Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hujan, tentang Menerima Segala Kenangan (Meski) Menyakitkan

31 Desember 2021   20:19 Diperbarui: 31 Desember 2021   20:22 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak akan bercerita panjang lebar mengenai alurnya, kalian bisa langsung membaca bukunya. Namun ada dua poin yang ingin saya bagikan dari buku ini, sebuah pesan yang saya tangkap setelah membaca keseluruhannya.

#1 Menyikapi Kenangan yang Menyakitkan

Di tengah-tengah alur, Maryam sempat menceritakan kepada Lail kisah raksasa yang sedang patah hati. Alkisah seorang raksasa telah mengalami tragedi yang melukai hatinya. Ia pergi ke tengah laut dan menangis tersedu, memukul-mukul permukaan laut. Ia meraung, menggerung, dan membuat ombak lautan menjadi tinggi. Kekacauan terjadi dimana-mana akibat perbuatannya tersebut. Hingga tiba di hari kesekian, peri laut akhirnya menemui raksasa dan menawarkan sebuah solusi untuk menghilangkan kesedihannya. Si raksasa yang sudah tidak tahan lagi akhirnya menerima tawaran Peri, meskipun dibayar dengan harga yang sangat mahal. Malam itu kesedihan raksasa sempurna menguap dengan cara mengubah raksasa tersebut menjadi batu. Itulah harga mahal yang harus dibayar oleh raksasa.

Saya sendiri menangkap kisah ini sebenarnya hanya sebuah analogi yang ingin disampaikan oleh penulis, bahwa bukan hidup lagi namanya jika kesedihan dihilangkan. Karena sejatinya hidup adalah satu kesatuan antara kesedihan dan kebahagiaan. Jika hanya kebahagiaan terus menerus, maka apa menariknya hidup ini; sama saja seperti batu. Diam dan monoton. Entah perkiraan (bahwa ini analogi) benar atau tidak, setidaknya itulah yang saya tangkap ketika membacanya.

Kawan, sesungguhnya kesedihan itu wajar. Pengalaman-pengalaman pahit yang kita rasakan terajut satu sama lain dengan pengalaman-pengalaman menyenangkan, membentuk satu lembar kain kehidupan. Itulah yang membuat kita hidup; emosi datang silih berganti menghiasi hari-hari. Jika seluruh kenangan pahit kita hilangkan dari memori, ketika kita memaksakan untuk mengingkari perasaan yang tidak kita sukai, "warna" kehidupan kita menjadi kurang menarik. Hidup tak ubahnya hanya seperti sebongkah batu, seperti analogi kisah raksasa di atas.

"Sesungguhnya, bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan."

Demikian salah satu quote menarik yang saya kutip dari buku Hujan. Hal yang bisa kita lakukan atas pengalaman-pengalaman menyakitkan itu adalah dengan menerimanya dan terus melangkah maju. Tidak perlu mengelak, toh itu sudah terjadi. Tidak bisa diubah lagi sekuat apa pun kita menginginkannya.

"Kejadian besar selalu bisa membuat orang cepat dewasa. Mereka tidak bisa menghindar, tidak bisa melawan. Mereka hanya bisa memeluk semua kesedihan."

Ingatlah kawan, bahwa kesedihan tidak abadi, pun dengan kebahagiaan. Keduanya akan datang silih berganti, merajut kain kehidupan kita, juga memberi warna pada hidup kita. Satu-satunya yang abadi adalah pergantian itu sendiri. Jadi, terimalah segala kenangan menyakitkan, tak usah mengingkarinya. Toh, seperti kalimat lama, waktu akan menyembuhkan (#asoooy!).

#2 Tentang Teknologi

Kalau yang ini hanya sekadar refleksi saya sebenarnya. Ketika memasuki bagian akhir cerita, saya menangkap satu hal; bahwa seberapa pun canggihnya teknologi, tetap saja ia adalah sebuah benda. Tanpa perasaan, tanpa emosi. 

Teknologi banyak membantu, tapi tetap saja pasti ada kurangnya. Seperti ketika Esok yang tidak kuasa mengakses masuk ke Pusat Terapi Saraf, seberapa genting pun urusannya. Lain cerita mungkin bila yang menghadapinya adalah manusia, maka setidaknya ada rasa kasihan pada Esok. Namun sebaliknya, teknologi tidak bisa memberi belas kasihan, ia tidak bisa membaca emosi Esok, apalagi bersimpati terhadapnya. Ya, karena kembali lagi, teknologi cuma benda.

Dengan menyadari ini, setidaknya kita bisa menerapkan pola pikir serupa pada aspek lain. Misalnya, tidak jarang kita temukan orang-orang merasa jengkel dengan kehadiran smartphone, karena menganggap benda pipih ini semakin menjauhkan manusia dengan orang-orang di sekitarnya. Awalnya mungkin menyenangkan, juga memudahkan tentu saja. Namun seiring berjalannya waktu, satu per satu orang-orang terdekatnya tidak lagi menikmati momen yang dilalui bersama, sibuk dengan aktivitas masing-masing di layar gawai padahal mungkin hanya scroll-scroll tidak jelas di linimasa media sosialnya. 

Kembali lagi, teknologi cuma benda. Yang memiliki kendali atas benda ini tentu saja manusia itu sendiri. Bukankah sangat aneh merasa jengkel (bahkan marah) pada benda mati? Yang harus dievaluasi ya manusia-nya. Apakah dengan mengomunikasikan bersama-sama, membuat kesepakatan untuk tidak bermain hape di waktu-waktu tertentu, misalnya, dan lain sebagainya. Perkembangan ini tidak bisa dihindari, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan yaitu dengan pengendalian diri, atau sebaliknya, kitalah yang akan dikendalikan oleh benda mati itu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun