Mohon tunggu...
Bustomi Menggugat
Bustomi Menggugat Mohon Tunggu... -

Senang belajar hal baru. Senang traveling, membaca dan menulis. Biasanya diundang sebagai 'tukang ngoceh' terkait agama, demokrasi dan kebangsaan. Contact: akubisa_tommyheaven@yahoo.com (Tim AKU BISA). Sedang belajar menggagas konsep motivasi #SalamAKUBISA :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ganyang atau Gandeng Malaysia?

23 Juni 2012   18:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:37 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ganyang atau Gandeng Malaysia?

Beberapa hari ini kita terusik oleh berita mengenai “klaim” Malaysia atas budaya lokal Indonesia untuk kesekian kalinya. Seolah negeri Jiran itu tak hentinya menabuh genderang “keramaian” bangsa ini. “Klaim” terakhir yang dilakukan oleh negara tujuan ekspor TKI tersebut adalah atas Tari Tor-tor dan alat musik Gondang Sambilan dari Mandailing Sumatera Utara sebagaimana dilansir situs berita Bernama (Kompas, 16/6). Sontak ‘ulah’ ini menjadi “kehebohan” dimana-mana. Mulai dari media cetak maupun elektronik bahkan jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter turut “heboh” dengan kecaman dan “rasa marah” yang membuncah dari segenap anak negeri yang merasa terusik rasa nasionalismenya. Ada yang berunjuk rasa, ada yang membuat persatuan Ganyang Malaysia dan sejenisnya. Bahkan jika negeri asal Siti Nurhaliza itu menyebut kita “indon”, bangsa ini memiliki julukan sebagai “Malingsia”. Sebuah ungkapan yang menunjukkan kekesalan atau bahkan kemarahan tingkat tinggi yang sudah muak dengan adanya 'klaim' demi 'klaim' negeri Petronas itu yang bahkan sudah dimulai sejak puluhan tahun silam.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pada tahun 1957 lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku memiliki kemiripan dengan lagu Terang Bulan. Kemudian pada tahun 2000 ada gamelan Jawa dan lagu Injit-Injit Semut dari Jambi, berlanjut pada 2005 klaim Badik Tumbuk Lada dari Riau, 2006 batik perang asal Yogya dan angklung asal Jawa Barat. Pada tahun 2007 lebih banyak lagi yakni wayang kulit, rending naskah kuno dan yang sempat heboh lagu Rasa Sayange dari Maluku. Pada 2008 silam, ada Reog Ponorogo yang begitu heboh bahkan tidak hanya itu saja, ada 'klaim' atas kain Ulos Sumatera Utara, keris Jawa dan tari Pendet asal Bali (Kompas, 31/08/09). Jika demikian bagaimana kita melihat kasus ini?

Ada baiknya kita melihat bahwa masalah plagiarisme dan ‘klaim’ kita juga harus banyak introspeksi diri. Untuk kasus di bidang musik misalnya kita bisa membaca ulasan menarik dari Remy Sylado, seorang pengamat musik (Kompas, 06/09/09). Dimana secara singkat dijelaskan bahwa bangsa ini juga “raja”nya meng'klaim'. Selain itu, Malaysia “pandai” memainkan marketing dunia pariwisatanya karena dengan memanfaatkan sentuhan emosi yang “jitu” tersebut Malaysia berhasil meningkatkan kunjungan wisatawan asing ke negaranya (Kompas, 05/09/09) dan hal itu bisa kita lihat dari trafik kunjungan wisatawan asing yang berkunjung ke negeri bekas jajahan Inggris tersebut yang meningkat setelah muncul kasus 'klaim' di media. Namun yang menjadi fokus penulis dalam hal ini bukanlah ulasan dari harian Kompas tersebut, melainkan bagaimana kita melihat sisi tumbuhnya nasionalisme dan sense of belonging kita justru setelah “disadarkan” oleh negara tetangga kita ini. Bagaimana tidak, setelah adanya “klaim” kemudian muncul perbincangan urgensi nasionalisme bangsa baik di media cetak dan elektronik. Bahkan generasi muda yang sedang “keranjingan” Facebook dan Twitter biasanya hanya melakukan perbincangan kurang esensial, berubah drastis menjadi pejuang nasionalisme (dadakan) dengan memposting tulisan, membuat grup serta hingga muncul sumpah serapah yang ditujukan pada tetangga serumpun itu.

