Mohon tunggu...
Alfianto Widiono
Alfianto Widiono Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa FKUI'19

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Isu Kedokteran: Kontrasepsi

19 Agustus 2019   19:28 Diperbarui: 19 Agustus 2019   19:55 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sudah tidak asing lagi dengan yang namanya mitos, mereka dibesarkan mendengarnya. Adapun mitos-mitos yang diketahui oleh masyarakat telah diturunkan dari generasi zaman dahulu kala hingga generasi saat ini. 

Mitos pun meliputi banyak lingkup kehidupan manusia, termasuk di antaranya lingkup kesehatan. Sangat banyak mitos kesehatan yang beredar di kalangan masyarakat, salah satunya terkait dengan kontrasepsi. 

Adapun mitos yang dimaksud adalah penggunaan alat kontrasepsi untuk jangka waktu yang lama dapat mengganggu kesuburan/fertilitas seorang wanita.

Menurut KBBI, yang dimaksud dengan kontrasepsi adalah cara untuk mencegah kehamilan, sedangkan alat kontrasepsi sendiri adalah alat yang digunakan untuk maksud tersebut.[1.2] 

Meskipun bertujuan untuk mencegah kehamilan, alat kontrasepsi tidak hanya digunakan oleh perempuan, namun juga dapat digunakan oleh laki-laki, seperti halnya kondom dan juga melalui prosedur vasektomi, yakni sebuah prosedur yang dilakukan untuk mensterilkan seorang laki-laki dengan cara menutup vas deferens miliknya sehingga sperma tidak dapat mencapai uretra dan pembuahan pun tidak terjadi.[3]

Untuk wanita sendiri, alat kontrasepsi ada banyak macamnya dan cara penggunaannya pun berbeda-beda. Di antaranya terdapat pil KB, suntik KB, susuk KB, tubektomi, juga spiral. 

Pil KB merupakan jenis alat kontrasepsi yang diminum oleh wanita. Pil KB dapat berupa gabungan antara hormon estrogen maupun progesteron ataupun berupa pil yang mengandung hormon estrogen saja.[4] 

Pil ini bekerja dengan cara mengubah siklus menstruasi sehingga ovulasi tidak dapat terjadi.[4] Hormon yang terdapat pada pil KB juga dapat disuntikkan ke tubuh secara berkala, metode ini disebut dengan suntik KB. 

Ada pula yang disebut dengan KB susuk, merupakan jenis alat kontrasepsi yang ditanam ke dalam tubuh wanita dan akan melepaskan hormon pada waktu tertentu untuk mencegah ovulasi.[5] 

Jika pihak wanita menginginkan untuk tidak hamil lagi ke depannya maka ada kontrasepsi yang permanen dengan melalui tubektomi. Tubektomi merupakan upaya untuk menghentikan kehamilan ke depannya secara permanen dengan menutup ataupun mengangkat tuba falopi. [6]

Namun, di Indonesia, jenis alat kontrasepsi yang paling terkenal adalah spiral/intrauterine device (IUD). Spiral sendiri ditanamkan ke dalam rahim seorang wanita dengan tujuan untuk menghalangi masuknya sperma ke dalam tuba falopi. Dengan demikian, tidak akan terjadi pembuahan telur oleh sperma dan kehamilan pun dapat dihindari.

Pada dasarnya, ada dua jenis spiral, yakni spiral tembaga dan juga spiral hormonal. Di dalam rahim, tembaga bertindak sebagai spermisida; tembaga akan menghancurkan sperma sehingga tidak dapat menyatu dengan telur fertil dengan cara meningkatkan kadar ion tembaga, prostaglandin, dan sel darah putih yang ada di dalam cairan rahim.[7] 

Spiral tembaga juga dapat dipakai untuk waktu yang lebih lama, yakni sekitar 10 tahun.[8] Karena waktu pemakaiannya yang lama inilah banyak yang memilih untuk menggunakan spiral tembaga sebagai alat kontrasepsi mereka. Namun begitu, kekurangan dari spiral tembaga, yakni menyebabkan pendarahan pada saat menstruasi menjadi lebih banyak.[7] 

Sementara itu, spiral hormonal bekerja dengan cara melepaskan hormon progestin ke dalam rahim sehingga rahim tidak dapat dihuni oleh sperma.[9] Apabila dibandingkan dengan spiral tembaga, waktu pakai spiral hormonal lebih cepat, hanya sekitar 5 tahun. 

Selain itu, kebalikan dari spiral tembaga, spiral hormonal justru dapat menyebabkan pendarahan pada saat menstruasi lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena hormon progestin yang dilepaskan juga dapat menipiskan dinding endometrium sehingga dinding yang meluruh pun lebih sedikit, begitu pula dengan darah yang dikeluarkan.[9]

Penggunaan alat kontrasepsi berupa spiral sendiri menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Kebanyakan wanita memilih untuk menggunakan spiral karena kemanjurannya untuk mencegah kehamilan. 

Pada tahun pertama pemakaian, tingkat kegagalan dari spiral tembaga sebesar 0,8% sedangkan untuk spiral hormonal tingkat kegagalannya lebih kecil, yakni 0,2%.[10] Spiral tembaga juga dapat dimanfaatkan sebagai alat kontrasepsi darurat. 

