Pak Samad jalannya cukup cepat, diikuti Dija yang entah kerasukan energi darimana bisa hampir menyamai kecepatan langkah pak Samad. Duo Rage dan Asrullah adalah yang paling berisik, entah dengan nyanyian ataupun lawakan. Well, mereka-lah komedian dan entertainer selama pendakian ini. Seru!Â
Adapun Haksar adalah yang paling pendiam. Mungkin bisa dihitung jari jumlah kata yang diucapkannya selama pendakian, ckckck. Sementara Bagas dan Sodik adalah yang paling santuy. Dua sejoli dari fakultas teknik ini sepertinya sangat menikmati perjalanan. Saking menikmati, jalannya seringkali terpisah jauh dari rombongan. Ketika kami singgah sebentar, mereka baru akan tiba beberapa menit setelahnya, dengan lagu-lagu dari Dewa 19 yang mengudara dari speaker ponselnya. Asoooy~
Saya, Anggun, dan Vera masuk golongan moderat saja xDÂ
Pada satu jam pertama pendakian, tubuh saya mulai lelah, nafas ngos-ngosan, dan kaki makin berat. Inilah konsekuensi ketika kamu jarang olahraga lalu tiba-tiba melakukan kegiatan berat. Sepertinya tubuh saya kaget karena tiba-tiba dipaksa bekerja keras hahaha.
Sempat saya menanyakan ke istri pak Samad apa masih jauh atau sudah dekat, karena sepertinya kita sudah berjalan lama sekali. Akhirnya dijawab oleh si ibu bahwa perjalanan belum sampai setengah, ini masih seperempat. SEPEREMPAT! Subhanallah, saya hampir putus asa rasanya. Saya menyemangati diri. Yok bisa yok! Sampai diatas pasti capeknya terbayar, pokok e yakin saja!Â
Perjalanan pun dilanjutkan. Kiri kanan cuma ada pohon. Kadang bunga. Tak lupa suara-suara serangga khas belantara. Suasananya sejuk dan damai. Tapi sekaligus juga monoton.
Hingga pada pertengahan perjalanan, tibalah kami di medan yang cukup curam, tapi mau tidak mau harus dilewati. Rasanya melelahkan. Tapi apa yang kami lihat setelah berada di atasnya adalah pemandangan yang (masyaallah) indah sekali! Rasa capek kami seperti hilang seketika, kendati pun kami masih setengah perjalanan.Â
Jika biasanya untuk melihat gunung kita (setidaknya) perlu mendongak, kali ini tidak. Karena gunung benar-benar di hadapan kami. Gunung seperti berjajar rapi, bersekongkol untuk memukau mata kami. Masyaallah.Â
Akhirnya kami singgah beristirahat (lagi). Sepertinya inilah tempat persinggahan kami yang paling lama.Â
Lelah saat mendaki itu pasti.
Keringat yang mengaliri dahi, tak dapat dipungkiri.
Tapi kau punya pilihan, terus mengeluh sampai titik ego tertinggi atau melanjutkan perjalanan bersama kawan yang tak kan pernah meninggalkanmu sendiri.Karena ada yang lebih indah di antara puncak dan lembah.
Seiring udara yang mengayunkan angin, tawa dan haru dalam perjalanan adalah hal yang tak kan pernah tak terceritakan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!