Di sisi lain, lembaga terkait milik pemerintah yang terkesan “diam” dan tidak melakukan usaha inventarisasi budaya sebagai tugas dan amanahnya, juga ikut “tersadar” dengan mulainya aktivitas untuk melakukan inventarisasi budaya seperti perintah Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, pada Selasa (19/6) lalu. Artinya terlepas dari perdebatan nasionalis atau tidak, maka kita ini sebenarnya “dibangunkan” sense of belonging-nya oleh tetangga kita itu. Namun tradisi kita yang terkesan hanya “panas” sesaat juga akan kambuh. Semangat di awal sirna kemudian. Apalagi banyak yang berkoar-koar itu bukanlah merupakan “penikmat” produk lokal. Ini kalau mau menilai nasionalisme dari penggunaan produk lokal. Oleh karenanya, dengan kemudian melontarkan kembali jargon “Ganyang Malaysia” menjadi kurang relevan untuk konteks ini. Jika kita mengatakan bahwa tari Tor-tor, lagu-lagu daerah dan berbagai kesenian luhur budaya bangsa adalah milik kita sebagai bangsa, apa sumbangsih nyata kita terkait isu yang tengah ‘panas’ ini? Apakah dengan memenuhi tenant McD, KFC atau J-Co atau tenant yang lekat dengan budaya asing lainnya? Kapan warteg, PKL dan para penjual di pinggir lainnya itu ramai kita beli atau berapa banyak dari kita yang memiliki ketertarikan akan budaya nasional kita? Kita justru lebih sibuk dan senang dengan hal-hal yang berbau asing dan sontak munculnya “klaim” menyeruakkan kesadaran hingga membuat telinga kita “panas”. Ironisnya, “kepanasan” itu hanya sesaat. Ini pun jika menilai nasionalisme dari aspek kesenangan terhadap sesuatu yang bersifat fisik. Meskipun menurut penulis perwujudan nasionalisme tidaklah hanya demikian bahkan untuk konteks kekinian dimana kapitalisme sedang menggurita. Perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport, Newmont dan lainnya “mengeruk” kekayaan SDA kita. Mengapa aksi elemen bangsa tidak masif dan sporadis seperti yang isu ‘klaim’? Padahal ‘pengerukan’ kekayaan SDA lebih esensial dan vital. Sekarang mari kita lihat seberapa kita konsisten dengan apa-apa yang melekat dengan keseharian kita. Berapa banyak dari kita yang bangga karena bisa menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia yang baik dan benar? Mengapa pula sebagian dari kita seolah tak mampu melepaskan diri dari produk asing? Kita bangga bahkan ikhlas menghabiskan pendapatan kita untuk produk-produk negara lain sehingga kampanye “Cintailah Produk-produk Indonesia” terkesan lip service semata. Ironis.

Dus, munculnya ‘klaim” dari negara tetangga ini seharusnya mampu menyentak kesadaran kita bersama bahwa ada banyak hal yang perlu dibenahi pada diri kita sebagai bangsa. Kesadaran akan ‘hak milik’ harusnya mengurat nadi dalam keseharian elemen bangsa bukan karena adanya ‘klaim’. Nasionalisme mewujud dalam laku keseharian kita. Inventarisasi unsur budaya bangsa adalah tugas dan tanggung bersama khususnya pemerintah dan tidak dilakukan hanya karena publikasi isu. Paling mendasar, penanaman rasa memiliki dan kebanggaan atas kekayaan budaya bangsa dilakukan melalui sistem pendidikan yang komprehensif-holistik oleh pemerintah bersinergi dengan publik. Jika mampu kita lakukan, maka ke depan kita tak harus lagi mendengar jargon ‘Ganyang Malaysia’ karena globalisasi meniscayakan tiap bangsa di dunia untuk saling mengenal dan bekerja sama tanpa adanya ‘klaim’ atas apa yang kita kenal sebagai budaya. Semoga!


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun