Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang

21 April 2021   17:33 Diperbarui: 21 April 2021   17:43 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki beranak tiga di samping rumah nenekku itu memang jarang terlihat. Kudengar dari tetangga katanya sudah sejak lama ia bekerja di negeri sebelah, Malaysia. Sepertinya ia pulang hanya ketika libur panjang tiba, seperti libur Ramadan atau tahun baru. Ketiga anaknya sedang dalam masa pertumbuhan, yang tertua sebentar lagi kuliah sementara si bungsu sepertinya masih duduk di sekolah dasar entah kelas berapa. Hal ini kuketahui karena suatu hari aku sedang duduk di dekat jendela kemudian mendengar anak tertua mereka sedang antusias berbincang dengan ibunya, "Bu, nanti kalau sudah masuk kuliah tahun depan belikan laptop ya", katanya dengan nada ceria. Aku sudah lupa respon si Ibu waktu itu bagaimana. Aku hanya mengamini semoga keinginannya lekas terwujud. Ayahnya jauh-jauh bekerja ke Malaysia sana juga untuk memenuhi kebutuhan anaknya, bukan?

Terus terang aku kadang berpikir pasti berat menjalani hubungan pernikahan jarak jauh. Long distance marriage kalau istilah kerennya yang sering kudengar. Aku hanya menduga-duga sebenarnya. Hidup berjauhan dengan suami atau istri dan tidak bisa melihat langsung pertumbuhan buah hati dari hari ke hari mana ada yang mudah? Namun terkadang keadaanlah yang memaksa sebagian orang untuk kuat menjalaninya, termasuk lelaki tadi bersama istri dan ketiga anaknya. Karena seberapa sulit pun keadaan, pulang adalah satu kata yang selalu dinanti, yang akan tiba pada suatu waktu di masa depan seiring bergantinya hari ke hari, menjadi obat pelipur rindu bagi siapa pun yang telah terpisah jarak selama beberapa waktu. 

Ramadan pertama sebentar lagi tiba. Bagiku Ramadan berarti rumah nenek, karena aku akan menjalankan puasa bersama mereka dalam suasana sendu pedesaan. Ini adalah obat mujarab terutama jika kamu telah hidup lama dengan riuhnya hiruk pikuk perkotaan. 

Ketika pertama kali tiba, rumah tetangga nenek yang itu sedang ramai. Aku menanyakan kepada nenek ada acara apa di sana. Ternyata lelaki tadi, ayah mereka, tulang punggung yang telah lama bekerja di negeri sebelah itu akhirnya pulang. Aku turut bahagia. Mereka akan menjalankan puasa dengan personel yang lengkap akhirnya. Tapi tetap saja, kenapa begitu ramai? Setelah kutanyakan lagi, ternyata itu adalah para keluarga yang datang menjenguk kondisi lelaki tadi. Dengar-dengar sakit maag-nya agak parah. Beberapa hari sejak kedatanganku ke rumah nenek, tiap malam tidak pernah absen kudengar suaranya yang seperti orang hamil yang sedang mual ingin muntah. Iya, suaranya memang besar dan terdengar hingga ke rumah nenek yang berjarak hanya beberapa langkah.

Sepekan pertama menjalankan puasa, aku akhirnya kembali ke rutinitas. Kewajiban mengharuskanku untuk tidak berlama-lama "liburan". Sewaktu akan berangkat, aku sempat menengok ke rumah sebelah yang tidak lagi seramai saat aku pertama kali tiba. Mungkin ayah mereka sudah membaik, pikirku. Semoga saja. Kadang aku merasa bersalah dengan sifatku yang cukup tertutup ini. Aku tidak mudah akrab dengan orang yang jarang berinteraksi denganku. Selama sepekan di rumah nenek, aku nyaris tidak pernah berbicara dengan tetangganya, sekadar saling bertukar senyum saat berjumpa. Maka bukan hal aneh ketika aku tidak datang menjenguk orang yang jelas-jelas hidup beberapa langkah di samping rumah nenek. Nenekku mungkin maklum, sementara tetangga tersebut mungkin bahkan tidak tahu kalau aku sempat berbagi oksigen dengan mereka selama seminggu ini.

Beberapa hari berada di rumah, aku mendapat kabar dari rumah nenek bahwa lelaki tadi dirujuk ke rumah sakit. Berarti sakitnya makin menjadi. Aku tidak menyangka bahwa penyakit maag bisa separah itu. Aku turut prihatin, belum cukup sebulan ia pulang ke rumah, ia harus meninggalkan rumah lagi. Bedanya hanya kali ini ia tidak pergi untuk bekerja. Ia meninggalkan rumah untuk mengobati penyakitnya. Semoga selalu diberi kesabaran, batinku. Bersabar sedikit lagi, maka kepulangannya nanti pastilah benar-benar nikmat, berkumpul kembali dengan keluarga tanpa harus merasakan sakit. Ya, semoga saja.

Pagi-pagi kami mendapat kabar via grup chat. Ia telah pulang dari rumah sakit. Kabar itu membuat rumahnya jauh lebih ramai dari kali pertama aku tiba di rumah nenek minggu lalu. Ia akhirnya pulang. Kepulangannya kali ini sampai diumumkan di masjid dengan pengeras suara. Ya, dia telah pulang ke sebenar-benarnya rumah, tempat berkumpulnya semua orang yang pernah bernyawa. Semoga istri dan ketiga anaknya senantiasa diberi kesabaran tak terhingga. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun