Afrika merupakan benua yang sarat akan praktik kediktatoran. Hampir seluruh negara di benua tersebut pernah mengalami pemerintahan diktator setidaknya dalam sekali periode pemerintahan. Tak jarang pula, kediktatoran tersebut bertahan hingga kini dengan aparat pemerintahan yang korup, kekerasan politik, dan kebobrokan birokrasinya. Â Keadaan tersebut seolah mewarnai kehidupan politik di Afrika, tak terkecuali di Eritrea.
Eritrea merupakan sebuah negara berdaulat yang ada di kawasan tanduk Afrika (Horn of Africa) dan pantai Laut Merah. Negeri yang muda ini beberapa bulan lalu baru saja menandatangani suatu perjanjian damai dengan bekas "induk"nya, Ethiopia.
Memang, meskipun Eritrea pernah menjadi provinsi dari negeri tertua di Afrika itu, kedua negara tersebut terlibat perang saudara hebat pada 1961-1991 yang berakhir dengan kemerdekaan Eritrea tahun 1993, kemudian dilanjutkan dengan perang berikutnya tahun 1998-2000.Â
Perang yang berkepanjangan membuat ratusan ribu penduduk Eritrea menjadi pengungsi. Tercatat bahwa Eritrea merupakan salah satu sumber utama pengungsi di Afrika. Kini, negara tersebut berada dalam cengkeraman kemiskinan, kelaparan, dan di ambang menjadi negara gagal.
Sistem pemerintahan di Eritrea adalah negara kesatuan, berdasarkan pada satu partai berkuasa. Dikutip dari CIA World Factbook (2013), tidak ada pemilihan umum yang diadakan di sana sejak kemerdekaannya (1993). Front Rakyat untuk Demokrasi dan Keadilan/People's Front for Democracy and Justice (PFDJ) merupakan satu-satunya partai politik dan diakui sebagai partai negara.Â
Tak ada organisasi politik lain yang boleh didirikan dan menjadi anggota dewan nasional Eritrea. Sistem politik partai tunggal juga berimbas pada siklus kepemimpinan. Isaias Afwerki, sang presiden, sudah menduduki jabatannya sejak kemerdekaan tahun 1993.
Kepemimpinannya yang otoriter, koruptif, dan sarat akan penganiayaan HAM membuatnya disejajarkan dengan Bashar Al-Assad (presiden Suriah), Muammar Al Khaddafi (mantan pemimpin Libya), bahkan Kim Jong-Il (bekas pemimpin Korea Utara).
Berbagai kasus pelanggaran HAM dinyatakan telah dilakukan oleh pemerintahan Isaias Afwerki, kebanyakan di antaranya berakhir dengan penculikan atau penghilangan korban.
Hal ini menjadi semakin pelik karena banyak organisasi kemanusiaan internasional, baik dari kawasan Afrika maupun dari kawasan lainnya yang tidak diizinkan memantau situasi dan kondisi HAM di negara tersebut. Maka tak heran bila negara ini dijuluki sebagai 'Korea Utara di Afrika'.
Hal yang semakin membuat julukan tersebut relevan adalah masalah kebebasan pers dan kehidupan berdemokrasi. Kata 'demokrasi' seolah hilang dalam kehidupan masyarakat setempat.
Seluruh kegiatan yang berhubungan dengan organisasi massa dan politik dilarang oleh undang-undang. Kegiatan semacam itu  seringkali ditindak para aparat keamanan dengan kekerasan, dengan dalih "mengancam pemerintahan negara" atau "melakukan tindakan subversif".Â
Selain itu, kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum juga dilarang oleh pemerintah. Guna menembus 'tembok negara', sebagian penduduk yang tinggal di pedalaman membuat stasiun radio amatir mereka sendiri. Para gerilyawan pemberontak antipemerintah secara sporadis membuat jaringan komunikasi rahasia. Dengan cara tersebut, penduduk dapat memperoleh berita dari dunia luar, sesuatu yang amat terbatas di negeri mereka.
Kebebasan pers di Eritrea juga tak luput dari sorotan dunia internasional. Di Eritrea hanya ada perusahaan media milik negara, yang setiap harinya menyiarkan informasi hanya dari dalam negeri.
Setiap peredaran media asing sangat diawasi oleh negara, bahkan ada larangan untuk pendirian perusahaan media swasta. Reporters Without Borders memberi Eritrea peringkat terbawah dari 180 negara dalam hal kebebasan pers dan atmosfer media. Dalam indeks kebebasan pers, Eritrea merupakan negara kedua dengan pers yang paling terkekang, di bawah Korea Utara.Â
Sepanjang lima tahun terakhir, terjadi penangkapan dan penggerebekan kegiatan beragama yang dianggap tidak diakui oleh pemerintah. Masyarakat muslim dan Yahudi di Eritrea merupakan kelompok yang paling sering menjadi korban persekusi pemerintah. Ribuan penduduk muslim dan Yahudi sudah ditangkap dan dihukum tanpa diadili.
Eritrea merupakan salah satu negara paling represif di dunia. Tindakan pelanggaran hukum selalu berakhir dengan penganiayaan oleh aparat pemerintah. Hal ini membuat banyak warga Eritrea yang kabur dari negaranya dan mencari suaka di negara lain, terutama di Eropa.Â
Setiap tahunnya, Eritrea kehilangan ribuan warganya yang kabur ke luar negeri, terutama untuk menghindari tindak kekerasan aparat, kewajiban wajib militer, dan memperoleh kehidupan berdemokrasi yang lebih layak.
Selain itu, jeratan kemiskinan juga mendorong mereka untuk mencari negara yang lebih baik. Tak jauh berbeda dengan Korea Utara, yang kerap ditinggalkan penduduknya secara diam-diam untuk mencari kebebasan di luar negeri.
Sistem pemerintahan Eritrea yang menindas demokrasi tentu irelevan dengan keadaan dunia saat ini, yang menjunjung nilai-nilai demokrasi, modernisasi, dan globalisasi. Sikap pemerintah Eritrea yang masih mempertahankan kediktatoran akan membuat negara itu semakin memburuk.Â
Bukan tidak mungkin, meskipun kontrol pemerintah teramat ketat, akan terjadi konflik antara penduduk yang menginginkan kebebasan dengan pemerintah yang kukuh dengan prinsip politiknya. Yang terburuk, ke depannya, Eritrea bisa saja terjerumus dalam kondisi negara gagal, ketika negara tak mampu memberikan solusi akan masalah yang terjadi di wilayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H