Beberapa tahun terakhir, berita-berita mengenai Afrika, baik di media cetak maupun daring kerap bernada optimisme. Optimisme tersebut menjadi pertanda bahwa negara-negara di Afrika sedang bergerak menuju kemajuan dalam berbagai bidang.
Hal ini tentu kontras dibanding dua-tiga dekade sebelumnya. Kala itu, Afrika identik dengan kemelaratan ekstrem, kelaparan, peperangan (baik antarsuku maupun antarnegara), kudeta berdarah, wabah penyakit, dan berbagai 'hal buruk' lainnya, sebagaimana terjadi di Rwanda.
Rwanda merupakan negara yang berkaitan yang erat dengan sejarah kelam Afrika. Pada tahun 1990-1994, terjadi perang saudara yang diikuti dengan pembunuhan masal yang melibatkan dua suku besar yang mendominasi, Tutsi dan Hutu.
Lebih dari 500.000 masyarakat Tutsi dan Hutu moderat harus kehilangan nyawa mereka di tangan anggota suku Hutu radikal. Banyak pula di antara anggota suku tersebut yang menjadi anggota organisasi ekstremis untuk meneror masyarakat Tutsi.
Akibat perang saudara dan genosida tersebut, Rwanda harus kehilangan seperenam penduduknya. Mayoritas di antaranya melarikan diri ke negara-negara tetangga dan menjadi pengungsi, di antaranya Republik Demokrasi Kongo, Kenya, dan Uganda.
Perang saudara itu juga membuat perekonomian Rwanda lumpuh total. Pasar-pasar tutup, sebagaimana pertokoan dan industri. Perkebunan kopi dan teh, dua komoditas unggulan Rwanda di pasar dunia juga mengalami kemandekan akibat perang saudara.
Praktis, perekonomian Rwanda sepanjang dekade '90an mengalami destruksi dan stagnasi. Bahkan, pertumbuhan ekonomi saat itu berada di angka negatif.
Kemiskinan dan kelaparan merebak. Fasilitas kesehatan yang belum sepenuhnya pulih tak mampu berbuat banyak dalam membantu penduduk Rwanda yang membutuhkan. Akibatnya, wabah penyakit seperti malaria, kolera, dan diare tak tertangani sehingga banyak warga yang menjadi korban.
Perang saudara Rwanda usai setelah kedua pihak utama yang berseteru, Front Patriotik Rwanda (Rwandan Patriotic Front)/RPF pimpinan Paul Kagame dan Angkatan Bersenjata pimpinan Thoneste Bagosora menandatangani perjanjian damai di Arusha. RPF yang berhasil memenangkan pertempuran harus memulihkan kembali kondisi Rwanda yang porak-poranda pascaperang.Â
Pasteur Bizimungu, seorang pentolan RPF diangkat menjadi presiden secara aklamasi, dengan Paul Kagame sebagai wakilnya. Namun, pemerintahan baru pimpinan Bizimungu ternyata korup dan tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah negara.
Setelah terjadi sengketa dan perseteruan dalam pembentukan kabinet dengan sang wakil, Bizimungu akhirnya mengundurkan diri. Sesuai konstitusi, maka Kagame menggantikan Bizimungu sebagai presiden.