"Makhluk-makhluk di luar memandang dari babi ke manusia, dan dari manusia ke babi lagi; tetapi mustahil mengatakan mana yang satu dan mana yang lainnya."
Animal Farm berkisah tentang kehidupan para binatang di peternakan yang memiliki keinginan untuk bebas dari tirani manusia. Binatang-binatang ini --babi, anjing, kuda, keledai, ayam, tikus, kambing, biri-biri, gagak-- ingin menciptakan dunia di mana mereka-lah yang akan berkuasa atas diri mereka sendiri. Mereka ingin lepas atas perbudakan yang dilakukan manusia.Â
"Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengonsumsi tanpa menghasilkan. Ia tidak memberi susu, ia tidak bertelur, ia terlalu lemah menarik bajak, ia tidak bisa lari cepat untuk menangkap terwelu. Namun, ia adalah penguasa atas semua binatang. Manusia menyuruh binatang bekerja, manusia mengembalikan seminimal mungkin hanya untuk menjaga supaya binatang tidak kelaparan, sisanya untuk manusia sendiri. Tenaga kami untuk membajak tanah, kotoran kami untuk menyuburkan tanah, tetapi tak satu pun dari kami memiliki tanah seluas kulit kami." -George Orwell, Animal Farm
Akhirnya pada suatu malam para binatang di peternakan berkumpul menyusun rencana untuk melakukan pemberontakan kepada Pak Jones, pemilik peternakan.
'Rapat penting' itu dipimpin oleh Major, seekor babi yang dihormati oleh seluruh binatang. Syahdan, pemberontakan benar-benar terealisasi. Pak Jones berhasil dipukul mundur dari peternakan. Tidak ada lagi manusia di peternakan mereka. Kekuasaan digantikan oleh Snowball dan Napoleon, dua babi cerdas.Â
Pengaturan mulai disusun demi kehidupan peternakan yang teratur. Prinsip-prinsip kehidupan yang mereka sebut sebagai "Prinsip Binatangisme" digaungkan kepada seluruh penghuni peternakan. Prinsip Binatangisme ini tertuang dalam Tujuh Perintah, isinya sebagai berikut:
- Apa pun yang berjalan dengan dua kaki adalah musuh.
- Apa pun yang berjalan dengan empat kaki dan bersayap adalah teman.
- Tak seekor binatang pun boleh mengenakan pakaian.
- Tak seekor binatang pun boleh tidur di ranjang.
- Tak seekor binatang pun boleh minum alkohol.
- Tak seekor binatang pun boleh membunuh binatang lain.
- Semua binatang setara.
Pada mulanya kehidupan berjalan normal, para binatang berbahagia karena berhasil merdeka atas perbudakan manusia. Snowball dan Napoleon sangat dihormati sebagai pemimpin. Setiap perkataan yang keluar dari mulut mereka berarti itulah tindakan yang paling tepat dilakukan.Â
Kecerdasan keduanya tidak diragukan lagi. Hanya golongan babi yang dianggap paling cerdas di antara para binatang; mereka pandai membaca, berpikir, dan menganalisis permasalahan hingga menemukan jalan keluar yang tepat.Â
Singkatnya, tak usah ragu atau risau bahkan berpikir dua kali untuk melaksanakan perintah Snowball atau pun Napoleon, karena titah yang keluar dari mereka pastilah hasil berpikir panjang dengan penuh pertimbangan.Â
Namun apalah mau dikata, kekuasaan ternyata begitu memabukkan. Sistem demokrasi yang mulanya dijunjung tinggi di seluruh peternakan akhirnya kembali menjadi tirani. Sifat serakah salah seorang pemimpin membuatnya dengan licik menyingkirkan rekannya.
Tak ada lagi dualisme kepemimpinan. Semua berjalan atas kehendaknya, bersikap manipulatif dan memberi ilusi kepada seluruh binatang bahwa bagaimana pun kerasnya kehidupan mereka, tidak ada yang lebih melegakan daripada fakta bahwa mereka tidak lagi di bawah kendali manusia.Â
Kenyataan itu membuat para binatang kembali menjadi tenang dan tidak lagi memusingkan berbagai pergulatan yang bercokol dalam kepala.Â
***
Animal Farm mengisahkan kekuasaan lewat penokohan binatang. Novel ini merupakan alegori politik yang sangat dalam maknanya. Orwell dengan brilian melukiskan bagaimana nafsu atas kekuasaan dapat menodai nilai-nilai yang sebelumnya dipegang bersama.
Novel ini sebenarnya merupakan satire atas totaliterisme Uni Soviet yang ditulis Orwell di masa perang dunia II. Novel ini juga telah mendapat beberapa penghargaan, seperti novela terbaik dalam Retro Hugo Award (1996) dan Promentheus Hall of Fame Award (2011).
Animal Farm menggambarkan tentang bagaimana kekuasaan dan pengetahuan yang lebih atas sesuatu bisa digunakan untuk mengendalikan orang (atau binatang) lain dengan permainan terminologi; memanfaatkan ketidaktahuan orang lain.
Tentang bagaimana perbudakan masih dilanggengkan meski dibarengi dengan ilusi kemerdekaan. Tentang bagaimana liciknya pemimpin yang culas nan manipulatif. Tentang bagaimana para pengawal yang hanya tunduk pada titah, tidak mengizinkan kepala mereka mencerna perintah.
Novel ini mengingatkan saya dengan salah satu cerpen Eka Kurniawan yang berjudul "Tak Ada yang Gila di Kota Ini". Cerpen yang juga diadaptasi menjadi film pendek ini menggambarkan bagaimana relasi kuasa bekerja.Â
Saya pernah menulis tentang ini di sini setelah ikut nobar online tahun lalu. Menurut Wregas, sang sutradara, relasi kuasa akan selalu ada karena bumi ini terbatas.Â
Beberapa dari kita mungkin merasa berkuasa atas sesuatu, namun benarkah demikian? Benarkah tidak ada kuasa yang lebih di atas kita? Atau sebenarnya kita-lah pihak yang "dikuasai"?
Bacalah kawan, karena, jangan-jangan ada kita di salah satu tokohnya? Entah menjadi budak yang patuh, pengamat yang tahu tapi hanya diam, pengawal "buta" yang hanya turut pada titah, jubir yang mengandalkan permainan kata, pemimpin culas nan manipulatif, atau bahkan tidak peduli dan memilih pergi.Â
Secara keseluruhan, novel ini sangat menarik. Bukunya tidak tebal, hanya 142 halaman. Beberapa orang bahkan mungkin bisa menghabiskan kisahnya dalam sekali duduk. Percayalah, tidak melulu buku non-fiksi yang bisa menggambarkan realitas sosial di sekitar kita.
Cheers!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H