Pernahkah kamu merasa ingin sendiri dan takut ditinggal sendiri dalam satu waktu yang sama? Menikmati sepi dari ingar bingar kehidupan namun pada saat yang sama takut bila kamu akan kehilangan orang yang kamu sayang karena mereka menganggap dirimu tak peduli dengan mereka. Dan semakin kamu menyendiri, dirimu semakin dalam terjebak pada nyamannya kesunyian tanpa topeng. Lalu pada waktu yang sama, orang-orang yang menyayangimu dan kamu sayangi menjauh dan bahkan menghilang.
Aku pernah merasakannya. Cukup sering hingga selalu aku tepis hasrat indah kesendirian itu dan menyeimbangkan dengan kebutuhanku sebagai makhluk sosial. Semua berawal pada pagi hari acara minum teh. Pagi itu aku membawa cokelat panas ke acara minum teh. Tidak berdosa kan membawa cokelat panas saat acara minum teh? Dewa tidak begitu menyukai teh atau kopi.
Dengan pelan dan pasti, ia menyesap cokelat panas sedikit demi sedikit dari bibirku. Aku pun mengulurkan pahit dan manis cokelat secara bersamaan ke bibirnya yang segera disambut dengan senyum bahagia. Aku tahu senyum bahagia itu bukan karena manis gula atau pahitnya cokelat. Tapi hadirnya Dewi di sampingnya, yang juga menyesap cokelat tanpa gula.
“Nggak pahit Dewi? Mau tambah gula sedikit?” Dewa menepiskan anak rambut Dewi yang dimainkan angin.
“Aku suka rasa khas cokelat yang pahit. Cukup hadirmu yang menjadi gula alami untuk cokelat hidupku.” Dewi sering berbicara penuh makna yang tak pernah aku mengerti, meski kita memiliki nama yang sama. Kami sungguh berbeda.
Dewa hanya terus tersenyum dan mencium kening Dewi. Mereka sungguh bahagia. Bahkan ‘Dewa’ yang berada di genggaman Dewi pun tersenyum bahagia meski ia selalu mengulurkan coklat pahit ke bibir Dewi yang selalu merah alami.
Selama Dewa dan Dewi berpelukan di sofa sambil menunggu sinar mentari pertama menyapa keduanya, aku dan ‘Dewa’ duduk berdampingan. Aku sangat bahagia berada disamping ‘Dewa’, dan terus membaca hingga hafal tulisan di tubuh kami berdua yang diukir sama. “As long as I’m with you, I’m ready.” Aku tidak cukup memahami maknanya, tapi Dewi sering mengatakan hal itu berulang-ulang bersama dengan Dewa. Dari Dewi dan Dewa, aku tahu bahwa itu adalah simbol komitmen di antara mereka.
Dari sini aku yakin kalian pasti bingung dengan nama Dewa, Dewi, dan ‘Dewa’. Namaku ‘Dewi’, dengan tanda petik satu. Aku adalah mug milik Dewa. Aku diukir dengan foto mereka berdua dan sebaris kalimat komitmen mereka untuk selalu bersama apapun keadaannya. Sebaliknya ‘Dewa’ adalah mug milik Dewi.
Kami kembar identik dengan warna biru gelap di bagian dalam. Hanya ukiran nama yang membedakan kami. Aku menyayangi ‘Dewa’ karena beberapa alasan. Sebenarnya ada dua alasan yang menjadi favorit, yaitu rupa kami yang sama. Aku bisa melihat diriku pada diri ‘Dewa’ tanpa perlu bercermin. Dan alasan kenapa kami diciptakan kembar dan brada di sini bersama. Ya di sini, di genggaman Dewa dan ‘Dewa’ di genggaman Dewi.
Dewa sering salah mengambil mug dengan ukiran namanya. Dan dia akan meringis ketika menyadari cokelat di mug itu pahit dan terukir namanya. Aku suka melihat wajah meringis Dewa saat terlambat menyadari ia meminum cokelat milik Dewi.
Pernah suatu kali, aku dan ‘Dewa’ berkumpul dengan cangkir lain saat acara minum teh bersama yang lebih besar. Seperti biasa, aku dan ‘Dewa’ membawa cokelat, bukan teh atau kopi. Ada banyak sekali mug, cangkir, gelas dan lainnya. Kami saling beradu ramai sekali di meja dapur. Aku menyadari keengganan ‘Dewa’ berkumpul dengan yang lain. Itulah kenapa selama sisa pagi itu aku selalu berada di sampingnya.