Beberapa hari yang lalu saya membaca salah satu tulisan professor yang pernah saya ikuti kuliahnya di kampus, Prof. WIM Poli, di laman facebook miliknya. Tulisan tentang hubungan antara orang tua dan anak.Â
Dalam tulisannya, beliau mengemukakan bahwa wajar saja ketika seorang anak yang sejak kecil berada di sekitar orang tuanya yang berprofesi sebagai dokter, maka dia ingin pula menjadi dokter dan mungkin akhirnya benar-benar menjadi dokter. Karena masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah hal yang saling berkaitan. Hal yang sama juga berlaku pada profesi lain, baik pebisnis, jurnalis, aparat, politisi, dan sederet profesi lainnya.Â
Seperti salah satu pribahasa yang sudah tidak asing terdengar, buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jadi, fenomena ini sangatlah wajar. Namun bisa pula terjadi pengecualian, ungkapnya.Â
Dalam beberapa kasus Sang anak akhirnya tidak mengikuti jejak orang tuanya. Banyak faktor pemicu sebenarnya. Bisa jadi karena minatnya tidak di bidang itu, atau memang tidak ingin karena pengalaman masa lalunya.Â
Seperti kasus dokter tadi misalnya, bisa jadi Si anak menolak menjadi dokter karena kecewa dengan orang tuanya di masa lalu yang lebih banyak waktunya dihabiskan untuk bertemu pasien dibanding bertemu anak. Karena tidak ingin hal yang sama terjadi kepada anaknya kelak, maka dia memutuskan untuk tidak mengikuti jejak orang tuanya. (Catatan: ini hanya pemisalan ya teman-teman, tidak bermakud menyinggung profesi manapun)
Tulisan ini sangat menarik bagi saya --sepertinya semua tulisan dari Prof. WIM memang sangat menarik. Saya ingin sedikit membahas kasus ketiga, di mana Si anak menolak untuk mengikuti jejak orang tuanya karena kekecewaan di masa lalunya.Â
Fenomena ini banyak terjadi di masyarakat. Tidak... Bukan tentang anak yang menolak mengikuti jejak orang tuanya. Lebih dari itu, yakni fenomena orang tua yang bekerja hingga waktu bersama anak sangat sedikit dan akhirnya berujung pada kekecewaan yang dirasakan oleh anak.
Pagi tadi saya mengunjungi perpustakaan daerah di kota tempat saya tinggal. Beberapa menit bergelut dengan buku, datang seorang ibu dengan dua anaknya --yang saya taksir masih berumur tiga atau empat tahun dan kakaknya sekitar tujuh atau delapan tahun-- yang sangat ceria hingga membuyarkan konsentrasi saya.Â
Awalnya saya pikir mereka pasti akan sangat mengganggu, karena begitu datang mereka berbicara dengan suara yang cukup keras sambil lari-larian. Namun beberapa saat setelahnya, ibu mereka berhasil memusatkan perhatian mereka pada dirinya. Ya, ibu itu membacakan sebuah dongeng Timun Mas dengan gaya yang --meskipun saya tidak lihat karena saya membelakangi mereka-- sangat menarik.Â
Saya yakin sangat menarik karena tergambar dari nada suaranya yang sepertinya sudah terbiasa mendongengkan anak-anaknya. Selain itu, saya juga yakin karena anak-anaknya sangat tertarik untuk menyimak dan sesekali merespon kisah yang dibacakan ibunya dengan suara khas anak kecil yang sangat lucu. Manis sekali. Saya yang tadinya berpikir akan merasa terganggu nyatanya justru menyimak diam-diam aktivitas mereka. Duh!
Selain dongeng Timun Mas, mereka juga melatih kecermatan dengan menemukan perbedaan dan persamaan dalam buku bergambar, belajar tentang warna-warna, hingga pembahasan tentang gelembung soda. Ya, saya benar-benar merasa seperti ibu-ibu dalam hajatan yang matanya fokus memotong daging namun telinganya melebar kemana-mana alias nguping! Maafkan saya Bu yang diam-diam menyimak...Â
Penjelasan mengenai gelembung soda akhirnya menjadi penjelasan terakhir Si ibu, karena selanjutnya mereka bergegas pulang setelah mendapat telepon --yang sepertinya-- dari ayah mereka yang sudah datang menjemput. Setelah mereka pergi, barulah saya kembali pada aktivitas saya sebelumnya yang saya tinggalkan akibat menjadi pendengar dongeng dadakan.Â
Peristiwa ini membuat saya berpikir, sekaligus terkagum pada Si ibu yang sangat lihai membimbing dan mengajari kedua anaknya. Ungkapan bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak sebelum anaknya diajar oleh guru di berbagai lembaga pendidikan rasanya disajikan langsung di depan mata saya.Â
Saya seperti diberitahu langsung oleh Tuhan tentang salah satu alasan mengapa semua orang --termasuk perempuan wajib menuntut ilmu setinggi-tingginya. Karena kita semua akan menjadi guru, secara langsung maupun tidak langung, setidaknya bagi orang-orang terdekat kita.Â
Kembali pada tulisan Prof. WIM di awal tadi, beberapa anak kecewa karena orang tuanya terlalu banyak bergelut pada pekerjaan hingga jarang meluangkan waktu bagi anak. Padahal diungkapkan atau tidak, mereka membutuhkan waktu-waktu tertentu untuk sekadar bercerita atau belajar bersama seperti kisah ibu dan kedua anaknya yang saya temui di perpustakaan tadi.Â
Selengkap apapun fasilitas atau seberapa banyak pun uang jajan yang diberikan, tetap saja akan menyisakan ruang kosong di dalam diri anak. Apabila Si anak sudah menganggap biasa hal seperti ini, maka tidak mengherankan ketika akhirnya mereka tumbuh menjadi lebih cuek.Â
Lebih dari itu --agak disayangkan sebetulnya, wajar saja apabila mereka kemudian lebih nyaman untuk bercerita atau sekadar berbagi keluh kesah kepada teman dibanding orang tuanya sendiri. Karena jarak itu memang sudah dipupuk sedari kecil.Â
Karena sekali lagi, masa lalu, masa kini, dan masa depan saling berkaitan. Pengalaman akan selalu mengajarkan sesuatu. Maka luangkan sedikit waktumu, Pak/Bu. Yang butuh perhatian bukan hanya pekerjaanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H