Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Soe Hok Gie, Berbahagialah dalam Ketiadaanmu

18 Desember 2019   20:20 Diperbarui: 18 Desember 2019   20:28 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah

Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza

Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu

Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang

Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya

Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini sayangku

Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku

Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung

Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak'kan pernah kehilangan apa-apa

(Puisi karangan Soe Hok Gie, 11 November 1969)

Soe Hok Gie. . .

Siapa yang tidak mengetahui pemuda ini? Sosok idealis kelahiran Jakarta, 17 Desember 1942 ini telah banyak diceritakan sejarah baik melalui buku, film, atau kisah hidupnya yang berpindah dari mulut ke mulut terutama di berbagai ruang diskusi. 

Gie, sapaan akrabnya, merupakan pemuda yang turut serta dalam demonstrasi tahun '65/'66 yang menggulingkan pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. 

Saya mulai mengenal Gie ketika membaca tulisan-tulisannya yang terangkum dalam buku terbitan LP3ES. Meski tidak semuanya, namun di buku ini cukup menggambarkan sosok Gie yang kritis, pemberani, idealis, dan selalu berpihak kepada kebenaran. Dia tidak takut kesendirian, dia tidak takut diasingkan. 

...saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan. -Soe Hok Gie

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Sosoknya mulai aktif menulis sejak masih belia. Dalam buku Catatan Seorang Demonstran, catatan hariannya dimulai pada 4 Maret 1957 yang artinya pada masa itu, dia masih berusia 14 tahun. Di usia tersebut, Gie telah membaca banyak karya sastra. 

Bahkan, Gie pernah terlibat dalam perdebatan dengan gurunya sendiri ketika membahas karya Andre Gide, Pulanglah Dia Si Anak Hilang. Gie bersikeras bahwa karya tersebut bukan karangan Chairil Anwar, karena beliau hanya menerjemahkan. 

Sedang gurunya berkata sebaliknya, bahwa Chairil-lah pengarang Pulanglah Dia Si Anak Hilang (dalam bahasa Indonesia). Perdebatan mereka cukup alot, hingga akhirnya Gie memilih diam. Bahkan dalam catatanya, Gie mengatakan bahwa guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.

Setelah lulus di bangku sekolah, Gie melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada masa-masa itulah Gie mempertajam pengetahuannya dengan banyak berdiskusi maupun membaca buku dan sangat gencar melakukan kritik terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Berbagai tulisannya pernah dimuat dalam surat kabar. Bahkan dia pernah mendapat surat kaleng yang berisi ancaman karena kritik-kritiknya tersebut. Dalam buku hariannya, dia menceritakan dengan detil mengenai demonstrasi yang terjadi kala itu. Gie adalah salah satu mahasiswa yang turut serta dalam menggulingkan pemerintahan orde lama. Kisahnya sangat menggugah. Saya sangat merekomendasikan buku tersebut kepada kalian yang membaca tulisan ini.

Sebenarnya tulisan ini dibuat untuk mengenang wafatnya Gie setengah abad lalu. Hari itu Gie bersama kawan-kawannya melakukan pendakian ke Gunung Semeru. Namun nahas, pada 16 Desember 1969 ketika dalam perjalanan pendakian, dia menghirup gas beracun yang kemudian merenggut nyawanya tepat satu hari sebelum pertambahan usianya yang ke-27 tahun. 

Kini 50 tahun sudah berlalunya peristiwa tersebut, namun nyatanya Gie belum hilang dari peradaban. Namanya masih sering disebut-sebut dalam berbagai pembicaraan. Keberanian dan sikap kritisnya menentang kesewenang-wenangan telah membawa Gie menjadi manusia yang tetap hidup dalam sejarah, meski raganya sudah tiada. 

Saya sendiri sangat kagum kepada sosoknya ketika baru membaca pengantar yang dibawakan oleh Arief Budiman, kakak kandung Gie, dalam buku Catatan Seorang Demonstran. Disana Arief menceritakan bahwa ketika dia menjemput jenazah adiknya kala itu, salah satu temannya pamit untuk memesan peti yang akan digunakan membawa mayat Gie. 

Sepulangnya dari sana, teman tersebut menanyakan kepada kakak Gie, apakah mereka memiliki kerabat di Malang. Namun, kakak Gie mengatakan bahwa tidak ada kerabat mereka disana. Teman tersebut lantas menceritakan bahwa tukang peti mati menanyakan untuk siapa peti tersebut, lalu dijawablah untuk Soe Hok Gie. Tukang peti tersebut kaget, lantas berkata "Soe Hok Gie yang suka menulis di koran itu?" yang kemudian di-iya-kan oleh temannya. Tiba-tiba tukang peti tersebut menangis dan berkata, "Dia orang yang berani. Sayang dia meninggal".

Tak cukup sampai disitu, ketika jenazah Gie dibawa terbang menggunakan pesawat AU dari Malang, mereka singgah ke Yogya terlebih dahulu kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, Arief sempat duduk-duduk bersama pilot yang menerbangkan pesawatnya. Pilot mengonfirmasi sekali lagi kepada kakak Gie, apakah benar yang dibawa itu adalah mayat Soe Hok Gie? yang kemudian dibenarkan oleh kakak Gie. Dia lantas berkata, "Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus".

Begitulah sosoknya, meski mungkin Gie dibenci oleh orang-orang yang pernah mendapat kritik darinya, namun diam-diam Gie memperoleh banyak dukungan tanpa suara atas keberaniannya tersebut. 

Mengutip dari kata-kata yang dituliskan kakaknya, Arief Budiman yang mengatakan bahwa ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. 

Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamnya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata "Ya" atau "Tidak", meskipun cuma di dalam hatinya.

Dua hari yang lalu, 16 Desember 2019, tepat 50 tahun wafatnya Gie. Dia adalah salah satu manusia idealis yang pernah hidup di bumi yang sangat saya kagumi. Jasadnya sudah terkubur, dipindah sana-sini, melewati drama panjang hingga akhirnya dibakar lalu abunya disebar di Gunung Pangrango. 

Raganya sudah enyah, tapi jiwanya masih hidup. Buah pikiran dan tindak tanduknya banyak memengaruhi manusia di masa lalu, masa kini, dan mungkin pula di masa depan. Kehidupan itu tersalurkan melalui film, diceritakan dari mulut ke mulut, atau melalui buku-buku yang masih beredar entah sampai kapan. Mari mendoakan, semoga dia tenang di sana.

Selamat beristirahat Gie, berbahagialah dalam ketiadaanmu..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun