Pendahuluan Â
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) adalah salah satu dokumen paling bersejarah sekaligus paling kontroversial dalam sejarah politik Indonesia. Surat ini dipercaya menjadi dasar sah bagi Jenderal Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno pada 1966. Meskipun Supersemar memiliki peran krusial dalam transisi politik dari era Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru, dokumen ini masih menyisakan banyak misteri dan kontroversi terkait keabsahan, interpretasi, dan dampak historisnya. Hal ini menimbulkan berbagai spekulasi mengenai bagaimana proses sebenarnya yang terjadi pada 11 Maret 1966.[1]
Kontroversi Supersemar tidak hanya mencakup isi dan implikasi dari surat tersebut, tetapi juga menyangkut otentisitas naskahnya, yang hingga saat ini keberadaannya masih diperdebatkan. Terdapat beberapa versi surat yang berbeda, dan hal ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai apa sebenarnya yang diperintahkan Soekarno kepada Soeharto. Dalam esai ini, kita akan mengkaji kontroversi Supersemar dengan menelusuri latar belakang, kejanggalan dokumen, serta pengaruhnya terhadap sejarah politik Indonesia. Â
Latar Belakang Politik Supersemar
Supersemar lahir di tengah situasi politik yang sangat genting pada awal tahun 1966. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), situasi politik di Indonesia menjadi sangat tidak stabil. Presiden Soekarno, yang dianggap oleh sebagian pihak dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), mengalami penurunan dukungan dari militer dan sebagian rakyat. Pada saat yang sama, muncul tekanan dari Angkatan Darat yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto, yang menginginkan penumpasan PKI secara menyeluruh[1].
Supersemar dianggap sebagai langkah penting dalam proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Dengan surat ini, Soekarno memberikan wewenang kepada Soeharto untuk "mengambil tindakan yang dianggap perlu" dalam mengatasi situasi negara yang kacau[2]. Namun, apakah surat tersebut benar-benar dimaksudkan untuk memberikan kekuasaan eksekutif penuh kepada Soeharto, atau hanya mandat terbatas untuk menangani keamanan, menjadi perdebatan yang terus berlanjut.
Kejanggalan dan Kontroversi Dokumen Supersemar
Salah satu aspek paling kontroversial dari Supersemar adalah terkait dengan otentisitas dokumen tersebut. Hingga saat ini, naskah asli dari Supersemar belum pernah ditemukan. Ada beberapa versi berbeda dari dokumen tersebut yang beredar, termasuk yang ditemukan di Arsip Nasional Indonesia, yang justru memperkeruh situasi. Beberapa sejarawan meyakini bahwa Supersemar versi asli mungkin telah dimanipulasi atau bahkan hilang dengan sengaja untuk menutupi fakta sebenarnya dari peristiwa tersebut.
Sejumlah tokoh politik dan saksi sejarah, seperti mantan ajudan Soekarno, mengungkapkan bahwa Soekarno sebenarnya tidak bermaksud untuk menyerahkan kekuasaan penuh kepada Soeharto. Namun, Soeharto dianggap telah menggunakan surat itu sebagai legitimasi untuk mengambil alih pemerintahan, termasuk membubarkan PKI dan memenjarakan para pendukung Soekarno. Hal ini membuat Supersemar dilihat sebagai alat kudeta terselubung yang dimanfaatkan oleh Soeharto untuk memuluskan jalannya menuju kekuasaan yang absolut.[1]
Proses Penyerahan Supersemar: Paksaan atau Sukarela?
Aspek lain yang sering menjadi perdebatan adalah mengenai proses penyerahan Supersemar oleh Soekarno kepada Soeharto. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Soekarno terpaksa menandatangani surat tersebut di bawah tekanan militer yang dipimpin oleh tiga jenderal, yaitu Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Basuki Rahmat, dan Mayor Jenderal Amirmachmud. Ada pula spekulasi yang menyebutkan bahwa Soekarno sebenarnya tidak memahami sepenuhnya isi dan implikasi surat tersebut. Dalam beberapa kesaksian, bahkan disebutkan bahwa Soekarno menandatangani dokumen tersebut dalam kondisi yang tertekan dan tanpa banyak pilihan[2].
Sebaliknya, ada pihak yang menyatakan bahwa Soekarno menyerahkan surat tersebut secara sukarela dalam rangka untuk menjaga stabilitas nasional. Namun, hingga kini, tidak ada bukti otentik yang mampu membuktikan salah satu dari kedua versi tersebut. Ketidakpastian ini menambah kompleksitas dari kontroversi Supersemar dan dampaknya terhadap sejarah politik Indonesia.
Dampak Supersemar terhadap Kekuasaan Soekarno dan Kebangkitan Orde Baru
Supersemar secara langsung menjadi titik awal transisi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Setelah surat ini diterbitkan, Soeharto segera mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat posisinya. Salah satu langkah paling signifikan adalah pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap sebagai dalang dari Gerakan 30 September 1965. Pembubaran PKI dan pengangkatan Soeharto sebagai pengendali militer efektif melemahkan posisi politik Soekarno, yang sebelumnya masih memiliki pengaruh kuat.[3]
 Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun setelah Supersemar diterbitkan, Soekarno semakin tersingkir dari panggung politik, sementara Soeharto mengambil alih kekuasaan sebagai presiden pada 1967. Naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan menandai dimulainya era Orde Baru, yang ditandai dengan sentralisasi kekuasaan dan penerapan kebijakan yang berfokus pada stabilitas politik dan ekonomi, namun juga diwarnai oleh represi terhadap oposisi politik dan pembatasan kebebasan berpendapat.[4]
 Implikasi Politik Supersemar
Supersemar menandai dimulainya Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, yang berlangsung selama lebih dari tiga dekade. Pada masa Orde Baru, Supersemar dipandang sebagai momen penting dalam penyelamatan negara dari ancaman komunisme dan kekacauan. Namun, di sisi lain, banyak yang menilai bahwa Supersemar merupakan titik awal dari terpinggirkannya Soekarno secara politis dan dipaksa mundur dari panggung kekuasaan.
 Soeharto, melalui Supersemar, mendapatkan dukungan dari militer dan berbagai kelompok masyarakat untuk menumpas PKI serta mengendalikan pemerintahan secara de facto. Dampak dari Supersemar tidak hanya mempengaruhi masa depan politik Indonesia, tetapi juga berimbas pada kebijakan-kebijakan negara yang semakin represif di bawah rezim Soeharto.[5] Banyak peristiwa penting seperti pembantaian massal terhadap simpatisan PKI dan penahanan tanpa proses hukum menjadi bagian dari sejarah kelam yang dikaitkan dengan legitimasi Supersemar.
Penutup
Supersemar tetap menjadi salah satu misteri terbesar dalam sejarah Indonesia. Ketidakjelasan mengenai keaslian dokumen, proses penyerahan, dan dampaknya terhadap pergantian kekuasaan membuat peristiwa ini selalu menarik untuk dibahas dan diteliti. Terlepas dari kontroversinya, Supersemar telah mengubah arah sejarah Indonesia dengan cara yang dramatis, terutama dalam kaitannya dengan peralihan dari era Soekarno ke Soeharto dan munculnya Orde Baru.
 Kontroversi seputar Supersemar mencerminkan kompleksitas sejarah politik Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Keberadaan beberapa versi dokumen, ketidakjelasan perintah yang diberikan Soekarno, serta implikasi politis yang begitu besar dari surat ini menjadikan Supersemar sebagai salah satu topik yang terus diperdebatkan oleh sejarawan hingga hari ini. Terlepas dari bagaimana surat ini digunakan, Supersemar memainkan peran penting dalam peralihan kekuasaan yang mengubah jalannya sejarah Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk mengungkap kebenaran di balik Supersemar perlu terus dilakukan agar generasi masa depan dapat memahami dinamika politik yang melatarbelakangi lahirnya Orde Baru.
Depdikbud, Milik. ‘Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1966’.
Mahardika, Ahmad Gelora. ‘Problematika Yuridis Penerbitan Surat Perintah Sebelas Maret Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia’. Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan 3, no. 1 (17 March 2023): 68–90. https://doi.org/10.21274/legacy.2023.3.1.68-90.
———. ‘Problematika Yuridis Penerbitan Surat Perintah Sebelas Maret Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia’. Legacy: Jurnal Hukum dan Perundang-Undangan 3, no. 1 (17 March 2023): 68–90. https://doi.org/10.21274/legacy.2023.3.1.68-90.
Roosa, John. ‘Gerakan 30 September Dan Kudeta Suharto’.
Setia, Nanda. ‘Keterlibatan Amerika Serikat dalam Upaya Pembangunan Ekonomi Indonesia Era Soeharto 1966-1980’. Journal of Indonesian History 11, no. 1 (7 July 2023): 44–54. https://doi.org/10.15294/jih.v11i1.59178.
Wardaya, F. X. Baskara Tulus. Suara di balik prahara: berbagi narasi tentang tragedi ’65. Cet. 1. Yogyakarta: Galangpress, 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H