Mohon tunggu...
Alfikri Oktavian Yudhistira
Alfikri Oktavian Yudhistira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

A student who interested in Politics, International Relations, communications, and business.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebijakan Luar Negeri Swedia terhadap Hak-hak Perempuan

29 Desember 2022   03:00 Diperbarui: 29 Desember 2022   03:14 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: freepik.com

Feminisme merupakan pola pemikiran yang memiliki keyakinan akan kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik sepenuhnya bagi perempuan. Feminisme sebagian besar muncul sebagai tanggapan terhadap tradisi Barat yang membatasi hak-hak perempuan, tetapi pemikiran feminis memiliki manifestasi dan variasi global.

Keadilan dan kesetaraan gender telah menjadi menonjol dalam konstitusi kebijakan luar negeri dan keamanan. Feminist foreign policy dalam konteks yang lebih luas dari tradisi feminis negara Swedia serta pengejarannya terhadap "kosmopolitanisme gender" dalam politik global. Baik "kosmopolitanisme gender" dan tradisi feminis negara Swedia memberikan lahan subur bagi adopsi formal FFP pada tahun 2014. Setelah pemilihan umum tahun 2014, pemerintah Swedia menerapkan  kebijakan luar negeri feminis untuk pertama kalinya. Hal ini pun mengejutkan komunitas internasional. Selanjutnya, pemerintah Swedia menyatakan pada tahun 2015 bahwa Swedia adalah negara yang menerapkan kebijakan feminis pertama di dunia. Pada awalnya, Kebijakan Luar Negeri Swedia tidak memasukkan Feminisme melainkan fokus pada kerja sama demokrasi dan keamanan. Swedia sebelumnya telah memiliki pasar tenaga kerja yang setara yang bebas dari diskriminasi sejak 1979, dan itu menjadi norma pada tahun 1994 ketika setengah dari kabinet terdiri dari perempuan.

Secara khusus, ada enam poin kebijakan luar negeri feminis di Swedia. Poin pertama dalam penerapan politik luar negeri feminis, yaitu pemenuhan hak asasi manusia, mengharuskan negara menerapkan kebijakannya di luar perbatasannya. Swedia telah melakukan langkah-langkah seperti diplomasi di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan kesadaran kesetaraan gender dalam konteks internasional. Selanjutnya, di poin kedua politik luar negeri Swedia menerapkan kebijakan yang bebas dari tindakan fisik, mental, dan kekerasan. 

Swedia telah mengangkat relevansi masalah ini di Dewan Keamanan PBB dan telah membantu dalam penetapan kriteria sanksi rezim, termasuk penambahan kekerasan seksual dan gender sebagai indikator. Poin ketiga adalah partisipasi perempuan dalam menghindari dan menyelesaikan konflik dan pembangunan pasca konflik. Selanjutnya pada poin keempat, yaitu Election Participation (Political Participation and Influence of Women and Girls in All Areas of Society), Swedia telah mengadvokasi kebebasan bergerak dengan memperkuat jurnalis perempuan, aktivis hak asasi manusia, aktivis lingkungan, politisi, dan pekerja budaya. Dalam poin kelima dari kebijakan eksternal Swedia, Pemenuhan Hak Ekonomi dan Pembangunan, negara ini berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan gender di Tinjauan Global Kelima Bantuan untuk Perdagangan, di mana inisiatif tambahan direkomendasikan. Terakhir, pada poin keenam, Swedia mengoordinasikan Konferensi "She Decides", yang diadakan di Brussel pada Maret 2017 bersama Belgia, Belanda, dan Denmark. Pertemuan ini merupakan bagian dari inisiatif internasional untuk meningkatkan dukungan finansial dan politik untuk masalah kesehatan dan reproduksi seksual.

Swedia mengadopsi kebijakan luar negeri feminis telah melalui beberapa langkah. Pada awalnya, norma yang dimiliki masyarakat bersifat konservatif, dan sejalan dengan gagasan teori gender. Laki-laki lebih cenderung bekerja, sementara perempuan diharapkan tinggal di rumah dan melayani laki-laki. Norma-norma alam ini secara teoritis bergeser ke konsep yang lebih liberal dan terbuka di mana laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama. Pria dan wanita tidak harus terlalu maskulin atau feminin untuk dianggap sebagai manusia, di mata masyarakat. 

Setelah norma berubah, identitas negara pun mulai berubah. Swedia terikat dengan gagasan mendukung gender equality. Orang-orang mulai melihat Swedia sebagai negara yang sangat menyukai feminisme. Ide ini tentu saja membawa negara pada kepentingan barunya yang mengandaikan kesetaraan gender. Karena Swedia percaya bahwa melepaskan potensi setengah dari populasi dunia bukan hanya keharusan moral, tetapi juga kebutuhan finansial dan keamanan, negara mulai memprioritaskan kemajuan perempuan. Swedia juga berpikir bahwa berinvestasi pada perempuan dan anak perempuan adalah strategi yang terbukti untuk mendukung tata pemerintahan yang baik, pertumbuhan ekonomi, kesehatan masyarakat, dan stabilitas pada saat sumber daya dibatasi. Untuk mengejar kepentingan negara, Swedia telah melakukan tindakan negara yang melepaskan kebijakan luar negeri feminis.

Kasus Swedia ini menunjukkan bagaimana model teori konstruktivisme menjelaskan teori gender yang diterapkan dalam politik luar negeri. Melalui beberapa langkah, norma yang berubah dapat mengarah pada tindakan yang diambil negara. Oleh karena itu, gerakan lain yang serupa dengan feminis dapat diadopsi pada masa depan atau dari negara lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun