Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hujan, tentang Menerima Segala Kenangan (Meski) Menyakitkan

31 Desember 2021   20:19 Diperbarui: 31 Desember 2021   20:22 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Hujan oleh Tere Liye

Pernahkah kalian merasa sedang berada di titik terendah hidup? Seolah hidup tak hentinya memberi pengalaman menyakitkan, cobaan yang tak jelas juntrungannya, memberi kenangan-kenangan buruk yang tiap kali mengingatnya merasa kesedihan datang kembali, lagi dan lagi seolah menghantui. 

Atau, pernahkah kalian merasa ingin menghapus seluruh kenangan menyakitkan dalam hidup? Menghilangkan segala kejadian pahit di masa lalu yang terus bercokol di dalam memori, menyisakan hanya kenangan indah nan menyenangkan, seolah-olah seluruh kenangan pahit tak pernah terjadi.

Jika ya, maka mari berkenalan sejenak dengan novel Hujan, berlatar kehidupan modern tahun 2042 hingga 2050. Teknologi canggih di zaman ini berkembang pesat. Mulai dari mobil terbang, berbagai rupa robot yang menggantikan peran manusia, hingga teknologi yang dapat menghapus kenangan buruk. Cara kerja teknologi ini yaitu dengan memetakan syaraf-syaraf pasien yang ingin dihapus memorinya, kemudian mengelompokkannya dalam kategori kenangan baik, buruk, dan netral yang ditandai dengan masing-masing warna biru, merah, dan kuning. Di akhir sesi, segala kenangan buruk yang ditandai dengan warna merah akan dihapuskan dari memori dengan teknologi mutakhir. Menyenangkan, bukan? Sampai jumpa, masa lalu kelam! Tidak akan ada lagi kenangan buruk.

Namun, apakah kita betul-betul membutuhkan hal ini?

***

Mengisahkan kehidupan Lail, seorang anak berumur tiga belas tahun yang harus mengalami kejadian pahit di masa kanak-kanaknya. Kedua orang tuanya meninggal dalam bencana alam dahsyat yang terjadi di tahun 2042, yaitu gunung meletus dengan VEI (Volcanic Explosivity Index) berada pada skala 8, skala paling mematikan. Bersamaan dengan itu, juga terjadi gempa bumi yang berkekuatan 10 skala richter, melenyapkan sebagian besar penduduk bumi. Lail pun nyaris menjadi korban dalam peristiwa itu jika tidak diselamatkan oleh Esok, seseorang anak laki-laki berusia dua tahun lebih tua darinya. Esok menarik Lail di anak tangga terakhir pada tangga darurat kereta bawah tanah, sebelum gempa susulan berhasil menimbun penumpang lain yang juga sedang berusaha menaiki tangga tersebut, termasuk ibunya. 

Dari kejadian tersebutlah Esok dan Lail menjadi akrab dan tumbuh bersama di tenda pengungsian selama setahun lebih. Gunung meletus dan gempa bumi berhasil meluluhlantakkan kehidupan di bumi. Bangunan-bangunan hancur, dua benua lenyap diamuk alam. Penduduk bahu membahu untuk memulihkan kondisi, baik fisik maupun psikis.

Waktu berlalu, keduanya beranjak dewasa. Esok diterima di universitas Ibu Kota, menjadi ilmuwan genius dan paling muda. Lail masih duduk di bangku sekolah, mengisi waktu dengan menjadi relawan bersama teman sekamarnya di panti sosial yang bernama Maryam. Keduanya menjadi relawan termuda, mengikuti penugasan demi penugasan di berbagai sektor wilayah. Tidak ada lagi kesedihan atas kehilangan kedua orang tuanya. Ia mengikhlaskan kepergian keduanya dan "membalas dendam" dengan membantu sesama, menjadi relawan, bekerja dalam lengang. Kesibukan berhasil membuatnya melupakan kenangan menyakitkan tersebut, meninggalkannya jauh di belakang. Hingga akhirnya Lail dan Maryam berhasil melanjutkan pendidikan di sekolah keperawatan, dengan berbagai fasilitas teknologi yang tak kalah canggihnya. 

