Nah itu sedikit sejarah tanah kebun kopi ini dimana pemiliknya masih bisa kita telusuri dengan baik, dari sana lah saya memperkirakan bahwa kopi-kopi itu bukan kopi yang baru ditanam kemarin sore, tapi sudah lama ditanam, adanya penamaman pohon kopi di kampung saya di mandingin menandakan juga adanya tradisi penamanan kopi di hulu sungai  mengingat kebun kopi tidak hanya terdapat di belakang rumah saya tapi juga hampir menyeluruh banyak di berbagai tempat di hulu sungai. Di kota barabai sendiri dekat kampung bukat ada nama kampung kopi, seorang tokoh ulama disana terkenal dengan nama Abdurahman Kopi, karena dahulu disana banyak tanaman kopi lebih dari 70 tahun yang lalu.
Moment selanjutnya tentang kebun kopi dibelakang rumah saya yang masih saya ingat adalah  saya pernah bersama nenek memanen kopi tersebut, saya sering makan biji kopi yang merah karena rasa kulitnya manis. lucunya sekarang saya membandingkan dengan luwak-luwak yang pilih-pilih memakan biji kopi merah saja, kadang saya menemukan biji kopi dalam tahi musang (yang mungkin jenis yang sama dengan Luwak) berhamburan dekat pohon-pohon kopi tersebut, saya merasa kami cucu-cucu nenek mirip dengan luwak yang hanya memakan biji merahnya saja. dahulu diwaktu kecil tahun awal 90-an itu mana tahu istilah kopi luwak belum terkenal seperti sekarang.
saya juga mengambil bungkahan biji-biji kopi di ranting-ranting pohon kopi, untuk memanennya dam memasukkan kedalam wadah milik nenek, atau sekedar sambil bermain-main dan menghamburkannya tapi pastinya sanbil dimarahi oleh nenek saya. Saya juga masih ingat ketika nenek menjemur dan mengsangrai kopi diatas wajan, dan sebagian menumbukknya lalu kemudian menjualnya kepasar, memang keluarga kami tidak ada yang meminum kopi lagi, setelah kakek (suami nenek) meninggal, yang saya sendiri tidak pernah bertemua beliau karena meninggal sebelum saya lahir.
Awal tahun dua ribuan pohon-pohon kopi tersebut mulai ditebang karena dianggap sudah tidak produktive lagi, atau juga sudah tidak ada lagi yang mau memanennya dan mengolahnya serta menjualnya kepasar, kalah saing dengan membanjirnya kopi-kopi instan.
sekarang pohon-pohon kopi yang telah ditebang bertahun tahun yang lalu itu mulai tumbuh kembali, meski telah ditebang pohon kopi itu tidak mati, sebulan sebelum tulisan ini saya buat saya pulang kampung dan saya melihat sudah ada pohon kopi yang berbuah, meski sedikit biji kopi itu telah berwarna merah, saya mengambil beberapa biji kopi, hanya beberapa biji, tapi cukup menandakan bahwa kopi itu masih ada. Saya yakin umur pohon kopi tersebut lebih dari seratus tahun.
Pohon kopi tentu tidak hanya ada di belakang kampung saya, banyak kebun kopi dikampung saya ketika saya kecil dan sebagian telah ditebang karena berbagai alasan. Tapi jika kita mau mencarinya kita akan dengan mudah mendapati banyak pohon kopi didaerah barabai atau kabupaten Hulu sungai tengah dan sekitarnya, termasuk di kabupaten Hulu Sungai Selatan dan kabupaten balangan serta kabupaten tabalong.
Saya sengaja membuat tulisan ini agar ada semangat baru menumbuhkan gelegat ekonomi mengenai kopi di hulu sungai. Saya mendengar-dengar bahwa kopi adalah sesuatu yang baru di hulu sungai,bahkan ada yang percaya bahwa tidak ada kopi dihulu sungai, jikapun ada kopi itu adalah kopi yang baru ditanam, kiranya hal itu lah yang ingin saya bantah. Apa yang jadi penyebab sejarah kopi di hulu sungai tidak tercatat dengan baik mungkin akan menjadi penelitian kita bersama, tapi kenyataan bahwa kopi atau perkebunan kopi sudah ada ratusan yang lalu di hulu sungai adalah sebuah kenyataan historis.
