Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Animal Farm, Alegori Politik Lewat Penokohan Binatang

4 Januari 2022   07:33 Diperbarui: 4 Januari 2022   07:35 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Animal Farm oleh George Orwell (dokpri)

***

Animal Farm mengisahkan kekuasaan lewat penokohan binatang. Novel ini merupakan alegori politik yang sangat dalam maknanya. Orwell dengan brilian melukiskan bagaimana nafsu atas kekuasaan dapat menodai nilai-nilai yang sebelumnya dipegang bersama.

Novel ini sebenarnya merupakan satire atas totaliterisme Uni Soviet yang ditulis Orwell di masa perang dunia II. Novel ini juga telah mendapat beberapa penghargaan, seperti novela terbaik dalam Retro Hugo Award (1996) dan Promentheus Hall of Fame Award (2011).

Animal Farm menggambarkan tentang bagaimana kekuasaan dan pengetahuan yang lebih atas sesuatu bisa digunakan untuk mengendalikan orang (atau binatang) lain dengan permainan terminologi; memanfaatkan ketidaktahuan orang lain.

Tentang bagaimana perbudakan masih dilanggengkan meski dibarengi dengan ilusi kemerdekaan. Tentang bagaimana liciknya pemimpin yang culas nan manipulatif. Tentang bagaimana para pengawal yang hanya tunduk pada titah, tidak mengizinkan kepala mereka mencerna perintah.

Novel ini mengingatkan saya dengan salah satu cerpen Eka Kurniawan yang berjudul "Tak Ada yang Gila di Kota Ini". Cerpen yang juga diadaptasi menjadi film pendek ini menggambarkan bagaimana relasi kuasa bekerja. 

Saya pernah menulis tentang ini di sini setelah ikut nobar online tahun lalu. Menurut Wregas, sang sutradara, relasi kuasa akan selalu ada karena bumi ini terbatas. 

Beberapa dari kita mungkin merasa berkuasa atas sesuatu, namun benarkah demikian? Benarkah tidak ada kuasa yang lebih di atas kita? Atau sebenarnya kita-lah pihak yang "dikuasai"?

Bacalah kawan, karena, jangan-jangan ada kita di salah satu tokohnya? Entah menjadi budak yang patuh, pengamat yang tahu tapi hanya diam, pengawal "buta" yang hanya turut pada titah, jubir yang mengandalkan permainan kata, pemimpin culas nan manipulatif, atau bahkan tidak peduli dan memilih pergi. 

Secara keseluruhan, novel ini sangat menarik. Bukunya tidak tebal, hanya 142 halaman. Beberapa orang bahkan mungkin bisa menghabiskan kisahnya dalam sekali duduk. Percayalah, tidak melulu buku non-fiksi yang bisa menggambarkan realitas sosial di sekitar kita.

Cheers!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun