Kamis, 5 September 2019 lalu adalah pelaksanaan aksi kamisan yang ke-600. Aksi yang saya ketahui dari buku Laut Bercerita karangan Leila S. Chudori itu awalnya saya kira cuma fiksi. Nyatanya aksi itu benar-benar ada dan sudah dilakukan sejak 18 Januari 2007. Kamisan merupakan aksi damai yang dilakukan setiap hari kamis oleh korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia di depan Istana Merdeka.Â
Mereka menuntut keadilan terhadap korban pelanggaran HAM. Tidak ada orasi dalam aksi itu, mereka hanya diam di depan Istana Merdeka yang dianggap sebagai pusat kekuasaan dengan mengenakan pakaian dan atribut berwarna hitam.
Saat malam di hari yang sama, salah satu program acara TV Kompas, Rosi, mengangkat tema "Menolak Lupa #15TahunMunir". Dalam acara tersebut mengundang mbak Suci (istri Alm. Munir), Diva dan Alif, kedua anak Alm. Munir, serta beberapa orang lainnya. Munir Said Talib merupakan seorang aktivis HAM yang dibunuh dengan racun arsenik di pesawat Garuda Indonesia tahun 2004 lalu.Â
Sudah 15 tahun berlalu, kasus ini masih belum memiliki kejelasan dalam penuntasannya. Aktor intelektual pembunuhnya bahkan belum ditangkap dan diadili secara hukum.Â
Tidak hanya Munir, masih banyak kasus-kasus lainnya yang belum tuntas. Sebut saja kasus Marsinah, Wiji Thukul, bahkan yang terbaru -walau tidak betul-betul baru- adalah kasus Novel Baswedan. Satu dekade ditambah lima tahun adalah waktu yang tidak sebentar, dan sayangnya itu bukanlah sebuah prestasi ketika kasus tersebut hanya berlarut-larut tanpa adanya kejelasan.Â
"Presiden tidak mempunyai beban pelanggaran HAM. Apakah Bapak Presiden membiarkan dalang-dalangnya masih menduduki posisi-posisi penting dan tinggi, sementara jejaknya meragukan. Terutama kasus yang menimpa abah saya yang membuat saya terluka."-Alif
"Tolong ya Pak Jokowi, silakan ditangkap pelakunya dan dihukum."-Diva
Pernyataan kedua anak Munir di atas mungkin hanyalah salah satu dari banyak harapan terhadap kejelasan penuntasan kasus pelanggaran HAM. Pun bisa jadi merupakan ungkapan kerinduan terhadap ayah mereka yang pergi tanpa firasat apapun sebelumnya.Â
Apapun itu, pelantikan Bapak Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih Indonesia periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019 nanti merupakan babak baru dalam lembaran pemerintahan Indonesia.Â
Dari sekian banyak harapan dari masyarakat Indonesia tentu terselip satu harapan besar agar di periode baru nanti kasus pelanggaran HAM benar-benar bisa ditutaskan. Karena ketika kita membiarkan suatu kejahatan, maka artinya kita membiarkan kejahatan itu beranak pinak.Â
600 bukanlah angka yang sedikit. Terlebih dalam konteks ini, 600 yang dimaksud adalah jumlah kali aksi yang dilaksanakan dalam upaya menuntut keadilan terhadap pelanggaran HAM. Angka-angka ini akan terus bertambah tiap pekannya, selama keadilan terhadap pelanggaran HAM belum juga ditegakkan. Hal ini bukanlah sebuah prestasi, namun justru menjadi ironi.Â
Sebab seiring bertambahnya jumlah aksi yang dilakukan maka semakin mempertegas bahwa selama itu pula keadilan belum ditegakkan. Di setiap hari kamis di depan Istana, setiap jiwa mungkin berdoa, berharap di kamis depan tidak ada lagi aksi kamisan.Â
Berharap aksi ini hanya bersifat temporer dan berharap suatu saat akan berakhir. Berharap ada ketegasan dan kejelasan penindaklanjutan dari para pemimpin negeri. Berharap dan terus berharap sampai harapan itu benar-benar terwujud.
Jadi, Pak Jokowi, di periode keduamu nanti, bisakah kasus pelanggaran HAM dituntaskan? Kami berharap banyak padamu, Pak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H