Pengambilan Keputusan Hukum di KUA dalam Proses Pencatatan Pernikahan
Oleh: Andin Alfigenk Ansyarullah Naim
KUA mempunyai kuasa yang melekat dalam otoritas pencatatan pernikahan agama Islam, dalam jalannya proses pencatatan tersebut kadang KUA ada beberapa hal yang juga mengharuskan KUA mengambil istimbat atau keputusan hukum untuk proses pencatatan pernikahan itu. seperti misalnya memutuskan seseorang itu berwali dengan siapa, seseorang itu bisa menikah atau tidak secara syar'i dan seseorang itu dinyatakan sah menikah atau tidak oleh KUA. Itu merupakan keputusan hukum yang diputuskan oleh KUA yang bukan hanya secara administasi negara saja tapi juga secara hukum islam yang diadopsi negara dalam undang-undang perkawinan.
Penulis ingin mempertanyakan apakah pengambilan istimbat hukum tersebut yang dilakukan oleh KUA ini adalah tepat? Mengingat masalah kesimpulan hukum seharusnya berada ditangan peradilan.
Permasalahan istimbat hukum oleh KUA ini seolah luput dari pandangan kita, penulis disini tidak akan menyimpulkan apa-apa tetapi hanya ingin mengemukakan permasalahan yang sepatutnya menurut hemat penulis akan menjadi masalah mendasar bagi KUA itu sendiri.
Permasalahan pencatatan pernikahan di KUA seyogyanya dapat kita lihat bukanlah hal sederhana belaka, sepasang calon penganten datang KUA dan berencana ingin menikah sekaligus dicatatkan pernikahannya. Tidak, tidak sesederhana yang didengar dan dilihat.
Sebenarnya ada sebuah kerja besar dan sedikit rumit dalam kenyataannya, Â seperti misalnya permasalahan data identitas , dan sebenarnya ada ijtihad (usaha) dari KUA dalam mengistimbat hukum jika dalam jalannya rencana pernikahan tersebut terdapat permasalah hukum secara syari.
Jadi, menurut penulis perkembangan permasalahan pencatatan pernikahan semakin berkembang dan KUA harus terus berusaha menjawabnya dengan sebaik mungkin dan tepat secara syari.
Sebagai contoh kasus adalah ada sepasang pengantin datang ke KUA , dalam KTP dan berkas N1 sampai N7 ditulis berstatus sebagai seorang perawan, namun setelah pemeriksaan dia mengaku pernah menikah sirri dan telah berpisah karena suaminya telah meninggalkannya selama beberapa tahun tanpa kabar dan tanpa pernah mengatakan kata talaq. Si calon mempelai wanita tersebut merasa dia telah menjadi janda secara otomatis dengan kepergian suaminya meski tidak pernah terucap kata talaq, hal ini diperkuat lagi dengan status legal dia di catatan identitasnya seperti KTP dan Kartu Keluarga yang masih berstatus sebagai perawan sehingga jikalau dia ingin menikah lagi tidak akan terhalang secara administrasi.
Kasus seperti diatas mungkin pernah terjadi dibeberapa KUA dan KUA pun masing-masing mungkin saja meresponnya dengan mengambil berbagai keputusan seperti menerima saja rencana pernikahan tersebut atau pun menoalak rencana pernikahan tersebut. Â berbagai keputusan baik menerima atau menolak pernikahan tersebut adalah sebuah istimbat hukum, yang penulis ingin sampaikan disini adalah terlepas apapun keputusan KUA itu merupakan sebuah ijtihad KUA dalam mengambil keputusan hukum syari didalamnya.
Penulis tidak menyebut pengambil keputusan hukum oleh KUA tersebut sebagai sebuah kebijakan administrasi dan birokrasi tapi penulis ingin lebih tegas menyembut hal itu sebagai pengambilan keputusan hukum syar'i yang kemudian berdampak terhadap hal lainnya secara utuh.
Salah satu kasus yang paling sering didapati di KUA adalah dalam kasus penentuan wali Hakim, kasus ini terkadang  rumit dan tidak mudah untuk menentukan seorang calon pengantin perempuan harus berwali hakim dalam pernikahannya, KUA harus mengeluarkan keputusan hukum mengenai hal ini setelah benar-benar melakukan penelitian dengan seksama.
Ada permasalahan yang sulit dijawab jika ada pertanyaan apakah KUA berhak melakukan pengambilan keputusan hukum syar'i meski KUA bukan lembaga peradilan? bahwa ranah pengambilan istimbat hukum itu seharusnya di tangan pengadilan agama dimana hakim sebagai pengambil keputusannya, karena KUA bukanlah lembaga peradilan atau fatwa.
Penulis sendiri tidak berani menjawabnya pertanyaan diatas karena penulis sadar bahwa pertanyaan diatas bisa menjadi pertanyaan mendasar bagi KUA dan lembaga-lembaga lainnya dan masyarakat pada umumnya.
hal positive bisa saja didapatkan dari pengungkapan permasalah ini bahwa ternyata patut untuk diketahui jika KUA bukanlah lembaga sembarangan belaka, karena rupanya KUA juga terbebani tanggung jawab dunia akhirat dalam permasalahan umat, KUA dengan peran istimbat hukumnya telah meletakkan kakinya diantara syurga dan neraka seperti halnya tanggung jawab yang diemban oleh peradilan agama.
Selanjutnya lembaga KUA harus lebih menguatkan ikatan batinnya dengan peradilan agama sebagai imbas dari adanya kesamaan otoritas yang tidak disadari diantara keduanya, kedua lembaga ini bisa berbagi cerita dan pengalaman dan menurut hemat penulis seorang kepala KUA yang berpengalaman dan mempunyai SDM yang mumpuni lebih berhak untuk bisa mengikuti seleksi menjadi Hakim di pengadilan Agama.
Melihat Hakim dipengadilan agama adalah seorang pejabat negara dan kepala KUA hanya seorang PNS biasa maka sepatutnya kepala KUA dapat disamakan statusnya dengan Hakim atas dasar peran yang mereka lakukan tidaklah banyak berbeda.
Akan ada kesadaran massif ditengah KUA atas peran dan posisi penting mereka yang disertai tanggung jawab besar pula.
Mengingat pernikahan adalah sebuah ibadah dan bukan hanya semata pencatatan belaka sudah seharusnya otoritas KUA diperluas dari bukan hanya sebagai pencatat pernikahan Islam tapi juga sebagai lembaga yang dapat mengambil keputusan hukum syari dalam masalah pernikahan islam. Ini tentu akan menjadi polimek tersendiri namun polimek bukan sesuatu yang perlu ditakutkan.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H