Kehidupan mereka terus berlanjut. Lail kadang masih bersua dengan Esok, paling tidak sekali setahun, hal ini karena Esok sangat sibuk dengan proyeknya di kampus. Meski begitu, pertemuan tersebut sudah lebih dari cukup untuk saling bercerita mengenai kegiatan-kegiatan mereka, juga mengenang kejadian bertahun-tahun lalu dengan mengunjungi trotoar tempat tangga darurat yang sudah tidak difungsikan. Esok selalu datang di saat-saat tidak terduga, ketika Lail masih sibuk berjibaku dengan pikiran tentang apa kira-kira yang dilakukan Esok, tetapi tidak pernah berani menghubunginya di tengah kehidupan dengan teknologi canggih yang sudah ada di mana-mana. Takut mengganggu, begitu katanya.

Dengan segala kontribusi dan pengalamannya di usia muda, lantas mengapa Lail mendatangi Pusat Terapi Syaraf untuk menghilangkan memori buruknya? Apa yang sebenarnya ingin dilupakan oleh Lail? Apa konflik cerita yang sepanjang buku rasanya terus membuat pembaca ini tersenyum? Sampai-sampai bibir menjadi hampir miring dan gigi seperti akan mengering? 

Saya tidak akan bercerita panjang lebar mengenai alurnya, kalian bisa langsung membaca bukunya. Namun ada dua poin yang ingin saya bagikan dari buku ini, sebuah pesan yang saya tangkap setelah membaca keseluruhannya.

#1 Menyikapi Kenangan yang Menyakitkan

Di tengah-tengah alur, Maryam sempat menceritakan kepada Lail kisah raksasa yang sedang patah hati. Alkisah seorang raksasa telah mengalami tragedi yang melukai hatinya. Ia pergi ke tengah laut dan menangis tersedu, memukul-mukul permukaan laut. Ia meraung, menggerung, dan membuat ombak lautan menjadi tinggi. Kekacauan terjadi dimana-mana akibat perbuatannya tersebut. Hingga tiba di hari kesekian, peri laut akhirnya menemui raksasa dan menawarkan sebuah solusi untuk menghilangkan kesedihannya. Si raksasa yang sudah tidak tahan lagi akhirnya menerima tawaran Peri, meskipun dibayar dengan harga yang sangat mahal. Malam itu kesedihan raksasa sempurna menguap dengan cara mengubah raksasa tersebut menjadi batu. Itulah harga mahal yang harus dibayar oleh raksasa.

Saya sendiri menangkap kisah ini sebenarnya hanya sebuah analogi yang ingin disampaikan oleh penulis, bahwa bukan hidup lagi namanya jika kesedihan dihilangkan. Karena sejatinya hidup adalah satu kesatuan antara kesedihan dan kebahagiaan. Jika hanya kebahagiaan terus menerus, maka apa menariknya hidup ini; sama saja seperti batu. Diam dan monoton. Entah perkiraan (bahwa ini analogi) benar atau tidak, setidaknya itulah yang saya tangkap ketika membacanya.

Kawan, sesungguhnya kesedihan itu wajar. Pengalaman-pengalaman pahit yang kita rasakan terajut satu sama lain dengan pengalaman-pengalaman menyenangkan, membentuk satu lembar kain kehidupan. Itulah yang membuat kita hidup; emosi datang silih berganti menghiasi hari-hari. Jika seluruh kenangan pahit kita hilangkan dari memori, ketika kita memaksakan untuk mengingkari perasaan yang tidak kita sukai, "warna" kehidupan kita menjadi kurang menarik. Hidup tak ubahnya hanya seperti sebongkah batu, seperti analogi kisah raksasa di atas.

"Sesungguhnya, bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan."

Demikian salah satu quote menarik yang saya kutip dari buku Hujan. Hal yang bisa kita lakukan atas pengalaman-pengalaman menyakitkan itu adalah dengan menerimanya dan terus melangkah maju. Tidak perlu mengelak, toh itu sudah terjadi. Tidak bisa diubah lagi sekuat apa pun kita menginginkannya.

"Kejadian besar selalu bisa membuat orang cepat dewasa. Mereka tidak bisa menghindar, tidak bisa melawan. Mereka hanya bisa memeluk semua kesedihan."

Ingatlah kawan, bahwa kesedihan tidak abadi, pun dengan kebahagiaan. Keduanya akan datang silih berganti, merajut kain kehidupan kita, juga memberi warna pada hidup kita. Satu-satunya yang abadi adalah pergantian itu sendiri. Jadi, terimalah segala kenangan menyakitkan, tak usah mengingkarinya. Toh, seperti kalimat lama, waktu akan menyembuhkan (#asoooy!).

#2 Tentang Teknologi

Kalau yang ini hanya sekadar refleksi saya sebenarnya. Ketika memasuki bagian akhir cerita, saya menangkap satu hal; bahwa seberapa pun canggihnya teknologi, tetap saja ia adalah sebuah benda. Tanpa perasaan, tanpa emosi. 

Teknologi banyak membantu, tapi tetap saja pasti ada kurangnya. Seperti ketika Esok yang tidak kuasa mengakses masuk ke Pusat Terapi Saraf, seberapa genting pun urusannya. Lain cerita mungkin bila yang menghadapinya adalah manusia, maka setidaknya ada rasa kasihan pada Esok. Namun sebaliknya, teknologi tidak bisa memberi belas kasihan, ia tidak bisa membaca emosi Esok, apalagi bersimpati terhadapnya. Ya, karena kembali lagi, teknologi cuma benda.

Dengan menyadari ini, setidaknya kita bisa menerapkan pola pikir serupa pada aspek lain. Misalnya, tidak jarang kita temukan orang-orang merasa jengkel dengan kehadiran smartphone, karena menganggap benda pipih ini semakin menjauhkan manusia dengan orang-orang di sekitarnya. Awalnya mungkin menyenangkan, juga memudahkan tentu saja. Namun seiring berjalannya waktu, satu per satu orang-orang terdekatnya tidak lagi menikmati momen yang dilalui bersama, sibuk dengan aktivitas masing-masing di layar gawai padahal mungkin hanya scroll-scroll tidak jelas di linimasa media sosialnya. 

Kembali lagi, teknologi cuma benda. Yang memiliki kendali atas benda ini tentu saja manusia itu sendiri. Bukankah sangat aneh merasa jengkel (bahkan marah) pada benda mati? Yang harus dievaluasi ya manusia-nya. Apakah dengan mengomunikasikan bersama-sama, membuat kesepakatan untuk tidak bermain hape di waktu-waktu tertentu, misalnya, dan lain sebagainya. Perkembangan ini tidak bisa dihindari, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan yaitu dengan pengendalian diri, atau sebaliknya, kitalah yang akan dikendalikan oleh benda mati itu.

***

Sebenarnya masih banyak yang bisa ditangkap dari cerita dalam novel ini. Topiknya sangat menarik, banyak membahas krisis dunia, khususnya pada iklim. Tentang bagaimana keegoisan segelintir orang berdampak besar pada banyak orang. Tentang pentingnya kesabaran untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan yang menguntungkan dalam jangka pendek namun menyengsarakan dalam jangka panjang. Tentang persahabatan, cinta, perpisahan, dan --tentu saja, sesuai judulnya-- tentang hujan.

Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian, terlebih beberapa jam lagi kita akan membuka lembaran di tahun yang baru. Marilah menerima segala kenangan, baik maupun buruk, yang terjadi dalam hidup. Bagaimana pun, kenangan-kenangan itulah yang membentuk kita menjadi diri kita yang sekarang ini, menjadi lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih siap.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal, apakah kita betul-betul butuh untuk menghapus ingatan? Saya pikir pembaca sekalian sudah punya jawaban masing-masing.

Cheers!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun