Tapi ‘Dewa’ pagi ini tak seperti ‘Dewa’ yang biasanya. Ia terkesan menjauh dariku. Atau aku yang dibawa menjauh oleh Dewa dari hiruk pikuk pagi yang seharusnya tenang seperti biasanya? Entahlah.
***
Setelah pagi yang ramai dalam acara minum teh bersama, aku tidak lagi pernah membawa cokelat panas untuk Dewa. Bahkan ‘Dewa’ pun juga berada di tempat yang sama denganku. Aku tidak tahu kenapa Dewa dan Dewi tidak pernah minum cokelat panas di pagi hari lagi. Atau mereka sudah memiliki mug lain yang lebih indah dari kami. Aku marah pada Dewa dan Dewi jika sampai mereka menggunakan mug lain dalam acara cokelat pagi mereka. Adakah yang lebih istimewa dari kami? Yang dibuat dengan cinta dan terukir komitmen dan janji mereka.
Setiap Dewa membuka tempat gelas, aku selalu berharap Dewa mengambilku, menuangkan cokelat bubuk dan gula lalu menuangkan air panas ke dalam diriku. ‘Dewa’ yang di sampingku kini juga mulai merana dengan sarang laba-laba di lingkaran birunya. Dan aku, keadaaanku tak lebih baik dari ‘Dewa’. Debu tipis kini mulai menebal di bagian tubuh luarku. Aku tidak berani melihat bagian lingkaran biruku. Aku tak sanggup membayangkan sarang laba-laba di sana.
Sungguh aku tak tahan. Tidakkah Dewa dan Dewi sedikitpun ingat untuk sekedar mengelap kami. Ke mana saja mereka?
Entah sudah berapa lama aku dan ‘Dewa’ berada di dalam laci lemari ini. ‘Dewa’ sudah tak bisa diajak bicara atau bercengkerama. Rindunya pada cokelat pahit dan bibir Dewi yang tak pernah absen menyeruputnya tiap pagi sudah tak terbendung. ‘Dewa’ telah mati rasa. Oh bukankah kami adalah benda mati? Lalu apa jadinya bila rasa kami pun telah mati.
Hanya aku yang terus berusaha hidup. Mengenang cokelat panas dan lembut bibir Dewa serta senyumnya yang tak dapat didefinisikan hanya dengan satu kata bahagia.
Pagi ini aku mendengar barang-barang yang pecah. Atau mungkin sengaja dibanting. Oh Tuhan, apa aku dan ‘Dewa’ akan dibanting juga?
Ku lihat Dewi dengan mata sembab dan air mata yang masih menebal di pelupuk matanya siap terjun membelai pipi halusnya. Ia membuka lemari. Dan dengan bibir bergetar ia mengambil ‘Dewa’, memasukkannya di tas paling luar. Tampak olehku ‘Dewa’ yang terbangun dari mati suri nya. Ia tesenyum, namun hanya sebentar. Senyumnya hilang berganti dengan segaris wajah sedih saat menyadari kami takkan bersama lagi menikmati sinar mentari pertama di pagi hari. Dan kami takkan mengulurkan cokelat panas ke bibir lembut Dewa dan Dewi.
Aku melepas kepergian ‘Dewa’ dengan diam. Apalagi yang bisa ku lakukan selain diam? Aku terus mencoba menangkap pembicaraan Dewa dan Dewi dari jauh. Dewi berbicara di sela-sela isakannya.
“Sudah dua tahun kita bersama, dalam keadaaan apapun. Kau sendiri yang mengatakan kita akan tetap bersama meski orang tua kita tak merestui. Meski dalam kesulitan apapun kita tetap bersama. Tapi kenapa kamu berubah?”