Pukul tiga lewat beberapa menit seorang gadis dua puluh tahun berjalan gontai menuju indekos dari perpustakaan pusat universitas.
Dia lelah sekali, seharian disibukkan kesana kemari meminjam buku dan mengurus kartu rencana studi untuk kuliah tahun ajaran baru. Sisa 500 meter untuk sampai ke kamar indekosnya, ia menyerah. Lebih baik duduk sebentar, pikirnya, dan halte adalah tempat yang tepat sekaligus paling dekat. Maka kemudian dia singgah sejenak untuk isi ulang tenaganya. Tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk dan mengamati sekitarnya.Â
Beberapa menit berlalu datang dua orang bapak bermotor, yang satu membonceng yang lain. Yang membonceng sepertinya tukang ojek, pikir Si gadis. Mungkin dia ingin mangkal di halte. Dan yang dibonceng berkaus kuning mirip baju partai itu mungkin teman Si tukang ojek.
Gadis tadi hanya melihat sekilas, tanpa benar-benar ingin memerhatikan apalagi membuka topik pembicaraan. Toh, dia hanya numpang isi tenaga disini.Â
Akan tetapi kemudian bapak berbaju kuning tiba-tiba mengukur panjang kursi halte dengan balok aluminium yang dibawanya. Oh! Mungkin dia tukang reparasi halte, pikir Si gadis. Bapak itu semakin ke kiri, semakin dekat ke tempat gadis tadi duduk. Maka dengan tahu diri, gadis itu segera berdiri.
Mungkin dia ingin mengukur keseluruhan kursi. Belum sampai detik ke sepuluh sejak gadis itu berdiri, tiba-tiba bapak tadi bicara, sila duduk lagi, saya cuma bercanda. Hahaha. Lucu sekali. Tapi gadis ini cuma tersenyum menanggapi lalu duduk kembali.
Beberapa menit berlalu, bapak berbaju kuning memesan segelas es dawet kepada mas-mas yang juga sedang mangkal depan halte. Jangan terlalu manis mas, pesannya. Karena saya sudah manis. Duh, narsis juga bapak ini. Gadis tadi lagi-lagi cuma senyum mendengarnya.
Dia tidak bermaksud menguping sebenarnya, tapi mana mungkin dia bisa mengendalikan suara yang masuk ke telinganya, kan? Apalagi kalau cuma beberapa meter dari tempatnya duduk. Namun sepertinya Si bapak menyadari bahwa gadis tadi tersenyum mendengar ucapannya, karena setelahnya dia menawari es dawet kepada gadis itu. Menolak dengan halus, Sang gadis cuma tersenyum sopan.Â
Hampir pukul empat sore, gadis tadi bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Sepertinya tenaganya sudah cukup untuk membawa tubuhnya kembali ke kamar indekos. Ah, tapi ngiler juga lihat es dawet tadi. Maka kemudian dia meletakkan buku-bukunya sejenak di kursi halte lalu berjalan memesan es dawet untuk dibawa pulang.
Bapak berbaju kuning sudah menghabiskan segelas, turut mendekat untuk membayar. Aduh, ternyata cewek ini mau juga. Tadi ditawari tidak mau, omel Si bapak dengan wajah jenaka. Lagi-lagi gadis tadi cuma tersenyum sopan. Bapak ini kemudian memberi uang sepuluh ribu rupiah kepada mas penjual es dawet. Ambil semua saja mas, bayar yang tadi sekalian sama  pesanan cewek ini. Tadi ditawari ternyata malu-malu. Kaget bukan main, gadis ini blank sesaat. Segera setelah kesadarannya kembali, bapak tadi sudah masuk lorong di belakang halte sambil membawa balok aluminium yang digunakannya mengukur kursi halte pas baru tiba.
Duh, menolak tidak sempat, berterima kasih apalagi. Tidak mungkin pula mengejarnya ke dalam lorong yang sudah agak jauh. Untungnya teman bapak tadi masih ada di halte yang sama. Yang tukang ojek itu lho! Maka kemudian gadis ini menghampiri Si bapak yang tadi membonceng, menitip ucapan terima kasih.Â
"Tolong ya Pak, sampaikan ke teman Bapak. Tolong bilang terima kasih, tadi tidak sempat hehehe."
"Iya, nanti saya beritahu. Dia juga mahasiswa kok disini, mahasiswa S2"
Kaget tentu saja, perkiraan awal Si gadis meleset jauh. Bapak berbaju kuning tadi bukan pengangguran, simpatisan partai, atau bahkan tukang reparasi halte. Ternyata dia juga mahasiswa di universitas yang sama dengannya, tepatnya mahasiswa S2.Â
Si gadis merenung dalam perjalanan pulangnya ke indekos. Masih banyak orang-orang baik yang berjalan di bumi ini. Bagi bapak tersebut mungkin tidak seberapa membayarkan es dawet seharga lima ribu rupiah. Namun bagi Si gadis yang hari ini benar-benar lelah sampai rasanya mau menangis (ini tidak lebay, dia benar-benar berada di titik kulminasi kelelahannya), kemudian beliau datang dengan lelucon-leluconnya plus traktiran es dawet untuk dirinya yang seharian belum pernah bertemu nasi, sungguh sangat membantu.Â
Si gadis kembali mengingatkan dirinya sendiri agar lain kali tidak langsung menilai orang lain hanya dari tampilannya. Di dunia nyata saja seperti ini, apalagi di dunia maya.Â
Pun, Bapak tersebut telah mengajarkan gadis itu bahwa perbuatan baik sekecil apapun bisa jadi amat besar nilainya untuk orang lain. Kita tidak pernah tahu apa yang telah dilewati orang tersebut, bisa jadi kedatangan kita justru meringankan beban yang tak kasat mata. Jangan meremehkan kebaikan apapun, karena besar ataupun kecil itu tetap kebaikan. Lagipula, paradigma kita soal besar atau kecil kebaikan tersebut belum tentu sama dengan orang lain. Bisa jadi kita melakukan sesuatu yang kita anggap sepele dan sangat kecil nilainya, ternyata amat berarti bagi orang lain. Jadi, tebarkan saja kebaikan untuk sekitarmu, tidak peduli seberapa besar atau kecil kebaikan yang kamu lakukan, kata Si gadis kepada dirinya sendiri.Â
***
Makassar, 6 Februari 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI