Hari minggu adalah hari-nya keluarga ini. Maka dari itu, sejak kecil Ayah memerintahkan kepada Laut dan Asmara agar mengosongkan semua jadwal mereka di hari minggu. Menjelang sore, sang ibu pasti akan memasak tengkleng kesukaan mereka dan makan bersama ditemani musik dari The Beattles. Ini adalah tradisi tiap pekan.Â
Namun semenjak Laut berkuliah di Yogya, tradisi ini menjadi sekali setiap bulan. Dan sejak penculikan terhadap aktivis itu terjadi, sang ayah tetap setia menyiapkan empat buah piring di atas meja. Mereka akan duduk menanti, sampai salah satu dari Arya atau istrinya mengatakan bahwa nanti tengklengnya akan ditaruh di kulkas. Biar Mas Laut yang memanaskan. Tapi Biru Laut tak kunjung datang.
Selain cerita tentang perlawanan dan keluarga, ada pula kisah romansa antara Laut dan kekasihnya, Anjani yang merupakan seniman pembuat mural dan berbagai karya seni lainnya. Laut dibuat jatuh hati ketika pertama kali Anjani datang ke sekretariat Winatra untuk membuat mural menutupi kusamnya dinding rumah yang disewa dengan harga murah itu.Â
Badan mungil, gigi bak mentimun, dan lesung pipit di wajah Anjani membuat Laut tak akan melepas jabatan tangannya seandainya tak diinterupsi oleh kawan yang lain. Dia terpaku, benar-benar kagum. Â Kekaguman Laut semakin menjadi ketika Anjani dengan jeniusnya melukis salah satu kisah fenomenal, Rama dan Sinta yang dibuat dengan versinya sendiri.Â
Cerita Rama Sinta yang selama ini diketahui Laut dan menjadi bahan diskusi dengan adiknya, Asmara adalah cerita yang di dalamnya tokoh Sinta akan diculik dan Rama-lah yang akan menyelamatkan. Namun kali ini Anjani membuat cerita yang justru berkebalikan. Bukan Sinta yang diculik, tetapi Rama. Sinta-lah yang nantinya akan menolong Rama, begitu kata Anjani. Tentu Anjani punya alasan, saya tak harus menceritakan mengapa ide itu begitu jenius di mata Biru Laut, bukan
Satu per satu konflik dalam cerita ini diselesaikan. Meski sampai sekarang ada yang masih mengganjal. Kelanjutan nasib si Pengkhianat tidak diceritakan hingga saya menamatkan novel ini. Mundurnya Soeharto di tahun 1998 adalah titik perubahan yang selama ini dicita-citakan oleh Laut, meski dia tak seberuntung beberapa temannya yang merasakan "Indonesia yang lain".Â
Dari dasar laut yang sunyi, puisi sang penyair yang diberikan kepada Laut di ulang tahunnya yang ke-25 tidak akan pernah dilupakannya. Bahkan ketika Laut telah menyatu dengan laut sekalipun: "Matilah engkau mati, kau akan lahir berkali-kali..."
Ada satu kalimat yang saya sukai. Kalimat ini adalah ucapan dari Kinan kepada Laut, ketika Laut merasa pesimis dengan perjuangan mereka yang rasanya sia-sia saja. (hlm. 183)
Setiap langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut.
***