Dalam beberapa tulisan terdahulu saya selalu menulis mengenai Hulu Sungai sebagai sebuah daerah berperadapan tua nan besar dan mapan. Mapan dalam artian bahwa peradapan tersebut bisa tumbuh dan hidup dari dahulu kala hingga saat ini,tanpa kehilangan inti peradapan dan penduduknya, dan itu semua di topang oleh salah satunya adalah dengan sumber daya alamnya yang sangat mencukupi untuk menghidupi peradapan tersebut. Sumber daya alam tidak selalu harus dimaknai dengan hasil tambang seperti yang banyak orang pahami saat ini, pertambangan batu bara dan perkebunan sawit yang luas dijaman modern justru kontra produktive bagi hulu sungai, kontra produktive karena merusak alam dan lingkungan yang akibatnya pula merusak penopang peradapan hulu sungai. Tidak banyak keuntungan yang bisa diambil dan didapatkan oleh orang hulu sungai dari kedua jenis usaha tersebut baik dari tambang baru-bara maupun perkebunan sawit, alih-alih untung malah-malah dampak rusaknya lingkungan mendregadasi sumber-sumber alam lainnya sebagai sumber kehidupan orang hulu sungai kebanyakan. Uang dari hasil kedua usaha itu melayang keluar bumi hulu sungai, dan para pekerjanya-pun bukan orang hulu sungai.
Sebagai pembuka juga, ada baiknya bagi pembaca untuk mempelajari sistem peradapan Hulu Sungai, yaitu sistem Pemerintahan, Karena sejarah kopi Hulu Sungai tidak terlepas dari itu, Hulu Sungai adalah sebuah wilayah Otonom. Otonom disini maksudnya adalah tidak ada campur tangan dari pihak kesultanan di Martapura untuk wiayah Hulu Sungai khususnya daerah pahuluan atau Alai. Hikayat Banjar sendiri memberikan sedikit informasi penting mengenai keturunan Pangeran Tumenggung yang dikalahkan kesultanan Demak dan pangeran Samudera, Pangeran Tumenggung menerima perdamaian dan menyingkir kedaerah Alai dan membuat pemerintahan disana yang seterusnya akan dipimpin oleh keturunan Pangeran Tumenggung sendiri.
Hulu Sungai adalah istilah lama bagi wilayah di salah satu hulu sungai Negara yang merupakan anak sungai barito, jaraknya ratusan kilometer di utara Banjarmasin dan Martapura, Hulu Sungai adalah pusat peradapat Kuno semenjak dahulu, pendudukannya adalah berintikan percampuran dari suku Maanyan dan suku Bukit, ada dua muara mencapai sungai Barito yaitu Muara Bahan jauh diselatan dan Muara Paminggir di sebelah barat yang sangat dekat, dari muara paminggir lah interaksi dengan suku-suku atas barito terjalin erat dan dekat. Hulu sungai merupakan bekas Ibukota pulau Kalimantan ketika kerajaan Dipa dan Daha Berjaya, Hulu Sungai menerima pengaruh Hindu dan Budha yang mungkin dibawah oleh orang-orang Sriwijaya, yang kemudian dikuasai Majapahit. Saat ini Hulu Sungai dianggap sebagai inti dari orang-orang Banjar dengan sebutan Banjar batang banyu dan Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu berintikan orang-orang Maanyan seperti daerah Margasari, Negara, alabio, amuntai, kalua. Banjar Pahuluan beritikan orang-orang Bukit seperti orang-orang tapin, orang Amandit (kandangan), dan orang Alai (Barabai). Kabupaten yang menjadi bagian hulu sungai adalah kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu sungai Selatan, Kabupaten Hulu sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong daerah yang dahulu menjadi wilayah Afdeling Hoeloe Soengai.
Selain dua ada sub Banjar diatas ada sub Banjar lainnya yaitu Banjar Kuala adalah wilayah pesisir yang berintikan Banjarmasin dan Martapura serta daerah-daerah-daerah muara barito lainnya, yang berintikan suku Bakumpai dan suka Ngaju.