeta tak lain adalah orang-orang terdekat Al-Bashir. 

Situasi akan cenderung pada status quo karena militer Sudan sendiri tak memiliki kapabilitas dalam menyelesaikan permasalahan 'sipil' seperti lesunya perekonomian, konflik sektarian, dan kesenjangan sosial yang menjadi sumber perpecahan di Sudan dalam dasawarsa terakhir.

Apalagi, Sudan masih menghadapi ancaman berbagai milisi yang bercokol di Darfur, di mana situasi geopolitik sangat labil ditambah warga sipil yang menderita akibat konflik berkepanjangan di wilayah tersebut. 

Pemerintahan militer cenderung akan memperpanjang usaha untuk berkonfrontasi dengan para milisi. Rasa dendam yang berkepanjangan dengan wilayah selatan yang merdeka pada 2011 dalam diri para perwira bawahan Bin Auf juga menjadi gambaran kelamnya hubungan kedua negara yang perdamaiannya sangat diimpikan banyak pihak.

Apakah penduduk Sudan merasa gembira setelah Al-Bashir dilengserkan oleh militer? Gembira dalam waktu singkat, namun kembali muram ketika menyadari bahwa peristiwa yang sama pada puluhan tahun lalu akan terulang kembali untuk kesekian kalinya.

Kudeta demi kudeta militer mendominasi sejarah Sudan. Setiap pemimpinnya menjanjikan segala cara (yang kerap kali muluk-muluk) untuk menstabilkan situasi ekonomi-politik dan sosial-masyarakat negerinya. 

Namun keadaan tak banyak berubah. Realita tersebut dapat menjadi jawaban dari penyebab dari deretan kudeta di Sudan, yaitu kurangnya pemimpin yang memiliki kredibilitas dan posisi yang kuat dalam politik, sehingga rawan didongkel oleh militer. 

Agaknya reformasi terhadap pembagian kekuasaan dalam pemerintahan Sudan harus dilakukan dalam waktu dekat. Ya, dalam waktu dekat, apabila Bin Auf benar-benar menepati janjinya, menyerahkan kuasa pada pemerintahan sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun