Pada tahun 2021, Indonesia mengalami perubahan besar dalam kebijakan perpajakannya. Salah satu perubahan utama yang menarik perhatian publik adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%, yang mulai diterapkan pada April 2022. Langkah ini menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, mengingat PPN dikenakan pada hampir semua barang dan jasa. Pemerintah memandang kenaikan ini sebagai cara untuk memperbesar penerimaan negara, mengingat kebutuhan pembiayaan yang semakin meningkat. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga memiliki dampak langsung terhadap daya beli masyarakat, khususnya bagi mereka yang berada di kelas menengah ke bawah.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas barang dan jasa yang diproduksi atau diperjualbelikan di Indonesia. Sebagai salah satu sumber pendapatan utama negara, PPN sangat penting dalam mendukung pembiayaan berbagai program pembangunan. Sebelumnya, tarif PPN di Indonesia ditetapkan sebesar 10%, namun pada tahun 2022, tarif ini dinaikkan menjadi 11%. Pemerintah mengungkapkan bahwa keputusan ini diambil untuk memperbaiki situasi fiskal negara yang terdampak oleh pandemi COVID-19 dan meningkatnya belanja negara yang diperlukan untuk mendanai sektor-sektor vital seperti kesehatan dan pendidikan.
Dampak Kenaikan PPN terhadap Daya Beli Masyarakat
Kenaikan tarif PPN berdampak langsung pada daya beli masyarakat, karena pajak ini dikenakan pada hampir seluruh barang dan jasa yang dikonsumsi. Kenaikan harga barang dan jasa menjadi dampak utama yang terasa, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan masyarakat untuk membeli barang-barang tersebut.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengalami kenaikan sebesar 1%, dari yang sebelumnya 10% menjadi 11%, yang mulai diterapkan pada April 2022. Kenaikan ini memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Terdapat perdebatan karena PPN diterapkan secara luas pada hampir semua jenis barang dan jasa, tanpa membedakan antara konsumen dari kalangan kelas atas maupun kelas bawah (Pradana, 2022).
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membawa dampak yang bisa bersifat positif maupun negatif. Salah satu dampak negatif yang muncul adalah meningkatnya beban pengeluaran masyarakat, mengingat kenaikan PPN sering kali diikuti dengan harga barang kebutuhan pokok yang lebih tinggi. Meski demikian, berdasarkan peraturan yang ada, tidak semua usaha terkena PPN. Hanya barang dan jasa tertentu yang memenuhi kriteria yang akan dikenakan pajak tersebut. Oleh karena itu, sebagai warga negara yang baik, masyarakat diharapkan untuk mematuhi aturan yang berlaku. Di sisi lain, dampak positif dari kenaikan PPN ini terutama berkaitan dengan pemulihan keuangan negara. Dengan peningkatan PPN, diharapkan dapat membantu memperbaiki kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sempat terganggu akibat pandemi COVID-19. Kebijakan ini tentu telah dipikirkan dengan matang, dengan mempertimbangkan risiko yang mungkin timbul serta langkah-langkah antisipasi yang sudah disiapkan. Sebagai masyarakat, kita sebaiknya memanfaatkan kebijakan ini dengan bijak demi memperoleh manfaat yang maksimal. Sesuai dengan prinsip perpajakan, kepentingan umum yang bertujuan untuk menjaga kestabilan ekonomi negara harus diutamakan, dan langkah pemerintah untuk mencapainya harus mendukung kesejahteraan masyarakat (Kharisma et al., 2023).
Kenaikan tarif PPN juga berpotensi memicu inflasi, yang berarti kenaikan harga barang secara umum. Inflasi yang dipicu oleh pajak yang lebih tinggi dapat memperburuk keadaan ekonomi, terutama bagi mereka yang pendapatannya tidak meningkat. Ketika harga barang dan jasa naik, daya beli masyarakat akan cenderung berkurang, yang akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Jika inflasi tidak teratasi, kondisi perekonomian bisa stagnan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi lapangan pekerjaan, pendapatan, dan kualitas hidup masyarakat.
Kenaikan harga yang disebabkan oleh peningkatan tarif PPN juga dapat mempengaruhi cara masyarakat berbelanja. Masyarakat mungkin akan lebih berhati-hati dalam memilih barang dan jasa, mengurangi pengeluaran untuk barang-barang yang tidak terlalu penting, dan lebih fokus pada kebutuhan pokok. Selain itu, mereka mungkin cenderung memilih produk dengan harga lebih murah, meskipun kualitasnya lebih rendah. Hal ini tentu dapat berdampak pada industri dan produsen, karena permintaan terhadap barang-barang premium atau non-esensial diperkirakan akan menurun.
Meski kenaikan tarif PPN berdampak pada daya beli masyarakat, terdapat beberapa manfaat yang perlu diperhatikan. Kenaikan pajak ini memberi kesempatan kepada pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, yang selanjutnya bisa digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
Kenaikan tarif PPN memberikan tambahan pendapatan bagi pemerintah yang dapat dialokasikan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan, seperti pembangunan infrastruktur, jalan, jembatan, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan. Peningkatan kualitas infrastruktur ini berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, kenaikan tarif PPN juga membantu pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran dan ketergantungan pada utang luar negeri. Selama pandemi COVID-19, defisit anggaran Indonesia meningkat tajam karena tingginya kebutuhan untuk menangani dampak kesehatan dan ekonomi. Dengan adanya peningkatan penerimaan pajak, pemerintah dapat mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri yang bisa memperberat beban ekonomi di masa depan.
Namun, PPN bersifat regresif, yang berarti bahwa beban pajak lebih berat dirasakan oleh masyarakat dengan pendapatan rendah. Meski demikian, kebijakan ini bisa menjadi lebih adil jika diimbangi dengan sistem perpajakan yang progresif, seperti menaikkan pajak penghasilan untuk kelompok berpendapatan tinggi. Pemerintah juga bisa menggunakan sebagian dari pendapatan PPN untuk memberikan subsidi kepada kelompok masyarakat yang rentan, seperti mereka yang berpendapatan rendah dan usaha kecil menengah (UKM), agar mereka tidak terlalu terbebani dengan kenaikan harga akibat pajak ini.
Untuk mengurangi efek buruk dari kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat, pemerintah sebaiknya mengevaluasi berbagai kebijakan alternatif yang bisa meringankan beban masyarakat, terutama yang berada di kalangan kelas menengah ke bawah. Salah satu upaya yang bisa diambil untuk mengurangi dampak kenaikan PPN adalah dengan memberikan subsidi pada barang-barang kebutuhan pokok, seperti pangan dan energi, yang banyak dikonsumsi masyarakat. Subsidi ini berperan penting dalam menekan efek dari lonjakan harga yang disebabkan oleh peningkatan tarif pajak, serta membantu masyarakat untuk tetap menjaga daya beli mereka. Selain itu, pemerintah dapat memperkuat berbagai program perlindungan sosial, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bantuan sosial lainnya, yang dapat meringankan beban masyarakat yang langsung terkena dampak dari kenaikan harga. Melalui program-program ini, diharapkan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun harga barang dan jasa semakin mahal.
Selain langkah-langkah tersebut, pemerintah juga perlu fokus pada peningkatan investasi dalam pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor ekonomi yang mampu menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Dengan bertambahnya jumlah lapangan kerja, pendapatan masyarakat akan mengalami peningkatan, yang pada gilirannya dapat membantu mereka mempertahankan daya beli meskipun biaya hidup semakin tinggi. Oleh karena itu, kebijakan yang mendukung penciptaan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat penting agar dampak kenaikan PPN bisa diminimalisir dan perekonomian tetap berjalan stabil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H