Apabila terjadi persenggamaan yang tidak direncanakan dan tidak dengan menggunakan alat kontrasepsi berupa kondom, lantas sang wanita tidak menggunakan alat kontrasepsi sebelumnya maka dalam jangka waktu 5 hari ia dapat menggunakan spiral tembaga untuk mencegah kehamilan.[11] Tidak hanya itu, spiral juga dianggap cocok untuk mayoritas wanita, baik mereka yang belum pernah melahirkan ataupun yang sudah melahirkan. 

Pada wanita yang sudah melahirkan, spiral dapat dipasang bahkan 10 menit setelah proses persalinan selesai.[12] Di sisi lain, penggunaan spiral juga menimbulkan kontroversi karena adanya mitos bahwa penggunaan spiral untuk jangka waktu yang lama dapat menyebabkan turunnya fertilitas wanita. Setelah spiral dilepas, ada yang beranggapan bahwa seorang wanita akan mengalami kesulitan untuk hamil.

Adapun mitos tersebut tidaklah benar. Meskipun digunakan dalam jangka waktu yang cukup panjang, pelepasan spiral, baik spiral tembaga maupun spiral hormonal, akan mengakibatkan fertilitas wanita kembali ke keadaan normal. Berdasarkan dua buah studi yang dilakukan pada tahun 2017, dari 14.884 wanita yang berhenti menggunakan spiral, 83,1% di antara mereka langsung mengalami kehamilan dalam kurun waktu 12 bulan setelah melepaskan spiral mereka.[10] 

Persentase itu, meskipun lebih rendah, tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Malaysia pada tahun 1994. Dari 380 wanita yang melepaskan spiral yang digunakannya, sekitar 90% kembali hamil dalam waktu 12 bulan setelah spiral dilepaskan.[13]  Hal ini membuktikan bahwa spiral sendiri tidak akan menyebabkan infertilitas. 

Spiral juga tidak membuat wanita lebih sulit hamil. Bahkan, dapat dikatakan bahwa spiral memberikan hasil yang begitu efisien yang dapat kita sandingkan dengan hasil dari vasektomi maupun tubektomi, namun dengan harga yang jauh lebih murah serta tidak bersifat untuk selamanya.[14]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi, termasuk di dalamnya kontrasepsi dalam bentuk spiral/IUD, meskipun dipakai untuk jangka yang lama tidak berpengaruh pada fertilitas seorang wanita. 

Hal ini  telah dibuktikan melalui berbagai penelitian yang dilakukan, di mana penelitian yang dimaksud didukung dengan adanya data-data yang terbukti secara ilmiah. Oleh karena itu, apabila Anda ingin mencegah kehamilan untuk sementara waktu, namun Anda ingin hamil lagi di kemudian hari, Anda tidak perlu ragu untuk memilih menggunakan alat kontrasepsi.

Referensi:
[1] Arti kata kontrasepsi [Internet]. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Budaya. 2016 [updated 2019 April; cited 2019 Aug 13]. Available from: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kontrasepsi
[2] Arti kata alat [Internet]. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Budaya. 2016 [updated 2019 April; cited 2019 Aug 13]. Available from: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/alat%20kontrasepsi
[3] Vasectomy: meaning in the Cambridge English Dictionary [Internet]. London: Cambridge Dictionary; 2019 [cited 2019 Aug 17]. Available from: https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/vasectomy
[4] Contraceptive pills [Internet]. New York: Planned Parenthood. 2019 [cited 2019 Aug 17]. Available from: https://www.plannedparenthood.org/learn/birth-control/birth-control-pill
[5] Contraceptive implant [Internet]. Washington, DC: US Department of Health and Human Services; 2019 May 14 [cited 2019 Aug 17]. Available from: https://www.hhs.gov/opa/pregnancy-prevention/birth-control-methods/implant/index.html
[6] Patil E, Jensen JT. Permanent contraception for women.  Semin Reprod Med. 2016 May;34(3):139-44.
[7] Hatcher RA. Contraceptive technology 21st ed. New York, NY: Ayer Company Publishers, Inc.; 2018 Aug.
[8] Kaneshiro BB. Long-term safety, efficacy, and patient acceptability of the intrauterine Copper T-380A contraceptive device. International Journal of Womens Health. 2010;2(1):211-20.
[9] Speroff L, Darney PD. A clinical guide for contraception 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2010 Nov 30.
[10] Bienstock JL, Fox HE, Wallach EE, Johnson CT, Hallock JL. The Johns Hopkins manual of gynecology and obstetrics 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2015.
[11] Cleland K, Zhu H, Goldstuck N, Cheng L, Trussell J. The efficacy of intrauterine devices for emergency contraception: a systematic review of 35 years of experience. Hum Reprod 2012 Jul;27(7):1994--2000.
[12] Jatlaoui TC, Whiteman MK, Jeng G, Tepper NK, Berry-Bibee E, Jamieson DJ, et al. Intrauterine Device Expulsion After Postpartum Placement. Obstetrics & Gynecology. 2018 Oct;132(4):895--905.
[13] Girum T, Wasie A. Return of fertility after discontinuation of contraception: a systematic review and meta-analysis. Contraception and Reproductive Medicine. 2018 Jul 23;3(1):9.
[14] Trussell J. Update on and correction to the cost-effectiveness of contraceptives in the United States. Contraception. 2012 Jun;85(6):611.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun