Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kediktatoran Presiden Obiang dan Korupnya Pemerintahan Guinea Ekuatorial

25 Januari 2019   19:54 Diperbarui: 26 Januari 2019   07:04 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guinea Ekuatorial merupakan negeri yang cukup mengejutkan dunia. Negara mungil di tepi Teluk Guinea, Afrika Tengah ini berhasil mencatat pendapatan per kapita lebih dari US$25.000 pada 2015, menjadikannya sebagai negara dengan pendapatan tertinggi di benua hitam.

Mengherankan tentunya, karena pada dasawarsa 1990an, pendapatan negara ini tak lebih dari US$500. Hanya beberapa tahun setelah eksplorasi minyak dan gas alam dilakukan serta penemuan sejumlah cadangan migas, pendapatan penduduk di sana lantas melejit. Namun, jika melihat kondisi masyarakat di sana, orang pasti akan bertanya-tanya.

"Mengapa negara penghasil migas dan secara statistik memiliki pendapatan yang besar seperti ini masih banyak penduduknya yang belum sejahtera bahkan hidup di bawah ambang kemiskinan?" 

Ya, memang demikian yang terjadi. Kontras dengan Uni Emirat Arab, Qatar, atau Arab Saudi yang menikmati lezatnya petrodolar dan menjadi negara makmur dengan segala kemewahan dan pembangunannya hanya dalam beberapa dasawarsa, Guinea Ekuatorial masih saja miskin, terlepas dari catatan statistik bahwa negeri tersebut memiliki pendapatan lebih tinggi daripada Spanyol, Portugal, atau Cile.

Hal ini menunjukkan adanya ketidakberesan dalam pengelolaan pendapatan negara, terutama dari migas. Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa pendapatan sebesar itu hanya dinikmati oleh segelintir manusia di sana. Salah satu pihak yang turut andil dalam ketidakberesan yang terjadi di sana adalah presidennya sendiri, Teodoro Obiang Nguema Mbasogo.

africa-equatorial-guinea-2-1-5c4ba2e043322f5bec78bcd4.jpg
africa-equatorial-guinea-2-1-5c4ba2e043322f5bec78bcd4.jpg
Tahun ini, genap 40 tahun Obiang memimpin negara itu. Ia dijuluki oleh berbagai lembaga riset politik sebagai salah satu pemimpin paling korup dan tidak demokratis sedunia. Ia memimpin bak seorang raja tanpa pengganti, karena partainya terus-menerus mendominasi dalam 40 tahun terakhir (ia berusaha agar terus seperti itu). Obiang benar-benar berkuasa atas negerinya: secara politik dan ekonomi.

Ia lahir di Akoakam, sebuah desa di wilayah timur Guinea Ekuatorial pada 1942, ketika negeri itu masih menjadi koloni Spanyol. Setelah lulus sekolah menengah, ia masuk akademi militer Spanyol di Zaragoza, dan lulus dengan pangkat letnan. Ketika ia lulus, negerinya baru merdeka dari tangan Spanyol dan pamannya, Francisco Macias Nguema terpilih menjadi presiden pertama.

Perjalanannya menjadi presiden tak sepenuhnya mulus. Ia merebut pemerintahan dengan mengudeta dan mengeksekusi pamannya sendiri pada Agustus 1979. Nguema sendiri adalah sosok yang kejam dan bengis. Ia melakukan genosida dan pembersihan etnis-etnis minoritas di sana. Selain itu, ia juga mematikan oposisi dan menghapus kebebasan pers.

Begitu berhasil mengudeta pamannya, Obiang mengumbar janji akan mengembalikan negeri tersebut kembali ke jalan yang demokratis. Ia juga mengakui adanya oposisi dan mengizinkan rakyat berserikat. Ia juga menjanjikan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat, mengingat saat itu kemiskinan masih menjangkiti penduduk Guinea Ekuatorial.

