Beberapa hari yang lalu saya menamatkan sebuah buku karangan Leila S. Chudori. Bagi yang tahu karya-karyanya barang pasti sudah bisa menebak "biru laut" yang saya maksud pada bagian judul diatas. Lain halnya bagi yang belum berkenalan dengan karya-karya dari mbak Leila ini. Mayoritas akan mengira bahwa "biru laut" disini adalah nama warna yang di dalam kamus didefinisikan sebagai biru seperti warna laut.Â
Sebenarnya, saya-pun baru pertama kali membaca salah satu karya Leila S. Chudori ini. Walaupun sudah lama bertengger di dalam list buku yang ingin saya beli, tetapi saya baru "direstui" kembali beli buku bacaan --yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran di kuliah-- setelah libur semester genap.Â
Biru Laut adalah nama orang. Ya, betul, anda tidak salah baca. Biru Laut adalah nama orang... Mungkin sempat terlintas, ada-ada saja namanya. Kenapa orang tuanya tidak memberi nama yang lain saja? Sayapun awalnya berpikiran demikian, Biru Laut lumayan unik untuk disematkan kepada individu sebagai sebuah nama. Tetapi akhirnya saya baru paham, nama itu jugalah yang mendukung alur yang ada di dalam novel ini.Â
Laut Bercerita adalah salah satu novel karangan Leila S. Chudori yang berlatar peristiwa penculikan dan penyiksaan terhadap sejumlah aktivis di tahun 1998. Penculikan dan penyiksaan ini dilakukan kepada mereka yang dianggap menjadi dalang dalam setiap aksi perlawanan terhadap pemerintah. Seperti yang sama-sama kita ketahui, tahun '98 sangat erat kaitannya dengan peristiwa runtuhnya rezim orde baru setelah berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Pun tidak dapat dipungkiri, peran mahasiswa tidak bisa dikatakan kecil. Berdasar atas fakta-fakta inilah yang membuat penulis berhasil meramu sebuah cerita novel yang apik.Â
Biru Laut adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Kegemarannya membaca buku yang telah ditanamkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil, membawa Biru Laut bertemu dengan Kasih Kinanti, yang kemudian akrab disapa Kinan.Â
Eitt, jangan langsung menyimpulkan apapun. Pertemuan mereka terjadi ketika Biru Laut hendak melakukan salah satu perbuatan ilegal; fotocopy buku. Di tempat yang sama, Kinan-pun ingin melakukan hal yang tidak jauh beda. Kali ini buku yang hendak disalin adalah karya Pramoedya Ananta Toer.Â
Tentu harus dilakukan dengan awas, mengingat buku-buku yang dianggap menentang pemerintah atau beraliran kiri pada masa itu dilarang peredarannya, termasuk karya Pram. Mereka sedikit berbincang tentang buku tersebut, sampai kemudian Kinan mengundang Laut --begitu sapaannya-- untuk menghadiri diskusi yang akan diselenggarakan oleh beberapa mahasiswa.Â
Berbagai pertemuan dan diskusi mengantarkan Laut bertemu dan berkenalan dengan lebih banyak individu lainnya, sebut saja Bram, Alex, Sunu, Daniel, Naratama, Julius, Dana, Narendra, Gusti, Widi, dan sejumlah nama-nama lain. Laut kemudian bergabung ke dalam kelompok yang bernama Winatra. Winatra sendiri artinya membagi secara rata, mungkin maksudnya adalah keadilan. Ada pula kelompok yang namanya Wirasena, yang artinya sang pemberani.Â
Winatra memiliki sekretariat yang sering berpindah-pindah. Hal ini untuk mencegah mereka ditangkap aparat karena ketahuan sedang berdiskusi tentang hal-hal yang dilarang di masa itu. Yang menakjubkan adalah, Kinan-lah yang paling sering didengar ketika ada perdebatan-perdebatan yang terjadi. Mata tajam yang dimiliki Kinan semakin mempertegas aura kepemimpinan yang dimilikinya.
Tekad untuk meruntuhkan era orde baru dan menikmati Indonesia yang lebih baik adalah pembakar api semangat dalam jiwa para pemuda ini, tak terkecuali Laut. Berbagai diskusi dan rencana dibuat sematang mungkin dan dirahasiakan agar tidak sampai terdengar di telinga aparat maupun intel.Â