Selain itu, ia akan menjalin kembali hubungan dengan Barat yang putus ketika pamannya berkuasa. Investasi asing dibuka, dan tahanan-tahanan politik dibebaskan.

Amendemen konstitusi dilakukan dan Obiang mengesahkannya pada 1982. Ketika pemilu di tahun yang sama, ia menjadi calon tunggal dan terpilih untuk masa jabatan kedua selama tujuh tahun ke depan. Obiang kembali terpilih sebagai calon tunggal pada 1989 dan sejak kali ini, banyak pihak yang berpikir bahwa pemilihan presiden Guinea Ekuatorial diwarnai banyak kecurangan.

Kepemimpinannya yang awalnya disambut dengan suka cita berubah menjadi teror dan ketakutan bagi masyarakat, terutama dalam dua dasawarsa terakhir.

Partainya, Partai Demokrasi Guinea Ekuatorial (PDGE) terus mendominasi pemerintahan. Meskipun oposisi dilegalkan oleh undang-undang pada 1992, namun kekuasaan PDGE masih mengakar kuat dan Obiang terus diangkat sebagai presiden untuk pemilihan presiden berikutnya.

Tak jauh berbeda dari pamannya, Obiang juga melakukan politik identitas dengan mengutamakan etnis Fang, sebagai mayoritas di negaranya. Berbagai jabatan pemerintahan mulai tingkat distrik selalu didominasi oleh etnis tersebut.

Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah hal biasa pada masa pemerintahannya, terutama sejak minyak dan gas alam ditemukan di Guinea Ekuatorial pada pertengahan 1990an. Sementara banyak perusahaan asing yang melakukan eksplorasi dan pengolahan migas, ia menempatkan keluarganya dalam posisi-posisi penting, baik dalam pemerintahan maupun dalam pengelolaan migas.

Tak mengherankan jika majalah Forbes menyatakan bahwa kekayaan keluarga Obiang mencapai US$600 juta, merupakan angka yang fantastis untuk sebuah keluarga pemimpin negara. Keluarganya dinyatakan sebagai salah satu yang terkaya di dunia. Maka bukan tak mungkin apabila kekayaan migas di Guinea Ekuatorial hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama keluarga Obiang sendiri.

28fernandes-inyt-articlelarge-5c4ba32ac112fe2b157e5973.jpg
28fernandes-inyt-articlelarge-5c4ba32ac112fe2b157e5973.jpg
Imbasnya, pemerintahan negara itu juga menjadi salah satu yang terkorup sedunia. New York Times mencatat bahwa korupsi di negara tersebut merupakan "kleptokrasi yang sempurna". Korupsi di sana sudah cukup untuk mengategorikan Guinea Ekuatorial sebagai negara kriminal.

Sementara keluarga dan orang-orang terdekatnya menikmati kemewahan dari uang negara, antara lain mobil mewah, vila, hingga mengoleksi berbagai karya seni langka dan rumah-rumah mewah di luar negeri, banyak penduduk negerinya yang masih terbelit kemiskinan.

Angka PDB per kapita seolah tak berpengaruh terhadap nasib penduduk Guinea Ekuatorial. Sementara banyak pihak mencatat tingginya pendapatan negara itu, indeks pembangunan manusia di sana hanya menempati peringkat ke-136 dari 187 negara. Persentase penduduk miskin di sana mencapai 66%, yang berarti dua per tiga dari seluruh penduduknya.

Angka kematian bayi, harapan hidup, dan melek huruf Guinea Ekuatorial tak kunjung membaik. Sangat kontras dengan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah yang sukses karena migasnya.

ap-120123113066-5c4ba38baeebe114dd56d422.jpg
ap-120123113066-5c4ba38baeebe114dd56d422.jpg
Masyarakat di wilayah perkotaan, seperti ibu kota Malabo atau Bata memang lebih makmur dan sejahtera, dengan fasilitas yang terjamin. Namun kesejahteraan itu hanya dinikmati tak sampai sepertiga penduduknya. Di wilayah pedesaan, banyak penduduk yang tak memiliki akses terhadap fasilitas pokok, seperti kesehatan, sanitasi, maupun pendidikan.

Wabah penyakit menular jamak ditemukan di desa-desa. Apalagi, fasilitas kesehatan kurang memadai. Ditambah banyak masyarakat yang tidak mendapat akses air bersih yang memadai. Masyarakat banyak yang berpendapatan kurang dari US$2 setiap harinya, menunjukkan bahwa slogan "kesehatan hanya untuk orang kaya" benar-benar nyata di sana.

Bobroknya birokrasi Guinea Ekuatorial juga turut andil dalam berbagai masalah di negeri tersebut. Para pegawai negeri banyak yang menjadi 'alat partai' dan menjadi pelanggeng berkuasanya PDGE hingga saat ini. Tak sampai di situ, banyak para pegawai yang juga hobi menggelapkan uang negara atau dana yang diberikan kepada daerah, menunjukkan leluasanya perilaku koruptif diterapkan di sana.

Kebebasan berdemokrasi di Guinea Ekuatorial pada masa pemerintahan Obiang juga memprihatinkan. Oleh Freedom in the World negara ini disetarakan dengan Turkmenistan, Korea Utara, dan Eritrea dalam kategori "sangat tidak bebas". Bahkan, nilai demokrasi pada masa pemerintahan Macias Nguema dan pemerintahan Obiang idem ditto, berada pada angka 6 dan 7, yang bermakna tidak bebas.

Tak jarang pula, dalam pemerintahannya terjadi pelanggaran hak asasi, seperti penyiksaan terhadap tahanan, hukum tebang-pilih, diskriminasi ras dan wanita, hingga pelarangan pers antipemerintah, termasuk di antaranya berbagai pemaksaan yang dilakukan oleh elite politik untuk mengajak masyarakat supaya memilih Obiang kembali. Yang terbaru, Obiang bahkan menganggap dirinya adalah Tuhan bagi masyarakat Guinea Ekuatorial yang harus didewakan dan dihormati setinggi langit.

5704768220-524634308c-b-5c4ba3106ddcae21990a73d3.jpg
5704768220-524634308c-b-5c4ba3106ddcae21990a73d3.jpg
Baru-baru ini, ia bahkan mengangkat anaknya, Teodoro Nguema sebagai wakil presiden, sebuah tindakan yang sangat tak lazim dilakukan oleh pemimpin suatu negara. Hal ini semakin menegaskan bahwa kroninya akan terus berkuasa di Guinea Ekuatorial, bahkan bila mungkin untuk selamanya. 

Padahal, Teodoro Nguema sendiri harus berurusan dengan hukum di banyak negara, karena melakukan penggelapan pajak dan membangun perusahaan fiktif untuk menumpuk kekayaannya sendiri.

Dari segenap ketidakberesan dalam negeri yang disebabkan oleh tindakan Obiang dan pemerintahannya, tak heran jika ia pantas disebut sebagai seorang 'diktator yang sempurna'. Ia dan kaki tangannya mungkin akan terus berkuasa hingga benar-benar terjadi perubahan besar di Guinea Ekuatorial, dan selama itu pula penduduk negeri mungil tersebut akan terus menderita.

Sumber:
https://en.wikipedia.org/wiki/Human_rights_in_Equatorial_Guinea
https://en.wikipedia.org/wiki/Teodoro_Obiang_Nguema_Mbasogo
https://www.hrw.org/news/2017/01/27/equatorial-guinea-why-poverty-plagues-high-income-nation
https://issafrica.org/about-us/press-releases/equatorial-guineas-web-of-wealth-and-repression
https://www.theguardian.com/world/2017/oct/27/son-of-equatorial-guineas-president-convicted-of-corruption-in-france
https://www.nytimes.com/2017/11/27/opinion/equatorial-guinea-obiang-vice-president-corruption.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun